Sosok pergerakan mahasiswa jumlahnya sangat banyak. Di antara nama-nama yang banyak itu mengerucut segelintir nama yang mempunyai peran dan pemikiran cemerlang. Namanya abadi dikenang, bahkan menjadi tokoh panutan mahasiswa.
Siapa yang tidak mengenal Soe Hok Gie, tokoh mahasiswa pergerakan tahun 1960-an. Tentu jika kita suka membaca sejarah mahasiswa, tokoh ini tidak asing di dalam buku-buku itu.
Gie selama hidupnya adalah seorang kreator. Kesehariannya tidak hanya disibukkan mengurus tugas kuliah yang, tetapi juga diisi dengan membuat karya. Karya yang dibuat berupa catatan harian yang ditulisnya.
Sejak duduk di bangku SMP, Gie sudah gemar menuliskan catatan harian. Dalam catatannya, sosok beretnis Tionghoa itu menulis kegelisahan dan kegiatannya sehari-hari. Tak jarang kebenciannya dengan seseorang, juga ia tuliskan dalam secarik kertas di dalam kamarnya.
Sebagai contohnya yang ia tuliskan di catatan harian, saat gelisah dengan kenyataan yang diterimanya di bangku sekolah. Waktu itu, gurunya memberikan nilai jelek kepadanya. Padahal ia merasa nilai yang didapatkan lebih tinggi daripada yang diberikan guru.
4 Maret 1957 "Hari ini adalah hari ketika dendam mulai membatu. Ulangan Ilmu Bumiku 8 tapi dikurangi 3, jadi tinggal 5. Aku tak senang dengan itu. Aku iri karena di kelas merupakan orang ketiga terpandai dari ulangan tersebut. Aku percaya bahwa setidak-tidaknya aku yang terpandai dalam Ilmu Bumi dari seluruh kelas. Dendam yang disimpan, lalu turun ke hati, mengeras sebagai batu. Kertasnya aku buang. Biar aku dihukum, aku tak pernah jatuh dalam ulangan." (Halaman 58)
Gie, menuliskan catatan harian tidak rutin setiap hari. Terkadang ada jeda satu minggu bahkan satu bulan tidak menulis catatan harian sama sekali. Di samping itu, pasti ada bagian-bagian yang bersifat privat yang tidak ikut dibukukan oleh kakaknya, Arief Budiman menjadi buku Catatan Seorang Demonstran.
Nama terakhir yang disebut, bahkan menemukan tulisan Gie, dua tahun setelah sang adik wafat. Waktu itu Arief sedang membereskan barang-barang Gie. Tanpa disengaja, Arief menemukan kumpulan catatan yang ditulis Gie di laci meja. Kemudian barulah catatan itu dikumpulkan untuk dibukukan.
Semangat menulis Gie, tidak hanya berhenti saat di bangku SMP saja. Saat naik ke jenjang SMA, bahkan sampai ke tingkat perguruan tinggi, semangat menulisnya tidak luntur. Malahan, saat di bangku kuliah tulisannya mulai menyasar ke arah politik waktu itu. Dan tentunya tulisannya semakin baik.
Misalnya, pada waktu tahun-tahun terakhir kepemimpinan Presiden Soekarno. Momen itu tidak luput dari perhatian Gie. Dirinya berperan sebagai salah satu orang yang punya kontribusi besar pada waktu itu untuk menurunkan Bung Karno.
Idealismenya sangat kuat. Setelah pucuk kekuasaan berganti, di kala banyak teman-temannya waktu demo kepincut menjadi bagian pemerintahan. Gie ogah untuk masuk di dalamnya. Ia menyebut teman-temannya sebagai seorang penjilat yang lihai merias diri.
Syahdan, siapa sangka, embrio pembentukan mahasiswa pecinta alam (Mapala) berasal dari kampus Gie, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. Sampai saat ini, organisasi ini sudah menyebar seantero Indonesia. Dulu, saat Gie muak dengan keadaan, dirinya sering pergi ke lembah maupun gunung.
Namun sayang, sang idealis dan pecinta alam itu telah berpulang selama-lamanya saat masih muda. Ia meninggal di Gunung Semeru saat mendaki gunung bersama 7 orang temannya. Saat itu tanggal 16 Desember 1969, atau satu hari menjelang ulang tahunnya ke 27. Selamat tinggal Gie. Catatanmu akan selalu dikenang.
- Judul Buku: Catatan Seorang Demonstran
- Penyunting: Ismid Hadad, Fuad Hashem, Aswab Mahasin, Ismet Natsir, dan Daniel Dhakidae
- Penerbit: LP3ESTebal: xxx + 385 hlm.
- ISBN: 9789793330334