Film horor lokal dengan tema pesugihan dan santet memang sudah sering muncul, apalagi yang diangkat dari thread viral di X. 'Santet Segoro Pitu' pun mengikuti tren ini, mengusung kisah tentang santet paling mematikan di tanah Jawa.
Disutradarai oleh Tommy Dewo dan diproduksi oleh Hitmaker Studio, film ini baru saja tayang di Netflix. Tanpa basa-basi lagi, langsung aja kita bahas filmnya di sini!
Sinopsis
'Santet Segoro Pitu' berkisah tentang keluarga Sucipto, yang awalnya hidup damai sebagai pengusaha sukses. Ia tinggal bersama istrinya, Marti, dan ketiga anak mereka: Ardi, Syifa, dan Arif.
Namun, semuanya berubah saat sang ayah menemukan bungkusan misterius di depan rumah. Sejak saat itu, satu per satu anggota keluarga jatuh sakit akibat santet yang dikenal sebagai 'Santet Segoro Pitu'. Untuk menyelamatkan keluarga, Ardi dan Syifa berjuang mencari cara memutus santet tersebut.
Ulasan
Secara premis, 'Santet Segoro Pitu' masih masuk kategori mainstream, dengan unsur pesugihan, santet, dan budaya Jawa yang kental. Tapi ada satu hal menarik: sosok hantunya bukan Kuntilanak atau Pocong seperti kebanyakan, melainkan Suanggi—makhluk mistis dari wilayah Timur. Ini bikin filmnya terasa agak fresh karena hantu yang ditampilkan gak pasaran.
Di paruh pertama, film ini fokus pada pengenalan keluarga Sucipto dan beberapa karakter lain yang mungkin jadi tersangka. Ada juga latar pasar yang sebenarnya bisa dieksplorasi lebih dalam.
Film ini sempat menyinggung bahwa pasar adalah tempat yang "kotor" secara spiritual karena jadi titik pertemuan banyak orang dari berbagai latar belakang—sebuah konsep menarik yang sayangnya cuma lewat begitu aja.
Ngomongin soal khasnya film horor Hitmaker, tentu aja jumpscare dan sound effect yang niat banget (kadang malah terlalu lebay). Beberapa bagian terasa terlalu memekakkan telinga, bikin kaget tapi gak selalu efektif dalam membangun atmosfer seram.
Banyak dialog yang terasa cringe dan kaku, terutama di bagian awal. Akting Arif (anak bungsu) terasa kayak masih baca script, intonasinya kaku, tanda titik koma diomongin semua. Untungnya, karakter ini tetap bertahan sampai akhir, jadi setidaknya ada progres dalam cara dia menyampaikan dialog.
Awalnya, film ini cukup menarik dengan alur misterinya—siapa pengirim santetnya? Apa motifnya? Tapi pas masuk ke klimaks, rasanya hambar dan malah jadi berantakan. Harusnya ini bisa lebih solid.
Logikanya, santet ini memburu seluruh keluarga Sucipto. Tapi yang kena teror kok kayak random aja? Awalnya ayah, terus tiba-tiba anak bungsu, lalu ibunya. Sementara Ardi dan Syifa yang aktif mencari cara buat memutus santet malah kayak kebal dan gak mengalami gangguan apa pun.
Ini bagian yang paling sayang sih. Harusnya pencarian air dari tujuh titik di laut Jawa bisa jadi petualangan yang lebih menegangkan, tapi malah terasa datar.
Sebelum berangkat, Ardi dan Syifa udah diwanti-wanti kalau mereka bakal ketemu penjaga tiap titik. Eh, pas sampai sana, penjaganya cuma muncul sekadar nakut-nakutin tanpa ada tantangan yang berarti. Sayang banget, padahal ini bisa jadi momen yang seru.
Di titik terakhir, tiba-tiba muncul sosok Ratu Kidul yang langsung ngasih air ke Ardi. Gak ada build-up yang jelas, gak dijelasin korelasinya, dan adegannya pun terasa cringe.
Meskipun ada banyak kekurangan, film ini tetap punya beberapa hal positif. Adegan santet dan gore cukup bikin merinding, meskipun gak berlebihan, tapi cukup efektif buat menambah ketegangan. Visual hantu Suanggi juga fresh, bikin film ini punya sesuatu yang baru dibanding horor lokal lainnya.
Rating pribadi: 5/10.
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS