Saat dunia sedang dilanda ketegangan geopolitik, ketidakpastian ekonomi, dan ancaman perang, ada satu momen bersejarah yang dapat mengingatkan kita akan pentingnya solidaritas dan dialog antarbangsa.
Di tengah maraknya berita mengenai krisis, perang, dan ketimpangan global, peristiwa yang terjadi pada 1955 di Bandung, Indonesia, seakan kembali relevan. Ini adalah kisah tentang “The Bandung Walk,” langkah kecil yang tak hanya mengguncang tanah Indonesia, tetapi juga dunia.
Mengapa Kita Perlu Mengingat Bandung Tahun 1955?

Pada tahun 1955, dunia masih terbelah dalam Perang Dingin. Negara-negara besar bersaing dalam dominasi politik dan ideologi, sementara banyak negara di Asia dan Afrika baru saja meraih kemerdekaan setelah ratusan tahun dijajah.
Di tengah ketegangan global itu, sebuah konferensi besar digelar di Bandung, yang melibatkan 29 negara baru dari Asia dan Afrika. Salah satu momen paling ikonik dalam konferensi ini adalah "The Bandung Walk," sebuah prosesi sederhana yang justru mengandung makna mendalam.
The Bandung Walk: Simbol Perlawanan Tanpa Kekerasan

Pada 18 April 1955, para pemimpin dunia dari berbagai negara berkembang seperti Indonesia, India, Mesir, dan China berjalan kaki sejauh 100 meter dari Hotel Savoy Homann menuju Gedung Merdeka. Mereka tidak datang dengan mobil mewah atau protokol ketat.
Mereka berjalan bersama sebagai simbol kesetaraan, persahabatan, dan komitmen terhadap dialog tanpa paksaan. Ini adalah simbol yang kuat dari semangat Asia-Afrika yang ingin menunjukkan kepada dunia bahwa negara-negara baru ini memiliki suara dan kehendak mereka sendiri.
Bagi warga Bandung, peristiwa ini bukan hanya sebuah acara kenegaraan. Sorak-sorai dan tepuk tangan yang menggema sepanjang Jalan Asia-Afrika menggambarkan bahwa dunia baru sedang lahir di sana—sebuah dunia di mana negara-negara kecil dapat berdiri sejajar dengan negara besar.
Semangat Bandung di Tengah Ketegangan Dunia Saat Ini

Kini, dunia kembali berada dalam situasi yang semakin terfragmentasi. Ketegangan politik antarnegara semakin memanas, dan kita menyaksikan kebangkitan nasionalisme yang sering kali mengarah pada isolasionisme. Ketimpangan ekonomi semakin dalam, dengan negara-negara maju semakin mendominasi pasar global. Solidaritas antarbangsa terasa semakin rapuh. Di sinilah pentingnya mengingat kembali semangat Bandung.
"The Bandung Walk" bukan sekadar catatan sejarah. Ia adalah panggilan untuk memperbarui semangat solidaritas internasional, terutama bagi negara-negara yang seringkali terpinggirkan dalam percakapan global.
Dengan meningkatnya ketegangan geopolitik dan potensi konflik yang melibatkan negara besar, kita membutuhkan semangat dialog dan kesetaraan yang pernah dipromosikan di Bandung. Negara-negara kecil harus belajar dari langkah sederhana tersebut—bahwa kebersamaan dan dialog lebih kuat daripada dominasi dan kekuasaan.
Dasasila Bandung: Prinsip yang Tak Lekang oleh Waktu

Konferensi Asia-Afrika di Bandung melahirkan Dasasila Bandung, yang mencakup prinsip-prinsip dasar hubungan internasional, seperti penghormatan terhadap hak asasi manusia, non-intervensi, kesetaraan, dan penyelesaian damai atas konflik.
Prinsip-prinsip ini tidak hanya relevan pada saat itu, tetapi juga sangat penting di dunia yang terus berkembang ini. Bahkan, banyak dari prinsip tersebut diadopsi oleh organisasi internasional seperti PBB, dan terus menjadi panduan dalam diplomasi global.
Relevansi Bandung di Era Modern: Mengapa Kita Masih Membutuhkannya?

Melihat kembali pada peringatan 60 tahun KAA pada 2015, Presiden Joko Widodo bersama pemimpin negara peserta melakukan versi modern dari The Bandung Walk. Ini bukan sekadar acara nostalgia, tetapi pengingat bahwa semangat Bandung masih sangat relevan di tengah tantangan global saat ini.
Dunia saat ini mungkin telah berubah, namun prinsip dasar yang ada di Bandung tidak lekang oleh waktu. Negara-negara besar mungkin telah bergeser dominasi mereka, namun "model Bandung" yang mengedepankan dialog dan kesetaraan masih bisa menjadi alternatif yang rasional dan bermartabat dalam menghadapi ketegangan dunia saat ini.
Membangun Solidaritas Global yang Baru

Jika Bandung di tahun 1955 bisa menjadi pusat harapan dunia, maka kita, di zaman ini, juga bisa melangkah bersama menuju dunia yang lebih adil. Dalam dunia yang semakin terpecah, langkah kecil yang dipelopori oleh para pemimpin di Bandung 1955 bisa menjadi cermin bagi kita untuk melangkah bersama dalam semangat solidaritas yang lebih kuat. Sebuah dunia yang adil, damai, dan penuh dengan kesetaraan—sebuah dunia yang kita bangun bersama dengan keberanian untuk berdialog dan berkolaborasi.