Novel The Little House: Catatan Kecil Wanita Tua Setelah Perang di Jepang

Ayu Nabila | Ardina Praf
Novel The Little House: Catatan Kecil Wanita Tua Setelah Perang di Jepang
Novel The Little House (goodreads.com)

Dalam The Little House (Chiisai Ouchi), Kyko Nakajima menghadirkan sebuah kisah yang terasa lembut, sunyi, dan menyimpan kedalaman emosi di balik kehidupan domestik yang tampaknya biasa.

Berlatar Jepang pada masa sebelum dan selama Perang Dunia II, The Little House mengisahkan Taki, mantan pembantu rumah tangga, yang menuliskan kenangan hidupnya dalam sebuah jurnal sebelum wafat.

Cerita berpusat pada rumah kecil di Tokyo tempat Taki bekerja untuk keluarga Hirai. Di permukaan, rumah itu tampak sebagai lambang keteraturan dan ketenangan.

Tetapi seiring berjalannya waktu, pembaca diajak mengintip dinamika tersembunyi yang terjadi di balik dinding-dindingnya.

Kisah ini banyak berkutat di dalam rumah keluarga Hirai, di mana kita diajak mengikuti Taki dalam rutinitasnya, mengurus Tuan Muda, merawat nyonya rumah, dan menjalankan tanggung jawab rumah tangga dengan penuh pengabdian.

The Little House ini layaknya potret kehidupan yang sederhana di Jepang namun begitu kaya makna.

Rumah kecil milik keluarga Hirai yang menjadi latar utama cerita bukan sekadar tempat tinggal, melainkan ruang di mana kebahagiaan, ketenangan, dan kerumitan emosi bercampur menjadi satu.

Taki sebagai seorang pembantu di rumah ini merasa menemukan tempat yang nyaman untuk benar-benar merasa “pulang”.

Namun, seperti kehidupan yang jarang benar-benar tenang, cerita ini menyimpan rahasia.

Di masa tuanya, Taki menuliskan kenangan masa mudanya dalam bentuk jurnal, penuh nostalgia dan kelembutan, menggambarkan potret kelas menengah Jepang sebelum dan selama perang dari sudut pandangnya yang jujur dan bersahaja.

Dengan gaya prosa yang sederhana namun penuh nuansa, Nakajima merangkai kenangan dan potongan kehidupan yang mengungkap kesetiaan, pengkhianatan, cinta yang tak terucap, dan luka-luka yang disimpan dalam diam.

Ada kedamaian dalam cara Nakajima menggambarkan kehidupan domestik, nyaris seperti melihat lukisan yang perlahan hidup di depan mata.

Rumah kecil dalam cerita bukan hanya sekadar latar tempat, tapi juga menjadi metafora bagi ruang batin para tokohnya, terlihat tenang dari luar, namun menyimpan badai di dalamnya.

Dunia yang semula terasa damai tiba-tiba berubah menjadi rumit dan kompleks.

Apa yang semula tampak tenang dan sarat nostalgia, perlahan berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih rumit, lebih jujur secara emosional, dan menyentuh hati.

Salah satu kekuatan utama novel ini adalah cara penyampaiannya yang tenang dan reflektif, membuat kita merenungkan bagaimana sejarah besar, seperti perang, yang membayangi kehidupan kecil seseorang, dan bagaimana keputusan-keputusan kecil dapat membentuk arah hidup dalam jangka panjang.

Meski bahasa yang digunakan sederhana, Penulis tetap bisa menampilkan kisah yang menyentuh tanpa perlu drama yang berlebihan.

Ceritanya bergerak perlahan, tapi setiap lapisan terasa bermakna. Hubungan antara Taki dan majikannya tumbuh secara halus, di tengah latar sebuah negara yang pelan-pelan terjerumus ke dalam perang.

Tapi yang mengejutkan, sebuah bab tambahan di akhir novel yang ditambahkan setelah Taki meninggal dunia, mengungkapkan sebuah kebenaran yang selama ini tersembunyi dari catatannya. Momen ini mengubah segalanya.

Akhir cerita yang mengejutkan, berpadu dengan narasi yang tenang dan dialog-dialog yang penuh rasa, menjadikan The Little House sebagai karya yang mengendap lama setelah halaman terakhir ditutup.

Tak heran jika novel ini berhasil meraih Penghargaan Naoki, karena ini memang karya yang bukan hanya bagus, tapi juga mengandung jiwa.

The Little House adalah novel yang menggambarkan cinta dan penyesalan layaknya di kehidupan nyata. Tentang kehidupan yang harus terus dijalani meski tidak sesuai harapan.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak