Review Novel 'Garnish', Membebaskan Anak Mencari Kebahagiaannya Sendiri

Hayuning Ratri Hapsari | Fathorrozi 🖊️
Review Novel 'Garnish', Membebaskan Anak Mencari Kebahagiaannya Sendiri
Novel Garnish karya Mashdar Zainal (Dok. Pribadi/Fathorrozi)

Jangan terlalu mendikte anak yang sudah beranjak dewasa untuk mengikuti kehendak orang tua. Namun, selaku orang tua hendaknya memberi kebebasan terhadap anak untuk mencari kebahagiaannya sendiri dengan sembari memantau tingkah laku dan hasil kerjanya. Inilah pesan yang ingin disampaikan oleh penulis novel Garnish, Mashdar Zainal.

Di bagian awal pada novel ini, digambarkan seorang anak laki-laki yang usai lulus SMA oleh ibunya dikuliahkan ke Fakultas Ekonomi agar dapat mewarisi profesi ayahnya sebagai ekonom sejati.

Sayangnya, selepas menyelesaikan kuliah di Fakultas Ekonomi si anak justru memiliki kebiasaan aneh, ia lebih suka berlama-lama di dapur untuk memasak.

Sejak kecil, setiap ia menginjakkan kakinya di dapur seolah ia menemukan dunianya sendiri. Saat melihat kompor, pisau, perkakas masak, bumbu-bumbu dan sayur-mayur, ia seakan telah menemukan kedamaian yang tiada tanding. Setiap kali memerhatikan orang masak, ia seperti menyaksikan sebuah ritual yang sangat luhur.

Anak laki-laki yang suka berurusan dengan dapur tersebut sering kali dapat reaksi buruk dari ibunya. Si ibu tidak ingin anak laki-lakinya berada di dapur, sebab dapur adalah urusan perempuan. Ibunya ingin ia berkegiatan layaknya anak laki-laki lain yang suka main bola, main musik, merakit mesin, dan bercocok tanam.

Bahkan, saat SMP ibunya selalu memarahinya lantaran ia ambil jurusan ekstrakurikuler Tata Boga. Ibunya mengira bahwa ia bencong. Tapi, untung ayahnya tiba-tiba datang dan membelanya seraya mengatakan bahwa di luar sana banyak pula laki-laki jadi chef atau pun koki di restoran bintang lima.

Karena selalu mendapat respons buruk dari ibu, si anak akhirnya keluar rumah dengan melumurkan saus dan kecap ke seluruh tubuhnya. Persis seperti orang gila yang tidak tahu cara melampiaskan kemarahan dengan benar.

Sedangkan pada bagian kedua novel ini, digambarkan seorang anak perempuan yang memiliki hobi melukis namun tidak sepadan dengan kehendak ayahnya.

Sebab selalu diatur-atur oleh ayahnya, si anak perempuan itu merasa hidupnya seperti robot. Bangun pagi, sarapan dengan menu yang sudah terhidang di meja makan. Jika pun ingin keluar rumah, harus diantar supir dengan waktu yang ketat.

Ayahnya tidak menginginkan si anak perempuan tersebut menjadi seorang pelukis, sebab katanya, melukis adalah pekerjaan seniman pengangguran. Melukis hanya menjadikan rumah kotor, sedangkan ayahnya tidak suka hal-hal yang kotor.

Menanggapi itu, anak perempuan itu akhirnya menumpahkan cat air aneka warna ke seluruh tubuhnya lalu lari dari lantai dua ke lantai satu, dan kabur dari rumah seperti orang gila. Ia menganggap, menjadi gila jauh lebih baik daripada menjadi robot yang dipenjara.

Demikianlah sebagian isi dari novel terbitan de Teens (2016) ini. Seperti karya-karya Mashdar Zainal yang lain, dalam novel ini pun ia meramu tuturan kisahnya dengan bahasa indah dan mudah dipahami. Selamat membaca!

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak