Di pulau terpencil, angin laut nggak pernah berhenti berbisik, dan langit nyaris selalu kelabu. Di tempat seperti itu, waktu seolah-olah berjalan lambat, dan kesedihan bisa menetap seperti kabut pagi yang enggan menguap. Dari sanalah ‘Silent Roar’ mengangkat kisahnya. Sebuah film coming-of-age yang lembut sekaligus menyentuh, debut panjang dari Sutradara Johnny Barrington, yang nggak cuma mengajak kita menyelami emosi remaja, tapi juga mengajak bertanya ulang tentang makna kehilangan, iman, dan cinta.
Setelah sebelumnya bikin film pendek, Tumult, yang sukses di berbagai festival, termasuk nominasi BAFTA, Johnny Barrington pun menjajal layar lebar (film panjang) dengan nuansa khas Skotlandia yang kental.
Film ini pertama kali tayang di Edinburgh International Film Festival pada 18 Agustus 2023, dan Jakarta World Cinema di tanggal 28 September 2024. Asli, secemerlang itu performanya.
Bertempat di Isle of Lewis, wilayah terpencil di Outer Hebrides, Skotlandia. Film Silent Roar jadi perpaduan gambaran pedesaan yang pahit dan imajinasi remaja yang meluap-luap, dengan latar alam yang nyaris magis.
Wah, kayak apa sih kisahnya? Yuk, kepoin!
Sekilas tentang Film Silent Roar
Pusat kisah ‘Silent Roar’ ada pada sosok Dondo (diperankan Louis McCartney), remaja laki-laki yang sedang mencari pijakan di tengah kehilangan.
Setahun telah berlalu sejak sang ayah (nelayan) hilang di laut, jasadnya nggak pernah ditemukan. Ibunya, Veronica (Victoria Balnaves), masih terjebak dalam duka yang membeku. Di tengah sepinya Uig, desa nelayan yang nyaris tanpa denyut, Dondo justru menyalurkan hasratnya pada surfing, hobinya yang eksentrik dan nggak lazim di tengah komunitas religius itu.
Surfing, dalam banyak hal, menjadi pelarian sekaligus bentuk perlawanan bagi Dondo dari keinginannya untuk tetap hidup, meski harus terus melawan ombak yang nggak kenal ampun. Sayangnya, nggak semua orang di desanya memahami itu. Termasuk ibu Sas (diperankan Fiona Bell), yang mana, Sas (Ella Lily Hyland) merupakan sahabat masa kecil Dondo yang kini mulai merasakan gejolak rasa cinta.
Sas sendiri gadis cerdas yang bermimpi jadi dokter, tapi hari-harinya diisi dengan memetik gitar di kamar sambil menatap poster Jimi Hendrix. Sas tuh sosok yang tenang, tapi diam-diam mulai menyadari perasaannya pada Dondo sudah lebih dari sekadar teman main masa kecil.
Hubungan mereka pun mendapat tekanan, bukan hanya dari lingkungan sekitar yang konservatif, tapi juga dari kemunculan tokoh baru yang mengguncang seluruh dinamika desa.
Ya. Konflik mulai meruncing saat ada pendeta karismatik dan eksentrik (Mark Lockyer) datang ke desa, membawa semangat religius yang keras dan nyaris fanatik. Dia mengutuk aktivitas di Hari Minggu, termasuk surfing, dan bahkan berani menyatakan kalau ayah Dondo bisa saja menerima ganjaran ilahi karena melaut di Hari Tuhan.
Pernyataan itu menghantam Dondo seperti badai. Nggak hanya memperkeruh luka yang belum sembuh, tapi juga mendorongnya ke jurang krisis spiritual. Bahkan ketika sang pendeta mulai menyampaikan ide-ide mistis tentang ayah Dondo yang mungkin masih hidup, Dondo mulai terombang-ambing antara kenyataan dan harapan, antara duka dan iman.
Kisahnya memang memilukan. Lalu, bagaimana dengan performa filmnya? Yuk, simak lebih lanjut!
Impresi Selepas Nonton Film Silent Roar
Betewe, Dinamika antara Dondo dan Sas ditampilkan dengan lembut, tanpa perlu meledak-ledak. Ada cinta yang tumbuh perlahan, di sela-sela keheningan dan trauma bersama.
Meskipun film ini menyentuh banyak topik berat, Johnny Barrington nggak lupa menyisipkan humor-humor lembut dan ironi yang menyegarkan.
Ada scene yang jadi favorit nih. Saat Sas menolak melepas gelang-gelang berisiknya di kelas, kecuali jika guru yang cerewet itu bersedia mencukur jenggotnya yang selalu digaruk-garuk saat ujian. Humor-humor seperti itu jadi oase yang manis di tengah narasi yang cenderung ironi banget.
Nggak cuma itu, film ini juga bicara soal bagaimana agama dan tradisi bisa jadi pedang bermata dua, yang menenangkan, sekaligus membatasi. Lewat karakter Dondo dan dinamika masyarakat desa, ‘Silent Roar’ agaknya berusaha ngajak penonton buat merenung tentang batas antara spiritualitas dan tekanan sosial.
Tanpa ngasih terlalu banyak spoiler, bisa dibilang film ini mengambil langkah berani menuju klimaksnya. Mungkin agak terlalu mudah jika melihat pilihan cerita yang akhirnya diakhiri dengan pembakaran sebuah bangunan. Namun pilihan itu, meskipun generik, tetap punya daya emosional jika dilihat dari perkembangan karakter Dondo.
Sebagian penonton mungkin akan merasa arah cerita di paruh kedua sedikit kehilangan arah. Namun, mengingat ini merupakan film debut, Johnny Barrington jelas menunjukkan potensi besar sebagai pencerita yang kuat, terutama dalam menciptakan mood, karakter, dan atmosfer yang hidup.
Buat Sobat Yoursay yang penasaran, bisa cek KlikFilm sekarang, ya! Selamat nonton.