Seperti novel-novel karya Shabrina WS lainnya, novel Betang, Cinta yang Tumbuh dalam Diam, juga mengangkat tema yang tak biasa dan menggunakan setting cerita dengan lokalitas yang kental.
Dalam novel terbitan Elex Media Komputindo tahun 2013 ini, penulis mengisahkan tentang seorang perempuan bernama Danum, yang mengalami dilema ketika mendapat surat panggilan seleksi dari Pelatda. Apakah ia harus meninggalkan rumah Betang—yang berarti meninggalkan kakeknya—ataukah meraih cita-citanya untuk menjadi atlet dayung nasional?
Rumah Betang merupakan rumah adat Kalimantan dan dihuni oleh beberapa keluarga. Di rumah inilah Danum tinggal dan bersahabat dengan Dehen. Keduanya gemar mendayung menyusuri sungai dan bercita-cita menjadi atlet dayung.
Namun dalam perjalanannya, ternyata Dehen yang lebih dulu menggapai impian kecil mereka. Sementara Danum, masih berat meninggalkan kakeknya, meskipun ada Arba, sang kakak, yang lebih banyak beraktivitas di luar rumah.
Danum pernah mengikuti seleksi Pelatda sebelumnya meski harus menemui kegagalan sampai dua kali, yang membuatnya tak lagi yakin dengan cita-citanya.
Bukan hal mudah. Perjalananku tidak semulus langkah Dehen. Bahkan ketika Dehen telah sampai timnas. Aku berkali-kali harus menerima kenyataan bahwa untuk masuk Pelatda saja, butuh perjuangan panjang. (Hal. 17)
Alur cerita di novel Betang berjalan cukup lambat di awal. Lebih banyak berisikan ingatan Danum akan masa kecil dan persahabatannya dengan Dehen, serta kenangannya akan kedua orangtuanya, dan almarhum Ini, sang nenek.
Tempo cerita baru menanjak saat Danum lolos tahap seleksi dan mengikuti training di PODSI. Juga pertemuannya kembali dengan Dehen, yang membangkitkan perasaan yang diam-diam ia simpan untuk lelaki tersebut.
Seperti dua novel karya penulis lainnya yang pernah saya baca, dalam novel ini pun tak ada tokoh antagonis. Semua tokohnya protagonis, bahkan Sallie, yang saya pikir akan menjadi orang ketiga dalam kedekatan antara Danum dan Dehen. Entah apakah ini bisa disebut kekurangan, karena sepertinya, hal itu sah-sah saja.
Kekurangan yang saya lihat justru pada cover-nya, yang memiliki warna terlalu lembut. Menurut saya jadi kurang eye catching dan tidak akan mudah terlihat jika dipajang di rak-rak toko buku.
Tokoh favorit saya dalam novel Betang ada dua, yang pertama adalah Kai, karena beliau sosok kakek yang sangat bertanggung jawab pada kedua cucunya, membesarkan dan merawat mereka bersama-sama dengan Ini.
Petuah-petuah sang kakek dan dorongan semangat yang beliau berikan, nyatanya mampu membangkitkan kepercayaan diri dan keberanian sang cucu untuk meraih mimpinya.
Lalu tokoh favorit kedua adalah Arba. Seperti Kai, kakak Danum ini pun sangat perhatian pada Danum dan kerap memberikan nasehat untuk adiknya, meskipun secara blak-blakkan. Tak seperti Kai yang lebih halus.
Arba tersenyum masam. “Roman klasik. Teman masa kecil, bertemu kembali, jatuh cinta, lalu hidup bahagia selama-lamanya. Kayak gitu hanya ada di novel-novel.” (Hal. 81)
Fokus, dan maksimalkan kecepatanmu. Jangan pikirkan yang lain. Menang atau kalah itu setelah di garis finis. (Hal. 111)
Arba juga sosok petani muda yang melek internet, berpikir ke depan untuk memajukan pariwisata di daerahnya, dan juga memberdayakan para perempuan di desanya.
Setting cerita yang kental dengan lokalitas seperti yang saya sebutkan di awal, tak hanya sebatas pada dialog bahasa dayak yang sedikit-sedikit diselipkan atau nama tempat. Namun, mencangkup Kalimantan secara keseluruhan: bahasa, rumah adat, kerajinan tangan, tanaman anggrek hitam (sebagai tanaman langka) dan budidayanya, pengembangbiakan benih pohon ulin, sampai upacara Bapapai, upacara pengantin dayak Bakumpai.
Meski konflik cerita tak terlalu tajam, tapi saya harus mengakui bahwa novel Betang merupakan paket komplit yang menyajikan olahraga, alam, cinta, dan persahabatan dalam satu cerita. Sebuah novel yang patut untuk diapresiasi.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.