Jika kalian tahu, ada jenis cerita yang tak perlu banyak hiasan untuk bisa menampar hati pembacanya. To Live karya Yu Hua ini menjadi salah satunya.
Ia tidak mencoba menjadi besar atau megah. Justru karena kesederhanaannya, kisah ini begitu menggetarkan. Tentang seorang manusia yang memilih melanjutkan hidup setelah kehilangan banyak hal.
Tokoh utama novel ini bernama Fugui, seorang anak kaya dari keluarga tuan tanah di Tiongkok, yang awalnya hidup dalam kenyamanan dan kebebasan.
Namun, hidup memang tidak selalu berjalan mulus. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, Fugui kehilangan segalanya. Hartanya, keluarganya, dan pada akhirnya, semua yang pernah membuat hidupnya terasa utuh.
Namun, Fugui tidak mati. Ia tetap hidup. Dan inilah yang menjadi inti cerita di sini, tentang hidup.
Tentang bagaimana seseorang yang sudah direnggut dari semua yang ia cintai, tetap memilih untuk melangkah. Bukan karena dia kuat, tapi karena ia sadar bahwa hidup memang harus terus berjalan.
Keberuntungan dalam To Live tidak datang dalam bentuk tawa, rejeki besar, atau akhir bahagia.
Ia muncul dalam bentuk paling sunyi. Misalnua seperti kesempatan untuk bangun setiap pagi, berjalan menyusuri ladang, memberi makan kerbau, dan mungkin menyaksikan matahari terbenam sekali lagi.
Buku ini tidak hanya mengajarkan kita untuk sabar saja. Justru lewat peristiwa-peristiwa tragis, kita perlahan menyadari, bahwa bisa hidup hari ini saja sudah merupakan keberuntungan yang tak terukur.
Bahwa terkadang, bertahan adalah bentuk paling jujur dari harapan.
Gaya bercerita Yu Hua juga sangat bersahaja. Kalimat-kalimat dalam novel ini tidak dipenuhi metafora berbunga atau dialog yang dramatis.
Namun justru karena kesederhanaannya, tiap kata terasa begitu tulus. Ia tidak berusaha memaksa pembaca untuk menangis, tapi diam-diam menyisakan sesak di dada.
Dalam narasi yang tenang, kita diseret pelan-pelan ke dalam realitas yang getir tapi nyata.
Salah satu pesan paling kuat dari buku ini adalah bahwa hidup bukan tentang menang atau kalah. Bukan juga soal menjadi pahlawan atau pecundang. Kadang, hidup hanya soal terus berjalan meskipun sudah kehilangan banyak hal.
Fugui bukan tokoh yang sempurna. Ia pernah berjudi, membuat keluarganya menderita, dan mengambil banyak keputusan buruk.
Tapi mungkin justru di situlah letak kekuatan kisah ini, ia manusia, dan manusia memang tidak selalu benar. Yang membuatnya menyentuh adalah karena kita bisa melihat bagian dari diri kita sendiri di dalamnya.
To Live menjadi bacaan yang pas ketika kalian menghadapi maksa kehilangan. Yang pernah bertanya, “Masih adakah yang tersisa untukku?” Buku ini tidak menawarkan jawaban pasti, tapi ia akan menemani.
Dalam keheningan, dalam luka, dalam tawa yang samar. Ia hadir seperti teman lama yang duduk di sebelah kita, tidak berkata apa-apa, tapi cukup dengan keberadaannya saja, hati kita bisa merasa sedikit lebih ringan.
Mungkin keberuntungan sejati bukan tentang mendapatkan apa yang kita inginkan, tapi tentang bisa menemukan makna dalam apa yang sudah kita miliki, meski sedikit, meski sudah tak utuh lagi.
Dan mungkin, seperti Fugui, kita pun sedang belajar satu hal yang sama: bahwa untuk hidup, kadang yang kita butuhkan hanyalah keberanian untuk terus melangkah, satu hari lagi.
Kalau kamu sedang mencari novel yang tidak menggurui, tapi membuatmu diam dan merenung lama setelah halaman terakhir, To Live layak kamu baca. Sebuah kisah sederhana yang mengajakrkan banyak makna tentang kesabaran.