Lebaran menjadi momen berkumpul bersama keluarga yang dinantikan bagi banyak orang. Namun, bagi mahasiswa rantau Universitas Negeri Malang (UM) yang sedang mengikuti program pengabdian Asistensi Mengajar (AM) harus melewatkan kesempatan ini.
Tuntutan untuk mengabdi kepada masyarakat dalam bentuk mengajar, menjalankan amanah sesuai dengan sekolah tujuan membuat Wahyuni (20 tahun), salah satu mahasiswa rantau AM UM merayakan lebaran tahun ini jauh dari kampung halaman.
Keputusan untuk tetap tinggal di tanah perantauan dan tak kembali ke kampung halamannya di Bulukumba, Sulawesi Selatan bukan tanpa alasan. Program pengabdian Asistensi Mengajar yang memposisikan mahasiswa sebagai tenaga pendidik, yang mana tidak hanya menjalankan tugas mendidik peserta didik di dalam ruang kelas. Namun, juga mengikuti dan menjalankan fungsi administratif yang diterapkan pada guru.
Hal ini mengharuskan mahasiswa Universitas Negeri Malang yang menjalankan program Asistensi Mengajar di sekolah negeri mengikuti jadwal libur nasional yang telah ditetapkan pemerintah pusat bagi Aparatur Sipil Negara. Jadwal libur yang baru dimulai pada hari Minggu tanggal 31 Maret 2025 dan berakhir pada Senin, 7 April 2025.
Penetepan libur dan cuti Lebaran Idul Fitri 2025 1446 Hijiriyah ini mempengaruhi keputusan Wahyuni untuk pulang kampung. Sekolah tujuan Asistensi Mengajarnya yang berada di SMK Negeri 1 Surabaya, salah satu sekolah negeri yang menjadi sekolah rujukan nasional tentu tak terkecuali harus mengikuti peraturan libur dari pemerintah pusat.
Menurut Wahyuni, waktu libur yang terkalkulasi hanya 8 hari saja, serta perjalanan panjang yang dibutuhkan dari pusat kota Makassar ke kampung halamannya, Kabupaten Bulukumba membuatnya berpikir ulang untuk pulang kampung, “waktu libur yang sedikit, hanya seminggu membuat (pulang kampung) rugi di perjalanan saja. Perjalanan yang panjang dan melelehkan membuat berpikir dua kali kalau pulang dengan waktu yang hanya sebentar.”
Pilihan mahasiswi semester enam ini untuk tidak pulang kampung sempat mendapatkan protes dan rayuan dari pihak keluarga. Bahkan mereka berusahan merayu dan menyarankan untuk tetap pulang kampung meski hanya sebentar.
Namun, dengan pertimbangan biaya tiket pesawat, kendaraan yang mengantarkan dari Bandara Udara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar ke Kabupatan BuluKumba dan energi yang dihabiskan selama kurang lebih lima jam perjalanan membuat Wahyuni membulatkan tekad untuk melewatkan momen kebersamaan keluarga di lebaran tahun ini, “jika dipikir-pikir lagi, harga tiket sekitar 1 juta lebih dan perjalanan yang jauh membuang uang dan melelehkan, belum lagi perjalanan dari pusat kota ke daerahku yang jauh banget.”
Kesedihan yang dirasakan Wahyuni akan lebaran tanpa keluarga, tetap bisa ditekan dengan merasakan kebersamaan di sekitarnya sebagai alternatif kegiatan saat lebaran. “Alternatifnya sih merayakan lebaran bersama orang-orang lain yang tidak pulang kampung juga,” ujar Wahyuni.
Selain itu, kecanggihan teknologi memudahkan mahasiswa jurusan Pendidikan Administrasi Perkantoran ini untuk tetap berkomunikasi dengan keluarga nanti saat lebaran melalui panggilan video.
Di akhir wawancara, Wahyuni menyampaikan pesannya kepada mahasiswa-mahasiswa perantauan Universitas Negeri Malang lainnya yang juga terhalang pulang kampung demi menyelesaikan program Asistensi Mengajar. “Teman-teman tetap sabar ya, ini hanya sebentar saja," begitu pesan singkat Wahyuni.
Bagi mahasiswa perantauan, pengabdian dan tanggung jawab akademik menjadi prioritas utama. Meskipun harus mengorbankan kesempatan bersama keluarga di momen spesial lebaran. Hal ini menunjukkan komitmen mahasiswa AM UM dalam mengabdi dan menjadi bagian dari masyarakat sepenuhnya.