Lagi siap-siap nikah bareng dua saudaramu, semua udah rapi jali, rundown acara udah disusun, catering masuk list, keluarga senang bukan main, eh tiba-tiba calonmu dibatalkan karena uang panai kalah banyak sama saingan. Ya ampun, stres dong. Kurang lebih itulah yang dialami Fadly dalam Film Jodoh 3 Bujang, komedi romantis terbaru dari Starvision yang sudah tayang di bioskop sejak 26 Juni 2025.
Diarahkan Arfan Sabran, sineas asal Makassar, film ini nggak cuma ngasih tawa tapi juga menyorot sisi pelik dari budaya pernikahan Bugis-Makassar. Dan ya, Sobat Yoursay bakal dibikin mikir, “Kok bisa sih harga cinta ditakar pakai nominal?”
Ceritanya gimana, sih? Yuk, kepoin bareng!
Sekilas tentang Film Jodoh 3 Bujang
Fadly (Jourdy Pranata), Kifly (Christoffer Nelwan), dan Ahmad (Rey Bong) adalah tiga saudara laki-laki yang dapat misi super penting dari sang ayah, yakni: Nikah Kembar.
Bukan berarti mereka nikah sama perempuan yang kembar, ya. Tapi mereka harus menikah di hari yang sama, waktu yang sama, tempat yang sama. Iya, semuanya serba barengan, demi menghemat biaya dan menjaga nama baik keluarga. Tradisi, katanya.
Masalah muncul ketika Nisa (cutie tapi ngeselin), calon istri Fadly, mendadak dijodohkan dengan pria lain karena uang panainya lebih tinggi. Serius, dari 50 juta naik ke 500 juta. Keluarga Nisa pun lebih pilih nominal besar ketimbang hubungan cinta tiga tahun. Waduh!
Fadly yang patah hati tapi terjebak tanggung jawab sebagai anak pertama dan pelaksana nikah kembar, akhirnya harus segera cari pengganti. Dari dating app sampai perjodohan ala tetangga dan saudara, semua jalan dicoba.
Pertanyaannya, apa iya cinta bisa datang instan hanya karena kebutuhan? Semua jawaban bakal terjawab saat Sobat Yoursay nonton sendiri di Bioskop.
Impresi Selepas Nonton Film Jodoh 3 Bujang
Hal menarik dari Film Jodoh 3 Bujang terkait keberaniannya membuka diskusi soal cinta dan tradisi, terutama di budaya Bugis-Makassar.
Gitu deh. Film ini nggak cuma menyodorkan romantisme ala komedi urban, tapi juga mengajak kita menyelami realita menikah di beberapa budaya itu sering kali bukan soal dua orang, tapi dua keluarga. Bahkan, dua sistem nilai yang saling tarik-ulur.
Fadly digambarkan sebagai cowok baik, bertanggung jawab, tapi jadi korban sistem. Nisa juga bukan karakter jahat, hanya saja dia terjebak dalam skema perjodohan yang lebih mementingkan nilai jual mahar dibanding perasaan. Dan ini terjadi (ada), bukan fiksi belaka.
Yang bikin film ini makin berbobot, terkait bagaimana menghadirkan perempuan seperti Rifa, sosok cerdas, independen, dan ‘terlalu mahal’ untuk dinikahi. Bukan karena dia matre, tapi karena prestasinya (lulusan S2, sudah umroh, dan sempat menolak S3 karena takut panainya naik terus). Ironis banget.
Film ini kayak lagi ngomong, “Kita mungkin hidup di era digital, tapi perkara jodoh masih bisa kalah sama tradisi dan harga diri keluarga.”
Arfan Sabran tahu benar bagaimana memotret Makassar dengan jujur. Dari sajian khas seperti barongko dan palumara yang nongol di meja makan, sampai logat, gestur, dan dialog para tokohnya, semua terasa natural. Nggak ada kesan dibuat-buat biar ‘terlihat lokal’.
Konflik antara generasi tua dan muda juga ditampilkan dengan cara yang luwes. Pak Mustafa, sang ayah, mewakili generasi orang tua yang percaya, keberhasilan mereka sebagai orang tua ditentukan dari siapa yang menikahkan anaknya duluan. Gengsi jadi harga mati. Bahkan ketika anaknya belum nemu jodoh, tetap harus jalan.
Film ini sukses bikin diriku nyengir tapi juga mikir: di era yang makin modern, kenapa masih ada tradisi yang justru bikin stres, ya?
Kalau kamu takut film ini bakal terlalu berat karena topiknya, tenang saja. ‘Jodoh 3 Bujang’ punya dosis komedi yang pas. Aksi Fadly yang pontang-panting cari calon istri dalam waktu singkat benar-benar lucu. Ada adegan kencan lewat aplikasi yang berujung super awkward, bahkan absurd.
Chemistry antarpemain juga asyik. Jourdy, Christoffer, dan Rey tampil klop sebagai saudara yang saling dukung tapi juga sering ribut.
Karakter pendukung seperti abang Nisa yang sotoy banget, jadi pemicu ketegangan dan tawa yang menyegarkan. Dan soal ending-nya... well, tanpa spoiler, bisa dibilang penutupnya nggak lebay. Karena penonton diajak mikir, “Apa sih yang sebenarnya jadi dasar dari pernikahan: cinta, kewajiban, atau sekadar gengsi?”
Film ini relevan banget, terutama buat generasi muda yang hidup di tengah dua dunia. Dunia modern yang bebas memilih cinta, dan dunia tradisi yang kadang masih membatasi pilihan itu. Semenarik itu memang film ini. Jika ada Sobat Yoursay yang tengah mempertimbangkan nonton film ini, seharusnya nggak perlu banyak mikir lagi. Selamat nonton ya.