Merangkul Luka untuk Menemukan Kekuatan di Buku The Strength In Our Scars

Hayuning Ratri Hapsari | Ardina Praf
Merangkul Luka untuk Menemukan Kekuatan di Buku The Strength In Our Scars
Buku The Strength In Our Scars (goodreads.com)

Ada masa-masa dalam hidup di mana segalanya terasa berat, seperti patah hati, kehilangan, perasaan tak berharga, atau rasa lelah yang sulit dijelaskan.

Move on dari sakit hati memang membutuhkan waktu. Agar kalian lebih semangat dalam menjalani fase itu, buku The Strength In Our Scars karya Bianca Sparacino bisa jadi teman yang tepat.

Buku ini bukan novel, bukan pula buku motivasi yang ‘memaksa’ kamu untuk bangkit. Lebih tepatnya, ini adalah kumpulan tulisan reflektif, puisi pendek, dan catatan pribadi yang sangat relatable, menyentuh, dan jujur.

Seperti surat yang ditulis oleh seseorang yang pernah ada di titik paling bawah dan ingin bilang ke kamu, "Hei, kamu nggak sendirian."

Buku ini dibagi dalam beberapa bagian yang menggambarkan fase-fase dalam proses penyembuhan. Mulai dari rasa sakit, kecewa, kehilangan, sampai akhirnya penerimaan, harapan, dan keberanian untuk melangkah lagi.

Buku ini penuh dengan kalimat-kalimat pendek, reflektif, kadang puitis, yang mudah dicerna tapi penuh makna. Beberapa memang terasa repetitif dan terlalu fokus ke cinta dan patah hati, seolah hidup cuma soal itu.

Tapi di tengah-tengah itu, tetap ada bagian yang menyentuh—tentang rasa takut, harga diri, tentang kenapa kita merasa nggak pantas dicintai, dan bagaimana kita bisa pelan-pelan belajar mencintai diri sendiri.

Aku rasa buku ini cocok banget dibaca siapa pun yang sedang dalam proses pemulihan dari masa sulit, apapun bentuknya.

Buku ini memang tidak menawarkan solusi instan, tapi lebih seperti duduk bareng teman lama yang pernah merasakan hal yang sama. Bianca Sparacino menulis dengan cara yang sangat jujur dan lembut.

Yang pertama buat jatuh hati adalah gaya bahasanya. Tidak bertele-tele, tapi juga tidak dingin. Hangat, lembut, dan penuh empati.

Tidak banyak metafora rumit atau kata-kata berbunga. Justru karena kesederhanaannya, isi bukunya terasa tulus dan dekat.

Buku ini juga punya kekuatan di bagian yang tidak ‘memaksa’ kita untuk segera sembuh. Bianca nggak bilang, “Kamu harus kuat!” atau “Bangkit sekarang juga!” Tapi lebih ke, “Nggak apa-apa kalau kamu belum baik-baik saja. Itu manusiawi.”

Dan kalimat seperti itu, di saat-saat tertentu, bisa jauh lebih menyembuhkan daripada motivasi yang berisik.

Beberapa tulisan memang agak repetitif. Kadang kita mendengar beberapa hal yang sama berkali-kali. Tapi itu justru seperti mantra.

Memang ada beberapa bagian yang perlu dibaca beberapa kali agar maknanya lebih masuk ke perasaan.

Desain bukunya juga minimalis dan adem. Rasanya seperti jurnal atau buku harian yang diketik rapi dan dibagikan ke dunia, bukan untuk pamer, tapi untuk mengajak orang lain merasa lebih ringan.

Pas sekali untuk kalian yang sedang belajar mencintai diri sendiri, atau hanya sekedar menjadi pengingat bahwa meskipun sudah terluka, kita semua masih bertahan dan terus melangkah.

Dan kamu tidak harus sedang patah hati untuk bisa relate. Banyak tulisannya yang juga bicara soal batasan diri, menghindari hubungan yang toksik, atau sekadar menerima bahwa menjadi “cukup” itu sudah luar biasa.

Kata-katanya bisa jadi teman perjalanan yang menemani di tengah luka. Bukan untuk buru-buru sembuh, tapi untuk belajar bahwa dari luka pun, kita bisa tumbuh.

Kalau kamu lagi butuh bacaan yang bisa menyentuh hati tanpa banyak drama, coba deh baca buku ini pelan-pelan. Kamu akan menemukan banyak hal kecil yang terasa seperti “iya, ini aku banget.”

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak