Di sebuah kafe kecil di kawasan Baciro, Gondokusuman, Yogyakarta, yaitu GidGud, suasananya tampak berbeda dari tongkrongan lain. Bukan perkumpulan anak muda yang sibuk menatap layar ponsel, melainkan meja-meja yang dipenuhi kartu, pion, dan suara tawa yang saling bersahutan.
Beberapa pengunjung kelihatan sibuk membaca aturan permainan, sementara yang lainnya sedang dalam strategi permainan, saling memberikan candaan yang membuat ruangan terasa lebih hidup.
Di tengah aroma kopi yang semerbak, kafe itu seolah berubah fungsi bukan lagi sekadar kafe pada umumnya, tetapi ruang interaksi di mana orang-orang bertemu, berbicara, dan bermain tanpa perantara gawai.
Pelan-pelan, para pengunjung mulai mendekat, penasaran dengan cara bermain boardgame. Di sinilah, di antara aroma kopi dan meja kayu yang panjang, sebuah komunitas membuat kafe ini berbeda dari yang lain.
Komunitas Boardgame Yogyakarta, yang dikenal sebagai KOBOY, sedang menghidupkan kembali budaya bermain tatap muka di tengah suasana kafe tersebut.
KOBOY sendiri merupakan komunitas yang berdiri sejak 2016 dan berfokus pada board game sebagai ruang interaksi publik. Mereka rutin melakukan pertemuan santai di hari sabtu.
Di era ketika game online mendominasi hiburan anak muda, kegiatan seperti ini semakin langka dalam kehidupan sehari-hari. Generasi Z yang terbiasa dengan layar, notifikasi, dan voice chat, bahkan tanpa perlu sinyal internet, jarang menemukan alternatif tatap muka.
“Kalau sudah main, suasananya beda. Orang yang tidak saling kenal bisa ngobrol, bisa kerja sama, bisa bercanda. Itu yang membuat kami terus bikin pertemuan rutin,” kata Ketip, salah satu pengurus KOBOY.
Bagi pengunjung yang baru pertama kali datang, suasana seperti ini mungkin terasa membingungkan. Namun, bagi mereka yang sudah mengenal KOBOY, suasana itu sudah biasa. GitGud menjadi salah satu lokasi pertemuan yang ikut mengubah kultur nongkrong di kafe.
Di tempat inilah, di antara aroma kopi dan cahaya lampu kuning yang menenangkan, Generasi Z pelan-pelan mulai berpindah dari layar ponsel ke lembar permainan.
“Kalau sudah mulai main, orang yang belum kenal bisa langsung akrab. Itu yang bikin kami terus ngadain pertemuan,” ujar Ketip selaku pengurus KOBOY.
Fenomena di GitGud Baciro, Gondokusuman, menunjukkan perubahan besar dalam cara anak muda menghabiskan waktu luang. Kafe-kafenya kini tak lagi sekadar tempat cari Wi-Fi, ngerjain tugas, atau nge-scroll layar handphone.
Tempat itu perlahan jadi ruang untuk ketemu dan ngobrol langsung. Di tengah rasa bosan sama dunia digital dan budaya game online, board game bikin anak muda bisa balik lagi ke interaksi tatap muka, ngobrol-ngobrol sambil main bareng.
Kemunculan boardgame seperti yang tampak di GidGad sebenarnya merupakan bagian dari tren yang tumbuh di berbagai kota besar Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, board game kembali diminati sebagai alternatif hiburan yang lebih intim dan sosial.
Di Yogyakarta, hal ini semakin terlihat melalui hadirnya berbagai komunitas dan kafe yang menyediakan ruang khusus untuk bermain.
KOBOY menjadi salah satu yang paling konsisten menjaga kegiatan mingguan mereka, terlebih setelah masa pandemi yang membuat banyak orang lama terpisah dan merindukan interaksi langsung.
Setelah masa isolasi yang panjang, di mana orang-orang merindukan kontak langsung, KOBOY menjadi contoh ketahanan komunitas lokal. Dengan jadwal rutin setiap minggu, mereka menawarkan ruang aman untuk bermain, diskusi, dan pertukaran ide, membantu mengembalikan kehidupan sosial yang sempat terhenti.
Menurut pengurus KOBOY, kegiatan ini tidak hanya tentang hiburan, tetapi juga membangun solidaritas di tengah tantangan pasca-pandemi.
Di GitGud, perubahan suasana yang sungguhan terjadi saat komunitas KOBOY berkumpul, mengubah kafe tenang menjadi ruang ramai di mana pemain yang awalnya asing perlahan akrab, dengan tawa keras dari kekalahan dan bisikan strategis yang memenuhi udara.
GitGad sangat berbeda dari cafe pada umumnya, dia tidak hanya menyediakan makanan dan minuman saja tetapi dia mempunyai tempat bermain boardgame mulai dari yang mudah hingga susah.
Lebih dari sekadar hiburan, kegiatan KOBOY membangun relasi sosial baru di kalangan anak muda. Beberapa anggota bahkan mengaku menjalin pertemanan yang berlanjut di luar kegiatan komunitas.
“Awalnya aku main game online, tapi sekarang lebih tertarik di board game,”ujar Agustinus orang random yang sedang barmian boardgame.
Kafe seperti GitGud pun ikut merasakan dampaknya. Ruangan menjadi lebih dinamis, interaksi lebih hangat, dan pengunjung tampak lebih betah berlama-lama.
Bagi pemilik kafe, komunitas seperti KOBOY bukan hanya membawa keramaian, tetapi juga menciptakan identitas baru dimana kafe sebagai ruang perjumpaan, bukan sekadar tempat duduk sambil melihat layar handphone.
Tantangan terbesar KOBOY memang terletak pada penerimaan anggota baru. “Anak baru biasanya lebih pendiam,” ujar Ketip.
“Mereka sudah tahu board game, tapi tetap perlu tutorial. Kami harus pastikan mereka nggak langsung dilempar ke game yang terlalu berat.” Kata Rakha selaku pengurus KOBOY.
Itu sebabnya KOBOY sering memulai pertemuan dengan permainan ringan untuk mencairkan suasana sebelum masuk ke permainan lebih kompleks.
Dari layar HP ke lembar permainan, anak-anak muda mulai menemukan lagi cara lama buat terhubung satu sama lain. Tanpa notifikasi yang berdering, tanpa algoritma yang menentukan permainan game online. Cuma pion kecil, kartu, papan, dan obrolan yang ngalir apa adanya.
Di GitGud Baciro, Gondokusuman, suasana nongkrong Gen Z pun berubah jadi lebih hangat, lebih rame, dan terasa jauh lebih manusiawi.
Fenomena ini menunjukkan bahwa Gen Z tidak sepenuhnya terikat pada layar handphone. Mereka justru mencari ruang yang dapat mempertemukan mereka secara langsung, ruang yang memberikan rasa kebersamaan tanpa rutinitas membuka tutup aplikasi.
Kehadiran komunitas seperti KOBOY di Yogyakarta, menjadi bukti bahwa interaksi tatap muka masih memiliki daya tarik kuat di tengah gempuran teknologi digital.