Urgensi Pendidikan Budi Pekerti Ki Hadjar Dewantara vs Krisis Rasa Bersalah

Hayuning Ratri Hapsari | Bobby Steven
Urgensi Pendidikan Budi Pekerti Ki Hadjar Dewantara vs Krisis Rasa Bersalah
Taman Siswa (MDKG)

Krisis rasa malu dan bersalah semakin tampak jelas kita alami sebagai bangsa. Hampir semua lapisan masyarakat mengalami krisis rasa malu dan bersalah, mulai dari (oknum) pejabat, selebritas, akademisi, atlet, abdi negara, hingga warga biasa. Yang dahulu dianggap salah dan memalukan kini dilakukan terang-terangan. Apa yang kemudian perlu kita benahi bersama?

Hati kita terusik kala membaca berita terkini terkait gelar abal-abal sejumlah guru besar. Sosok guru sebagai yang bisa digugu (dipercayai) dan ditiru seolah memudar.

Celakanya, segelintir elite politik turut membikin onar dengan mencari gelar akademik tertinggi tanpa mengikuti prosedur. Gelar honoris causa yang seharusnya merupakan kehormatan (honour) malah menjadi komoditi politik dagang sapi.

Akhir-akhir ini cukup banyak kasus terkait oknum anggota kepolisian dan TNI yang mencuat. Terbaru, seorang perwira menjadi tersangka kasus pencabulan anak di bawah umur. Belum lagi sederet kasus dan skandal yang masih terasa segar dalam ingatan publik.

Krisis rasa malu juga terjadi dalam dunia peradilan. Baru-baru ini kita kembali dikejutkan dengan terbongkarnya mafia jual-beli kasus oleh oknum mantan pejabat Mahkamah Agung. Tak tanggung-tanggung, nilai suap mencapai hampir satu triliun.

Tentu saja kasus ini hanyalah puncak dari gunung es megakorupsi yang terus mendera negeri kita. Presiden Prabowo dalam pidato perdana (20/10) mengatakan, ia akan mewaspadai terjadinya kebocoran anggaran. Ini suatu hal yang patut kita apresiasi.

Rasa malu dan bersalah

Memiliki rasa malu (shame) dan bersalah (guilt) yang wajar adalah tanda pribadi yang sehat. Ditilik dari asal katanya, guilt (rasa bersalah) berasal dari kata bahasa Jerman geld yang berarti uang atau utang.

Rasa bersalah merujuk pada rasa sesal karena telah membuat kerugian sehingga perlu membayar ganti rugi atau membenahi diri. Rasa bersalah bahkan mendorong orang untuk meminta dan menerima hukuman yang wajar (Clark, 2012).

Kita perlu belajar dari masyarakat Jepang yang memiliki rasa malu yang konstruktif. Kita sering mendengar, pejabat Jepang mengundurkan diri dan meminta maaf secara tulus ketika membuat kesalahan. Hal ini berakar pada etika bushido yang diyakini para ksatria dan bangsawan Jepang mencakup sikap adil, berani, budiman, sopan, jujur, setia, dan tahu malu (Nitobe, 2019).

Etika bushido berakar pada ajaran agama Buddha, Shinto, dan Konfusius. Seorang Jepang merasa malu ketika menyadari tindakannya tidak sesuai standar etika masyarakat yang menjunjung keluhuran pekerti (Sakuta, 1964).

Sebenarnya, konsep rasa malu dan bersalah yang proporsional juga menjadi nilai inti kebudayaan Nusantara. Umpama, dalam budaya Jawa ada ungkapan sing sapa rasa risi. Artinya, barang siapa merasa bersalah, tidak enaklah perasaannya. Ia selalu dihantui rasa wedi isin atau takut malu di hadapan orang lain. Ia takut tingkahnya menjadi bahan gunjingan banyak orang (Hardjowirogo, 1983).

Masalahnya, apakah keluhuran budi pekerti takut malu saat melanggar norma itu masih kita hayati dan teruskan pada generasi muda kiwari? Yang sering terjadi, kita justru menormalisasi kesalahan dan skandal sebagai sesuatu yang wajar dan patut dimaklumi.

Pendidikan budi pekerti

Pendidikan budi pekerti menjadi sangat mendesak guna menanggapi krisis rasa malu dan bersalah yang menggerogoti bangsa kita saat ini. Sayang sekali, selama ini kita cenderung melupakan pentingnya pendidikan budi pekerti. Padahal, kita memiliki warisan istimewa dari para guru bangsa.

Ki Hadjar Dewantara (1889-1959) memberikan dasar-dasar pendidikan budi pekerti ala Taman Siswa dalam konsep among, pamong, dan ngemong. Pendidikan dijalankan bukan sebagai transfer ilmu belaka, melainkan sebagai proses pembinaan karakter siswa (among) oleh pendidik (pamong) yang memiliki semangat disiplin penuh cinta (ngemong).

Sistem among berasal dari kata bahasa Jawa among yang berarti menjaga anak kecil dengan penuh kecintaan. Dalam ranah pendidikan, pendidik yang menjadi pamong berarti ia berupaya mendampingi anak didik dengan penuh cinta dan keteladanan nyata tanpa memaksakan kemauan pribadi pada anak-anak didiknya (Warjodo, 1956).

Hasil yang diharapkan bukan semata nilai akademik tinggi, melainkan juga insan cendekia berhati mulia. Insan mulia akan dengan legawa mengakui kesalahan dan bertanggung jawab atasnya.

Ki Hadjar Dewantara menyadarkan kita bahwa menjadi pendidik sejati itu ialah dengan menjadi teladan sekaligus motivator ulung bagi para anak didik.

Filsafat pendidikan Ki Hadjar Dewantara bertumpu pada semboyan luhur "Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani".

Artinya, seorang pendidik di depan menjadi teladan, di tengah kebersamaan dengan anak didik membangun kehendak dan motivasi, dan di belakang memberikan dorongan. Semangat inilah yang mendasari berdirinya Perguruan Taman Siswa pada 3 Juli 1922.

Melalui Taman Siswa, Ki Hadjar Dewantara menyebarluaskan konsep Tri Pusat Pendidikan, yakni bahwa pendidikan menjadi tanggung jawab bersama Lingkungan Keluarga, Lingkungan Perguruan, dan Lingkungan Masyarakat (Suparlan, 2014).

Artinya, orang tua tidak bisa serta-merta menyerahkan pendidikan pada para guru dan dosen, terutama dalam mendidik budi pekerti anak-anak. Orang tua dan keluarga menjadi tempat pertama dan utama pendidikan budi pekerti.

Umpama, kebiasaan secara jujur meminta maaf bila melakukan kesalahan. Hal ini penting untuk menanamkan rasa malu dan bersalah yang sehat sebagai warga masyarakat.

Selain pendidikan budi pekerti, kita juga perlu menegakkan kembali aturan hukum dan wibawa lembaga-lembaga negara. Meskipun tak luput dari kritik, kabinet baru yang juga diperkuat para tokoh yang kompeten menawarkan harapan.

Biarlah setiap insan dan lembaga bekerja sesuai koridornya. Jika benar, katakan benar. Jika salah, katakan salah. Berbanggalah saat berprestasi. Merasa bersalahlah ketika keliru.

*Penulis adalah pengajar pada Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak