Isbedy Stiawan ZS mengembangkan daya kreativitasnya seiring fenomena alam dan pertumbuhan zaman. Inilah kesan yang mewakili perasaan pembaca usai membaca buku kumpulan cerpen berjudul Hanya untuk Satu Nama ini.
Ketika banyak penerbit di tanah air ini yang cenderung menerima naskah cerita daripada puisi, Isbedy Stiawan ZS sigap berkompromi menerima permintaan pasar. Ia melahirkan banyak karya cerita, mempublikasikan ke media massa, lalu menghimpunnya dalam buku.
BACA JUGA: 3 Pelajaran Hidup dari Drama Korea 'Dr. Cha', Nyalakan Ambisi Mengejar Cita
Dalam buku terbitan Bentang Pustaka (2005) ini, menunjukkan bahwa Isbedy mengasah kreativitasnya seiring fenomena alam. Setidaknya terdapat tiga cerita yang mengangkat soal bencana yang dikemas apik oleh Isbedy dengan bingkai keluarga, persahabatan dan kekasih. Ketiga cerita yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Kupu-Kupu di Jendela
Dalam cerpen ini mengisahkan tentang kupu-kupu warna-warni yang tidak lagi pernah hinggap ke jendela rumah usai tragedi air pasang yang datang tiba-tiba dan telah menghapus segala kenangan. Gelombang pasang yang diempas laut ke kampung tersebut menyisakan kepedihan. Pedih yang mungkin tak pernah terhapuskan. Bah yang datang di Minggu pagi yang membuat seseorang tak lagi bertemu dengan sang bunda, ayah, dan adik-adiknya.
Isbedy menggambarkan kondisi rumah-rumah usai diporak-porandakan gelombang besar dengan ketidakhadiran kupu-kupu. Bagaimana mungkin kupu-kupu hinggap di kota yang kini hancur? Kupu-kupu hanya ingin hinggap di pucuk bunga di taman indah, bukan di atas kubangan lumpur dan puing-puing bekas tiang rumah yang hancur.
BACA JUGA: Mengungkap Nilai Geografi Politik dalam Film Maleficent
2. Ibu Berperahu Sajadah
Cerita ini pun masih seputar bencana air bah yang datang tiba-tiba dan meluluh-lantakkan segalanya. Tempat tinggal, harta benda, binatang piaraan, perasaan dan kenangan manis. Dalam cerita Ibu Berperahu Sajadah ini, seorang anak melihat ibunya yang melambai dibawa arus gelombang mahabesar. Sementara tangannya yang satu lagi mendekap kitab suci.
Hari Minggu pagi yang nahas itu ketenangan berubah menjadi gaduh. Terdengar di mana-mana suara minta tolong dan nama Tuhan disebut berulang-ulang. Anak itu melihat ibunya melambai di tengah gelombang dahsyat. Ibunya seperti berperahu sajadah, berkendara iman dan mengembangkan kain layar yang dijahitnya bertahun-tahun dengan benang takwa.
BACA JUGA: Perempuan Peramal Bencana dalam Buku 'Seminar Mengatasi Keluhan Pelanggan'
3. Perempuan yang Berenang saat Bah
Nyaris serupa dengan dua cerpen sebelumnya, cerpen ini pun masih berkaitan dengan gelombang besar yang menyapu Aceh pada Desember 2004 itu. Dalam cerpen ini bencana dipadukan dengan percintaan. Shinta Larasati yang hendak dilamar tokoh 'aku', tiba-tiba lebih dulu dilamar Teuku Nurgani. Hanya tiga bulan perkenalannya dengan Teuku Nurgani, Larasati langsung dilamar, lalu dinikahi dan dibawa ke kampung kelahiran suaminya, menetap di sana hingga bencana itu datang pada Minggu, 26 Desember 2004.
Inilah ulasan tiga cerpen Isbedy Stiawan ZS yang dianyam dari bencana alam yang ia saksikan di Aceh, cerpen-cerpen ini dihimpunnya, lalu ia kirim ke meja penerbit untuk dibukukan di saat banyak penerbit lebih berminat menerima naskah cerita ketimbang naskah puisi.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS