Realisme Magis dalam Buku Lelaki yang Membelah Bulan

Hikmawan Firdaus | Rie Kusuma
Realisme Magis dalam Buku Lelaki yang Membelah Bulan
Cover Lelaki yang Membelah Bulan.[Doc. Gramedia Digital]

Noviana Kusumawardhani bekerja paruh waktu di Bali Spirit Festival, festival tahunan yoga, musik, dan tari di Ubud, Bali. Tulisan-tulisannya dimuat di majalah Femina, Addiction, Cakram, Soap, dan harian Kompas.

Buku kumpulan cerita pendek Lelaki yang Membelah Bulan terbitan Kepustakaan Populer Gramedia (2011) ini berisikan karyanya berupa delapan cerita pendek yang keseluruhannya bertemakan kematian, kesedihan, perpisahan, dan luka.

Seperti cerpen pertama berjudul Rongga. Cerpen ini mengisahkan tentang sebuah desa yang penduduknya selalu penuh kebahagiaan dan sukacita. Namun, setiap menjelang senja, kesedihan akan mulai turun menyelimuti desa tersebut.

Tapi, tak seorang pun penduduk desa yang diizinkan untuk memperlihatkan kesedihan bahkan untuk sekadar membicarakannya. Jika mereka tak dapat menahan kesedihan, maka kerongkongan para penduduk akan berlubang dengan sendirinya.

Pada intinya lubang itu harus ditutupi, karena kalau tidak rongga di leher itu begitu mudah infeksi dan kesakitan akan menghebat. Kesedihan yang melahirkan kesakitan. Orang-orang di desa itu tak ingin mengalami kesakitan, sehingga setiap kesedihan datang mereka akan berupaya sekuat tenaga menyembunyikannya dengan rapat, bahkan nafas mereka pun tidak tahu di mana kesedihan berada. (hlm 2)

Cerpen selanjutnya berjudul Perempuan Senja. Di cerpen ini, si tokoh perempuan selalu menari ketika hari mulai senja. Tarian yang menyebabkan kecemburuan dari para perempuan dan memicu gairah para lelaki di desanya.

Sampai ketika akhirnya si perempuan senja jatuh cinta dan ia berhenti menari, kesedihan lahir dari wajah orang-orang yang kehilangan. Mereka menyalahkan kehadiran lelaki yang membuat perempuan senja tak lagi menari.

Rasa sedih itu akhirnya melahirkan kemarahan. Orang-orang itu akhirnya marah kepada lelakiku. Mereka menganggap dialah yang telah merenggut aku dari setiap senja yang selalu mereka nantikan; senja yang memberi gairah pada hati mereka; senja yang memberi kecemburuan di mana para perempuan yang merasakannya sebenarnya sangat berterima kasih karena mereka menyadari betapa mereka masih punya cinta luar biasa kepada suami-suami mereka. (hlm 17).

Cerpen yang menjadi judul buku ini, Lelaki yang Membelah Bulan, berkisah tentang lelaki dari Negeri Bulan yang pernah mencoba membelah bulan sehingga mendatangkan murka dari penduduk negerinya dan membuat sebagian tubuhnya bercahaya bulan. Ia bertemu dengan seorang pelacur dan berharap perempuan itu bisa mengisi separuh tubuhnya yang gelap dengan cahaya. Namun, permintaan itu kemudian ditolak sang pelacur.

“Pergilah, ini sudah menjelang subuh. Berjalanlah kembali, nanti kamu akan ketemu persimpangan-persimpangan yang menarik dalam perjalananmu. Mungkin kamu akan terluka, mungkin kamu akan bahagia. Tapi kamu akan tahu bahwa di persimpangan itulah sebuah hidup akan bermula.” (hlm 39)

Keseluruhan cerpen tampil memikat dengan mengusung genre realisme magis seperti di beberapa judul, yaitu: Lampion Merah Bergambar Phoenix, Peti Mati, Penari Hujan, dan Pemburu Air Mata.

Saya sangat menyukai gaya kepenulisan dan diksi-diksi yang dipilih oleh penulis. Begitu puitis, begitu magis, walaupun untuk sebagian orang mungkin akan mengerutkan kening dengan gaya bahasa yang ditampilkan. Semoga kalian juga akan menyukainya jika nanti berkesempatan membacanya.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak