ulasan
Ulasan Jatuh Cinta Seperti di Film-Film: Romcom Manis Bernuansa Monokrom

Pernah nonton film hitam putih? Eits, bukan film dokumenter, ya, tapi film komedi romantis. Betul sekali, ‘Jatuh Cinta Seperti di Film-Film’ hadir dengan pendekatan unik yang jarang kita temui di perfilman Indonesia.
Film yang disutradarai Yandy Laurens ini langsung jadi buah bibir sejak perilisannya pada 30 November 2023 lalu. Bukan sekadar jadi tontonan biasa, film ini berhasil menyabet tujuh Piala Citra di Festival Film Indonesia 2024, termasuk untuk kategori Film Terbaik, Sutradara Terbaik, Aktor Terbaik, dan Aktris Terbaik. Dengan pencapaian sebesar itu, tentu ada banyak alasan kenapa film ini begitu spesial. Langsung aja simak di bawah ini!
Sinopsis ‘Jatuh Cinta Seperti di Film-Film’
‘Jatuh Cinta Seperti di Film-Film’ mengisahkan Bagus Rahmat (Ringgo Agus Rahman), seorang penulis skenario yang bertemu kembali dengan teman SMA sekaligus cinta lamanya, Hana (Nirina Zubir).
Hana masih berduka atas kepergian suaminya, sementara Bagus berusaha meyakinkannya untuk kembali membuka hati dan merasakan jatuh cinta lagi, layaknya di film-film romantis.
Selain dua pemeran utama ini, film ini juga dibintangi oleh Alex Abbad sebagai Pak Yoram, Sheila Dara sebagai Cheline, Dion Wiyoko dan Julie Estelle sebagai versi fiksi dari diri mereka sendiri.
Ulasan ‘Jatuh Cinta Seperti di Film-Film’
Begitu selesai nonton ‘Jatuh Cinta Seperti di Film-Film’, satu kata yang langsung terlintas di kepala: jenius. Premisnya sebenarnya sederhana, tapi eksekusi naskahnya benar-benar mindblowing. Kalau kamu pecinta film, dijamin ini bakal masuk daftar favoritmu.
Sesuai judulnya, film ini punya struktur yang sangat meta—cerita tentang karakter yang menulis film berdasarkan kisah hidupnya. Ada banyak lapisan, cerita di dalam cerita di dalam cerita. Konsep ini dieksekusi dengan sangat rapi dan menarik.
Di awal, film masih menampilkan warna selama beberapa menit sebelum akhirnya berubah ke format hitam putih. Transisi ini mengikuti sudut pandang Bagus yang menjelaskan skenarionya, dan treatment yang digunakan di film ini benar-benar sesuai dengan yang ia ceritakan.
Awalnya, aku sempat merasa beberapa bagian terlalu dramatis, terutama dalam menggambarkan kesedihan Hana. Tapi ternyata, ada twist besar yang membuatku tercengang: bukan filmnya yang terasa berlebihan, tapi naskah yang ditulis oleh Bagus yang kurengg.
Bahwa yang selama ini diceritakan adalah bagian dari karakterisasi yang dilakukan Bagus pada karakternya. Dimana dia melihat bahwa yang seharusnya memiliki development adalah karakter si Hana, padahal dirinya belum menemukan ‘fase-believe’ nya sendiri.
Ribet? Mungkin terdengar seperti itu, tapi ketika menonton sendiri, semuanya jadi masuk akal dan terasa sangat brilian.
Karya Yandy Laurens ini juga menyentil banyak aspek di industri film Indonesia, mulai dari stigma negatif terhadap film hitam putih, gimmick tamu gala premier, hingga dinamika di balik layar dunia perfilman.
Menariknya, meskipun film ini menyelipkan banyak elemen teknis, penonton awam tetap bisa menikmati tanpa merasa kebingungan. Kita bahkan jadi dapat insight baru soal proses kreatif di dunia perfilman, mulai dari menulis skenario hingga produksi film itu sendiri.
Banyak banget hal yang bisa dibahas dari film ini, saking bagusnya sampai bingung mau mulai dari mana. Yang jelas, ini bukan film komedi romantis biasa. Kalau kamu suka film dengan cerita yang unik dan eksekusi cerdas, jangan sampai kelewatan! Jadi, buktikan sendiri, ya!