Alvi Syahrin di buku Jika Kita Tak Pernah Baik-baik Saja mencoba mengajak kita untuk bertanya kepada diri sendiri tentang apa arti bahagia yang sebenarnya. Ia tidak memberi jawaban yang pasti, karena tiap orang punya definisinya masing-masing.
Namun, ia membuka banyak ruang untuk merenung, terutama tentang pentingnya mencintai diri sendiri dalam dunia yang sering membuat kita lupa siapa kita sebenarnya.
Lewat tulisannya, Alvi banyak menyentuh hal-hal yang sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Tentang betapa seringnya kita merasa kurang hanya karena membandingkan diri dengan orang lain, tentang upaya yang tidak pernah berhenti untuk mencari kebahagiaan, sampai perasaan kosong yang diam-diam menyusup saat hidup terasa terlalu sunyi atau terlalu bising. Ia menulis dengan cara yang membuat kita merasa seperti sedang didengarkan, bukan sedang diajari.
Ada salah satu pesan yang maknanya sangat kuat, yaitu tentang menghargai setiap luka pada masing-masing orang. Apa yang mungkin tampak sepele di mata kita, bisa jadi adalah beban besar bagi orang lain.
Alih-alih saling adu siapa yang paling menderita, Alvi mengajak kita untuk fokus menyembuhkan diri masing-masing, karena tidak ada lomba dalam urusan rasa sakit.
Buku ini dibagi menjadi empat bagian. Ada yang membahas tentang patah hati dan kehilangan, upaya melepaskan, bahagia yang hilang, hingga tentang self-love.
Setiap bagian berisi tulisan-tulisan pendek yang bisa dibaca secara lepas atau sekaligus. Format seperti ini cocok untuk kamu yang sedang tidak ingin membaca sesuatu yang berat, tapi tetap ingin mendapat pesan yang dalam.
Setiap bab memang ditulis secara singkat, bahkan ada juga yang hanya berisi satu atau dua halaman. Hal ini justru membuat proses membaca jadi cepat dan terasa ringan.
Namun, kekurangannya, beberapa topik terasa hanya disentuh di permukaan. Beberapa pembaca mungkin berharap ada pendalaman atau eksplorasi lebih jauh pada tema-tema tertentu yang cukup emosional.
Meski begitu, banyak sekali pesan yang bisa diambil dari buku ini. Salah satunya adalah pemahaman bahwa kebahagiaan pun membawa risikonya sendiri. Alvi tidak bermaksud menakuti, tapi ia mengingatkan bahwa saat sedang bahagia, kita sering lengah, melupakan realitas, mengabaikan bahwa standar kebahagiaan setiap orang tidak harus sama.
Ia juga menekankan bahwa kita tidak perlu mengikuti bentuk bahagia orang lain. Media sosial sering kali membuat kita merasa hidup kita tertinggal jauh, tapi Alvi mengingatkan bahwa bahagia tidak harus viral, tidak harus terlihat oleh orang lain. Bahagia yang sejati justru datang saat kita bisa berdamai dengan diri sendiri, meski tanpa pengakuan siapa-siapa.
Bukan hanya untuk mereka yang sedang berada di titik terendah, buku ini juga bisa untuk siapa pun yang ingin mengenal diri sendiri lebih dalam. Jika kalian ingin kalimat pendek yang menenangkan, maka buku ini rasanya bisa memberikan hal itu.
Alvi menulis dengan gaya yang akrab dan tidak menggurui. Ia menyajikan pengalaman dan perenungan pribadi dengan jujur, lalu mengajak pembaca untuk merefleksikannya ke dalam kehidupan mereka sendiri. Tak heran jika banyak yang merasa “tertampar lembut” oleh tulisan-tulisannya.
Jika kamu sedang mencari bacaan yang bisa menemani masa-masa sulit, atau sedang butuh dorongan kecil untuk bangkit, Jika Kita Tak Pernah Baik-baik Saja bisa jadi pilihan yang tepat. Bukan karena buku ini memberi solusi instan, tapi karena ia menemani kamu di tengah kebingungan dan kelelahan. Dan kadang, itu lebih dari cukup.