Dalam sejarah, terdapat periodisasi atau pembabakan, sama halnya dengan sastra atau kesusastraan. Sastra memiliki periode yang didasarkan pada norma, konflik, karya, dan pendapat lainnya. Periodisasi ini tentu memiliki karakteristik atau cirinya masing-masing. Karakteristik ini menjadi pembeda antara angkatan satu dengan angkatan lainnya. Berikut adalah periodisasi angkatan sastra beserta karakteristiknya:
1. Periode 1850-1933
Pada periode ini banyak karya sastra yang ditulis dengan genre roman, yang beralur lurus. Gaya bahasanya menggunakan perumpaan klise dan menggunakan peribahasa, tetapi menggunakan bahasa percakapan sehari-hari, banyak digresi, bercorak romantis, dan didaktis. Periode ini melahirkan sastrawan beserta karyanya, seperti Abas St Pamuncak (Pertemuan), Nur Sutan Iskandar (Katak Hendak Jadi Lembu, Karena Mentua, Salah Pilih, Hulubalang Raja), Selasih (Kehilangan Mestika), Marah Rusli (Siti Nurbaya), Panji Tisna (Sukreni Gadis Bali), Abdul Muis (Salah Asuhan), Hamka (Tenggelamnya Kapal van der wijck).
2. Periode 1933-1942
Pada periode ini banyak karya sastra yang diciptakan. Karya terbanyak yang ditulis adalah puisi, selain drama, cerpen, roman yang beraliran romantik, puisi jenis baru dan soneta. Prosa ditulis dengan menggunakan watak bulat, teknik perwatakan tidak analisis langsung, alurnya erat karena tidak ada digresi, isinya mempersoalkan kehidupan masyarakat kota seperti pemilihan pekerjaan, emansipasi, diwarnai idealisme dan cita-cita kebangsaan, serta bersifat didaktis. Pengarang yang termasuk periode ini adalah Tatenteng (Rindu Dendam), Armyn Pane (Belenggu), Sanusi Pane (Sandiyakalaning Majapahit dan Madah Kelana), Mohammad Yamin (Indonesia Tumpah Darahku), Amir Hamzah (Nyanyian Sunyi, Buah Rindu), Sutan Takdir Alisyahbana (Layar Terkembang dan Tebaran Mega).
3. Periode 1842-1945
Periode ini ditandai dengan banyaknya karya propaganda dan sarat dengan politik Jepang. Karya propaganda tersebut guna mempengaruhi rakyat Indonesia untuk membantu Jepang dalam menghadapi perang Asia Raya. Upaya tersebut diwujudkan melalui Balas Pustaka (Keimen Bunka Shidosho) untuk menerbitkan berbagai karya seperti novel, puisi, dan cerpen yang berisikan tentang keunggulan maupun kebaikan Jepang. Selain itu, Jepang melakukan propaganda tersebut dengan sandiwara sebagai medianya.
4. Periode 1945-1961
Jepang mengadakan sayembara penulisan, baik cerpen maupun naskah sandiwara. Sayembara ini dilakukan untuk melengkapi karya-karya propaganda. Pemenang cerpen ialah Rosihan Anwar (Radio Masyarakat), sedangkan untuk pemenang sayembara, seperti J.Hoetagalung (Koeli dan Roomusya), F.A. Tamboenan (Poesaka Sedjati dari Seorang Ajah), dan A.M.Soekma Rahayoe (Banteng Baroreng).
5. Periode 1945-1961
Karya sastra yang dihasilkan pada periode ini sangat berkembang pesat dengan mengetengahkan permasalahan hak asasi manusia dan humanisme universal. Pada periode ini, karya sastra puisinya menggunakan puisi bebas dengan gaya simbolik, realis, gaya ekspresionisme, menggunakan bahasa kiasan, dan kata-kata yang ambigu.
6. Periode 1961-1971
Periode ini hampir sama dengan periode sebelumnya, yaitu dalam segi struktur estetisnya, ide kenasionalan, ide rakyat, dan bahan sastranya diambil dari budaya Indonesia itu sendiri. Pada periode ini tidak muncul novel-novel besar, tapi cerpennya dimuat di berbagai media massa.
7. Periode 1971-1998
Pada periode ini marak sekali karya populer dengan bentuk eksperimentasi sastra dalam sastra. Masalah yang diangkat dalam karya sastra puisi pada periode ini perihal masalah sosial, pengangguran, kemiskinan, dan lain-lain. Gaya yang muncul pada puisi ini ialah gaya puisi mantra, lugu, imajisme, dan lirik.
Nah, itulah pembagian periodisasi karya sastra berdasarkan karakteristiknya.
Sumber: Erowati, Bahtiar. Sejarah Sastra Indonesia. Tangerang Selatan: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2011.