Review Film Kereta Berdarah, Ngerinya Tumbal Penunggu Hutan yang Dibabat

Hernawan | Athar Farha
Review Film Kereta Berdarah, Ngerinya Tumbal Penunggu Hutan yang Dibabat
Foto Film Kereta Berdarah (IMDb)

Film horor "Kereta Berdarah" mempersembahkan pengalaman seram melalui perjalanan kakak beradik, Purnama dan Kembang. Disutradarai oleh Rizal Mantovani dan diproduksi oleh MVP Pictures, film ini dibintangi oleh: Hana Malasan sebagai Purnama, Zara Leola sebagai Kembang , Aggnes Naomi sebagai Martha, Putri Ayudya sebagai Ramla, Fadly Faisal sebagai Tekun, dan masih banyak lagi. 

Kisahnya menyoroti Purnama, yang baru sembuh dari penyakit kanker, mengajak adiknya, Kembang, mengajak berlibur ke resort alam yang baru dibuka di sebuah tempat terpencil. Untuk ke sana, mereka harus menumpangi kereta wisata khusus. Namun, apa yang seharusnya menjadi perjalanan biasa berubah menjadi ketegangan murni ketika peristiwa misterius mulai menghantui penumpang. Kejanggalan terjadi dengan perilaku aneh penumpang dan hilangnya gerbong saat melintasi terowongan, menciptakan ketidakpastian yang mencekam.

Dalam perjuangan melawan kegelapan, Purnama dan Kembang harus memecahkan teka-teki dan menghadapi sosok makhluk yang mengancam. Setiap detik perjalanan membawa mereka lebih dalam ke dalam dunia misteri yang nggak terduga.

Ulasan

Aspek yang kusuka dalam Film Kereta Berdarah adalah spesial efeknya. Efek CGI berhasil membuat beberapa momen menjadi terlihat nyata, cukup mengesankan, dan aku berani tebak, sepertinya sebagian besar anggaran dialokasikan untuk polesan visualnya. Penampakan setan berbentuk akar-akar, tata riasnya, dan mungkin sentuhan efek praktikalnya, bikin aku takjub. 

Selain itu, aku juga suka dengan twist akhir yang disajikan. Yang mana, ketika setiap karakter tewas dan berubah menjadi pohon, sebagai tumbal dari pembabatan hutan untuk sang penunggu hutan. Maaf, ya, aku agak spoiler. 

Sayangnya, Film "Kereta Berdarah" dibuka dengan intensitas yang terlalu biasa, boring, sehingga membuat perjalanan menit-menit awalnya terasa datar. Meskipun demikian, pesan terkait kelestarian lingkungan, dalam filmnya, sebenarnya cukup tersampaikan dengan jelas melalui penceritaan pembabatan lahan untuk jalur kereta api.

Namun, tetap saja, film terkesan gagal mengembangkan materi yang sudah bagus secara maksimal. Ditambah dengan ‘set waktu’ yang nggak konsisten. Lucu, sih, ada penggunaan uang jaman dulu, tapi para karakternya pakai gadget modern semacam HP Iphone, yang bisa kupastikan sangat bertabrakan dengan keluaran ‘uang’ yang para karakter gunakan. Ini benar-benar menciptakan ketidakselarasan atmosfer. Konfliknya juga bertele-tele dan beberapa adegan yang nggak masuk akal dari staf petugas kereta api membuat film ini kehilangan daya tarik. 

Rasanya ingin nyubit karakter masinis yang nggak percaya ada gerbong hilang. Ya, kali, suara dentuman dan getaran, dan keanehan yang terjadi nggak dirasakan olehnya, walaupun nggak dia rasakan, minimal tengoklah dulu gerbongnya yang dikatakan hilang. Eh. 

Karakter-karakter dalam film juga cenderung menjadi terlalu stereotip, dengan hubungan di antara mereka terasa sat-set. Ini menciptakan tantangan bagiku untuk merasakan kedalaman emosional dan kepedulian terhadap karakter-karakter yang main. 

Sejujurnya pula, setengah perjalanan film terasa terlalu memanjang, sementara kebrutalan gore baru disajikan di pertengahan hingga akhir film yang begitu. Seperti kataku, ini agak bertele-tele. Menonton film ini kayak lagi nonton "Train to Busan" meskipun perbedaannya, ada pada makhluk yang menghadang para lakon. Kalau di Film Kereta Berdarah lawannya Setan Penunggu Hutan, sedangkan “Train to Busan” musuhnya ialah zombie. 

Secara keseluruhan, "Kereta Berdarah" masih dapat kunikmati, meskipun dengan sejumlah kekurangan. Skor dariku: 5,9/10, dan tentunya ini subjektif. Selamat menonton, ya. 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak