Menilik Kesiapan LIPI dalam Menghadapi Perubahan Reformasi Birokrasi

Ayu Nabila | Ayu Tari Kurnia
Menilik Kesiapan LIPI dalam Menghadapi Perubahan Reformasi Birokrasi
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Indonesia (Wikipedia)

Pengembangan organisasi menjadi salah satu kunci bagi LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dalam mempertahankan eksistensinya di bawah tingginya tuntutan lingkungan. Salah satunya untuk menghadapi perubahan reformasi birokrasi. Lantas, bagaimana cara LIPI membentuk kesiapan guna menghadapi perubahan reformasi birokrasi tersebut? Simak penjelasan di bawah ini untuk mengetahuinya lebih jauh.

Kenyataan kualitas birokrasi publik di Indonesia yang masih inefisiensi, berbelit-belit, banyak aturan formal yang tidak dipatuhi, serta tingginya pertumbuhan pegawai dan perluasan struktur menjadikan birokrasi semakin besar (Romli dalam Wahyurudhanto, 2020). Lebih lanjut Rahmat dalam Wahyurudhanto (2020) mengatakan bahwa sistem administrasi publik di Indonesia masih menghadapi permasalahan yang sangat mendasar yakni orientasi dari struktur birokrasi, norma, nilai, dan peraturan yang mengarah pada pemenuhan kepentingan penguasa dan bukan pemenuhan hak-hak sipil warga negara.

Upaya mewujudkan sistem pemerintahan yang bersih, demokratis, dan berwibawa, pemerintah perlu menjadikan hal ini sebagai prioritas utama pada era reformasi. Salah satunya yakni tuntutan teknologi dan dorongan lingkungan yang begitu tinggi mengharuskan setiap instansi pemerintah untuk beradaptasi terhadap perubahan besar dalam kegiatannya guna mempermudah pelaksanaan suatu kegiatan secara efektif dan efisien (Mahdanisa & Nurlim, 2018).

Dinamika lingkungan dengan ciri volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity (VUCA) semakin memberikan dorongan dan tuntutan kepada seluruh organisasi untuk tetap bersaing baik dengan kompetitornya maupun lingkungan. Menurut Elysia, Wihadanto, & Sumartono (2017) sebuah organisasi perlu melakukan perubahan untuk mempertahankan eksistensinya. Dalam melaksanakan reformasi birokrasi, secara khusus LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) didorong untuk memberikan manfaat yang akan dirasakan oleh masyarakat terhadap keberadaannya.

Tingginya tuntutan masyarakat mendesak LIPI untuk terus meningkatkan pelayanan publik agar kinerja birokrasi dapat terlihat dengan melakukan perubahan organisasi yang dapat dilihat dari konsep organizational development. Perubahan organisasi yang dilakukan LIPI merupakan tindak lanjut roadmap yang diterbitkan oleh Kementerian Pendayagunaan dan Aparatur Negara No. 25 Tahun 2020 Tentang Roadmap Reformasi Birokrasi LIPI Tahun 2020 - 2024. Roadmap tersebut merupakan panduan rencana kerja lima (5) tahun pada pelaksanaan program kerja di delapan (8) area perubahan, salah satunya manajemen perubahan. 

Wibowo (2011) mengartikan manajemen perubahan sebagai suatu proses sistematis dalam menerapkan pengetahuan, sarana, dan sumber daya yang diperlukan untuk mengetahui perubahan pada orang yang akan terkena dampak dari proses perubahan tersebut. Tim Creacev, Director of Research and Development Prosci Research dalam Nuryanto (2015) mendefinisikan manajemen perubahan sebagai suatu teknik, alat, dan proses dalam mengelola individu-individu untuk berubah dalam rangka mencapai tujuan bisnis yang telah ditentukan.

Adapun tujuan utama dalam perubahan yakni untuk meningkatkan kinerja organisasi dengan cara merubah bagaimana mengerjakan pekerjaan dengan lebih baik yang meliputi perubahan individu, organisasi, struktur, proses, pola pikir, dan budaya kerja. Proses perubahan yang terjadi pada LIPI termasuk ke dalam perubahan transformasional, di mana adanya pengubahan karakter dasar organisasi, termasuk bagaimana struktur dan bagaimana hubungannya dengan lingkungan.

Menurut Cummings & Worley (2016) perubahan transformasional dapat terjadi sebagai respons untuk atau dalam mengantisipasi perubahan besar dalam lingkungan atau teknologi organisasi. Salah satu karakteristik perubahan transformasional yakni adanya gangguan dari lingkungan dan internal.

Apabila melihat pada kasus LIPI, gangguan dari pihak internal digambarkan oleh agent of change dengan beberapa indikasi permasalahan diantaranya terjadinya tumpang tindih sistem antar satuan kerja, tidak saling terkoneksinya satuan kerja yang berimbas pada ketidakakuratan dan validitas data dalam mengambil keputusan, terbatasnya jumlah SDM manajemen IPTEK yang paham akan penggunaan sistem di setiap satuan kerja, hingga data yang saling duplikasi.

Sementara gangguan yang terjadi dari lingkungan yakni revolusi industri dan penggunaan teknologi yang semakin masif memaksa LIPI untuk keluar dari zona nyamannya (Laporan Manajemen Perubahan, 2020). 

Karakteristik lain dalam perubahan transformasional yang melibatkan pembentukan kembali elemen desain organisasi dan budaya dicirikan sebagai sistemik dan revolusioner karena seluruh sifat organisasi diubah secara fundamental. Perubahan ini dikarenakan adanya dorongan oleh senior eksekutif, sehingga perubahan dapat terjadi dengan cepat dan tidak terperosok ke dalam politik, resistensi individu dan bentuk lain dari inersia organisasi.

Perubahan LIPI ini berawal dari cita-cita kepala LIPI yang menginginkan pembangunan lembaga riset yang berkelas dunia, sesuai dengan visi LIPI yaitu menjadi lembaga ilmu pengetahuan berkelas dunia dalam penelitian, pengembangan, dan pemanfaatan ilmu pengetahuan untuk peningkatan daya saing bangsa.

Visi tersebut dibuat didasarkan research and development Indonesia yang masih terbelakang, jadi dalam meningkatkan kualitas lembaga riset diperlukan pengelolaan dan perubahan yang fundamental di mana hal tersebut terletak pada sumber daya manusia, infrastruktur riset, anggaran, manajemen, dan tata kelola riset itu sendiri.

Untuk mencapai visi tersebut, strategi yang diambil yakni dengan menarik SDM pendukung ke pusat yang dibawahi sekretaris utama. Penarikan atau perubahan fungsi SDM dilakukan guna meningkatkan kualitas riset di LIPI, yakni dengan menetapkan SDM IPTEK berbanding dengan SDM Manajemen IPTEK 3:1 di mana sampai saat ini kondisinya belum ideal (Laporan Manajemen Perubahan, 2020).

Adanya penataan ulang tersebut memang menimbulkan pergolakan, karena seluruh karyawan harus bergerak keluar dari zona nyamannya untuk melakukan penggabungan di kondisi adanya persaingan. Apabila karyawan tersebut tidak memiliki kinerja maka akan dilupakan, sedangkan karyawan terus menghasilkan karya maka dia dapat terus berkembang.

Oleh karena itu, setiap individu perlu melakukan perubahan dari mindset dan pola kerja di mana hal itu menjadi tuntutan karyawan untuk terus menambah wawasan agar dapat bersaing dan berkembang pada kondisi saat ini.

Pada masa Pak Handoko menjabat, perubahan dari sistem birokrasi yang lama ke yang baru itu cukup terbilang cepat, karena apabila perubahan tidak dilakukan segera dan bertahap akan kehilangan momennya dan perubahan akan gagal. Sehingga, saat orang ingin kembali pada sistem yang lama akan sulit, karena sistem yang diterapkan saat ini sudah akuntabel dan transparan. 

Dengan begitu, strategi yang diambil LIPI dalam melakukan penarikan SDM tersebut terbilang efektif dan efisien, serta sejalan dengan visi yang dibawa. Hal ini selaras dengan Stoner & dkk (1996) yang mengatakan bahwasannya lingkungan organisasi terdiri dari internal dan eksternal yang dapat memberikan pengaruh baik secara langsung dan tidak langsung dalam organisasi. Oleh sebab itu, Pak Handoko selaku Kepala LIPI saat itu mengambil keputusan untuk memperbaiki sistem internal terlebih dahulu secara masif agar dapat memberikan pelayanan yang lebih baik terutama pada peneliti.

Pengembangan organisasi LIPI tidak terlepas dengan intervensi yang dilakukan selama perubahan berjalan dalam rangka memecahkan masalah organisasi, kepemimpinan, visi, dan menyelesaikan tugas antar kelompok bagi sebagian sistem atau seluruh organisasi. Terdapat tiga bentuk intervensi yaitu organization confrontation meeting, intergroup relation, dan large-group intervention.

Intervensi yang paling terlihat pada kasus LIPI ini adalah Organization Confrontation Meeting di mana suatu intervensi yang diperkenalkan oleh Beckhard dan memiliki tujuan dalam memobilisasi sumber daya organisasi untuk melakukan identifikasi masalah dan menetapkan prioritas dan target aksi (Cummings & Worley, 2008). 

Dalam rangka mengoptimalkan perubahan sistem yang berbelit-belit ke sistem yang transparan dan akuntabel, maka dibentuklah tim manajemen perubahan. Pada awalnya, tim manajemen perubahan diisi oleh para peneliti yang berada di bidang analisis kebijakan dan sosial. Namun, tim manajemen perubahan saat masa Pak Handoko dipimpin oleh Muhammad Hanif yang langsung ditunjuk oleh Kepala LIPI.

Penunjukkan tersebut pastinya melihat dari  kompetensi personil yang memiliki kapabilitas untuk memimpin perubahan yang akan dilakukan di LIPI. Pada dasarnya, pembentukan tim manajemen perubahan hanya sebagai penggerak reformasi birokrasi karena nantinya tim manajemen perubahan akan melakukan kolaborasi pada seluruh area perubahan. 

Dalam mengidentifikasi masalah setiap satuan kerja, Proses Organization Confrontation Meeting dilakukan melalui monitoring dan evaluasi. Di mana setiap satuan kerja memaparkan capaian, program yang akan dijalankan, serta hambatannya. Setelah pemaparan tersebut tim manajemen perubahan akan mengumpulkan dan mengklasifikasikan permasalahan-permasalahan yang ada di satuan kerja menjadi prioritas perubahan organisasi dan merancang strategi untuk mengatasi permasalahan tersebut.

Salah satunya seperti pemanfaatan teknologi yang belum terintegrasi di mana setiap satuan kerja memiliki back office masing-masing. Akhirnya tim manajemen perubahan menggagaskan satu website bernama Intra LIPI sebagai back office yang mana seluruh informasi dapat diakses melalui website tersebut.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak