Pada masa dekade 1950-an, kekuatan udara Indonesia bertumpu kepada alutsista hibah dari Belanda yang pada masa pasca pengakuan kedaulatan memberikan selurut alutsistanya untuk digunakan oleh Indonesia. Di masa ini, Indonesia juga melakukan pembelian pesawat dari beberapa negara guna mendukung kegiatan dirgantara baik sipil maupun militer. Salah satu pesawat yang dibeli oleh Indonesia saat itu adalah DHC-3 Otter buatan pabrikan De Havilland Canada.
Pesawat ini dibeli pada dekade 1950 yang diproyeksikan sebagai pesawat angkut perintis untuk menghubungkan seluruh kepulauan di Indonesia yang pada saat itu belum memiliki lapangan udara yang memadai. Selain dipergunakan untuk kepentingan angkut sipil, pesawat ini ternyata juga diterjunkan dalam beberapa misi militer oleh AURI. Seperti apakah rekam jejak pesawat tersebut? Simak ulasan ringkasnya berikut ini.
Pesawat yang Didesain Dapat Mendarat di Air dan Daratan
Pesawat De Havilland DHC-3 Otter merupakan pesawat amfibi yang dapat beroperasi baik di darat maupun di air. Melansir dari wikipedia.com, pesawat ini merupakan pengenmbangan lebih lanjut dari pesawat De Havilland DHC-2 Beaver yang terlebih dahulu diproduksi oleh pabrikan De Havilland Canada. DHC-3 dikembangkan sejak tahun 1950 dan mulai berdinas pada tahun 1953 di Kanada.
BACA JUGA: Mengenal Skinny Pig, Marmut Tanpa Bulu yang Bisa Mencapai Harga Jutaan
Pesawat ini memiliki sistem pelampung beroda pada bagian kaki pesawat yang dipergunakan untuk mendarat di air dan di darat. Pesawat ini juga terkenal mampu lepas landas di lapangan udara dengan kondisi kurang memadai. Bahkan, pesawat ini hanya memerlukan lapangan udara yang memiliki panjang sekitar 400 meter saja untuk dapat lepas landas maupun mendarat. Kelebihan inilah yang membuat pesawat ini dilirik oleh AURI unuk membuka jalur penerbangan di daerah pedalaman saat itu.
Menjadi Pesawat Perintis di Indonesia
Pesawat ini dibeli oleh Indonesia untuk menggantikan pesawat Auster yang merupakan hibah dari Belanda. Melansir dari situs Aviahistoria, pesawat ini dibeli sebanyak 7 unit oleh AURI kala itu. Di lingkup militer pesawat ini masuk ke dalam skuadron 4 intai/angkut ringan karena kemampuannya yang dapat terbang rendah dan beroperasi di medan ekstrim.
Pesawat ini juga dipergunakan oleh skuadron DAUM (Djawatan Angkutan Udara Militer) yang menjadi skuadron penerbangan sipil pertama di Indonesia kala itu. Selain itu, pihak AURI juga menyumbangkan sekitar 4 unit pesawat ini ke maskapai Merpati Nusantara Airlines yang pada saat itu baru berdiri di tahun 1960-an.
Pesawat ini mampu mengangkut penumpang dengan kapasitas 9-12 orang termasuk dengan pilot. Pesawat ini juga mampu mengangkut kargo sekitar 2.500 kg dan mampu terbang dengan kecepatan maksimal hingga 250 km/jam. Pesawat ini mampu terbang dengan jarak jangkauan sekitar 1.500 km dan memiliki ketahanan terbang sekitar 8-9 jam. Pesawat ini juga tergolong mudah dirawat karena hanya memiliki 1 mesin yakni Pratt & Whitney R-1340-S1H1-G Wasp 9-cylinder.
BACA JUGA: 3 Pilihan Pesawat AEW&C yang Kemungkinan Dibeli oleh Militer Indonesia
Digunakan Untuk Misi Penyusupan
Di lingkup militer, pesawat ini dipergunakan sebagai pesawat intai sekaligus angkut ringan oleh AURI. Salah satu misi yang cukup terkenal dari pesawat ini adalah melakukan misi penyusupan ke kawasan Kalimantan yang berbatasan langsung dengan Malaysia pada tahun 1964-1965. Misi tersebut merupakan bagian dari operasi Dwikora yang bertujuan untuk menggagalkan pembentukan negara Malaysia oleh Inggris.
Akibat dari misi tersebut, hubungan Inggris dan Indonesia menjadi buruk yang berdampak kepada beberapa negara persemakmuran Inggris yang lain termasuk Kanada. Kanada kemudian melakukan embargo kepada Indonesia yang membuat suku cadang dari pesawat DHC-3 Otter yang dioperasikan oleh AURI kian susah didapatkan. Hal inilah yang membuat pesawat tersebut pada akhirnya harus dipensiunkan karena susahnya suku cadang.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS