Review Film Tornado: Perjalanan Visual dan Cerita yang Mengalir Lambat

Ayu Nabila | Athar Farha
Review Film Tornado: Perjalanan Visual dan Cerita yang Mengalir Lambat
Poster Film Tornado (IMDb)

Kalau Sobat Yoursay penggemar film yang menyajikan pemandangan indah dengan nuansa suasana yang kental, Film Tornado bisa jadi pilihan menarik.

Namun, bila nantinya mengharapkan kisah dengan plot padat dan karakter yang menempel di hati, sayangnya film ini sedikit berbeda. 

Sekilas tentang Film Tornado 

Film yang disutradarai John Maclean, yang tayang perdana pada 26 Februari 2025 di Glasgow Film Festival, mengisahkan Tornado (diperankan Kki) di tengah-tengah pengejaran.

Tornado merupakan remaja berdarah campuran Jepang dan Eropa, yang melarikan diri dari Sugarman (Tim Roth) si bandit ganas yang bersama kelompoknya tengah mencari harta karun berupa emas dan memburu Tornado setelah mencuri emas hasil rampokan mereka. 

Sugarman nggak sendirian. Dia dibantu anaknya, Little Sugar (Jack Lowden), yang berusaha membuktikan dirinya di hadapan sang ayah.

Di sisi lain, Tornado berusaha melanjutkan kehidupannya bersama ayahnya, Fujin (Takehiro Hira), si mantan samurai, tapi kini jadi pemain wayang keliling yang penuh dengan filosofi dan petuah. Namun, Tornado nggak selalu mau mendengarkan nasihat ayahnya. 

Setelah ayahnya dibunuh Sugarman, Tornado memulai perjalanan balas dendam. 

Di dunia yang sedang berubah, di mana pedang perlahan digantikan senjata api dan para imigran masih dipandang sebelah mata, Tornado harus mencari caranya sendiri untuk bertahan dan memahami makna dari perjuangannya.

Impresi Selepas Nonton Film Tornado

Menonton Film Tornado kesannya sangat memanjakan mata karena aku lumayan jatuh hati sana sinematografi film ini.

Berlatar di Inggris tahun 1790-an, dengan lokasi syutingnya di lanskap Skotlandia yang luas dan kadang sepi, rupanya berhasil membingkai kisahnya dengan indah sekaligus melahirkan ‘perasaan kecilnya’ manusia di alam yang luas. 

Namun, kalau membahas soal cerita dan karakternya, Film Tornado ternyata lebih rumit. Film ini sangat minim dialog dan tokohnya cenderung bisu, membuatku kadang sulit benar-benar merasa dekat atau peduli pada mereka. 

Dialog-dialog yang ada, terutama antara Tornado dan ayahnya, terasa terlalu filosofis dan kadang seperti menempelkan pesan yang terlalu gamblang. Misalnya, nasihat Fujin yang bilang, “Learn patience. Know when to move and when to wait,” meski bermakna dalam, tapi kok agak klise ya. 

Aku juga merasa kalau konflik utama di film ini terasa agak kabur. Motif Sugarman dan gengnya, yang konon “the most evil of all reasons — no reason at all,” bikin mereka terasa kayak musuh tanpa kedalaman karakter.

Asli, mereka cuma ada di frame sebagai ancaman mekanis tanpa motivasi yang meyakinkan. Little Sugar si anak Sugarman, pun lebih sering terlihat mengintai dari jauh tanpa kontribusi emosional yang besar.

Di satu sisi, aku disuguhkan drama serius yang melankolis dan penuh dengan perenungan, sementara di sisi lain ada adegan komedi slapstick seperti saat Kitten (Rory McCann) terpeleset lantai. Perpaduan ini kadang memang bikin ketawa, tapi di saat lain, aku malah bingung mau merasakan apa.

Pokoknya, film ini ibarat khusus buat ditonton sama penonton penyabar, yang mau menunggu adegan-adegan mengesankan. 

Paham ya? ‘Tornado’ bukan film yang mudah untuk dicintai dan bikin betah nonton. 

Pada akhirnya, film itu memang urusan selera. Setiap orang punya latar belakang, pengalaman hidup, dan referensi yang beda-beda, jadi wajar banget kalau satu film bisa menimbulkan reaksi yang beragam.

Ada yang langsung klik dan jatuh hati, ada juga yang merasa biasa saja, bahkan mungkin nggak cocok sama sekali. Dan itu sah-sah saja.

Eh, iya, soal selera juga nggak datang begitu saja. Semakin banyak tontonan yang kita nikmati (dari berbagai genre, negara, dan zaman) makan makin kaya juga cara kita memandang sebuah film.

Kadang kita suka sesuatu bukan cuma karena ceritanya, tapi karena kita pernah mengalami hal serupa, atau justru karena film itu membuka mata kita pada sesuatu yang sebelumnya nggak pernah kita pikirkan.

Jadi kalau nanti Sobat Yoursay nonton film ini dan ternyata punya pendapat yang beda denganku, ya nggak apa-apa banget. Justru di situlah serunya jadi penikmat film: Saling berbagi pandangan, saling menambah perspektif, dan kadang bisa jadi malah merekomendasikan tontonan lain yang memperkaya pengalaman nonton masing-masing.

Sebab pada akhirnya, yang bikin dunia perfilman itu hidup dan terus berkembang adalah keberagaman penonton yang nggak pernah berhenti berdialog, baik dalam kesukaan, ketidaksukaan, dan segala di antaranya.

Skor: 2/5

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak