Pagi hari yang cerah, mentari bersinar dengan ramah. Namun, cerahnya hari ini tak selalu memberikan kesan yang indah.
Dara terbangun oleh ledakan notifikasi di ponselnya. Dalam sepersekian detik, hidupnya yang semalam tenang berubah menjadi mimpi buruk yang tidak ia pilih. Meme itu memenuhi layar ponsel, potret wajahnya yang diambil diam-diam, diperbesar sampai terdistorsi, ditambah tulisan kejam, “Wajah asli sebelum filter. Hati-hati penipuan.”
Kolom komentarnya seperti ruang penyiksaan virtual, berisi tawa, screenshot, dan olok-olok. Ada yang menulis bahwa wajahnya cocok jadi poster film horor, ada yang menyarankan ia tidak usah muncul di sekolah lagi karena aibnya sudah banyak tersebar. Ironisnya, pelakunya bukan orang asing, melainkan teman kelas yang pernah ia bantu saat remedial ujian.
Hari ini menjadi hari yang berat. Banyak sekali komentar buruk yang terngiang jelas di pikirannya.
“Apa aku tak pergi sekolah saja, ya?” gumamnya dengan lesu seakan tersambar petir di siang hari. Namun, ia langsung menepisnya karena hari ini ada mata pelajaran kesukaannya.
Saat Dara masuk sekolah, lorong yang biasanya ramai berubah menjadi arena pembantaian psikologis. Tatapan yang dulu biasa, kini berubah menjadi mata-mata tajam yang menikam tanpa suara.
Ada yang menahan tawa sambil memegang ponsel, ada yang terang-terangan menirukan ekspresi di foto itu. Bahkan, beberapa di antaranya juga mengatakan, “Wajahnya biasa saja, filter dia terlalu banyak.”
Semua itu puncaknya saat seseorang memutar video dirinya tersandung di lapangan, disunting dengan lagu yang viral di media sosial kala itu. Video itu pun akhirnya viral, lebih viral dari prestasi sekolah mana pun.
Komentarnya lebih sadis. Ada yang bilang seharusnya ia tidak usah pergi sekolah karena sudah telanjur malu, ada yang menyarankan agar ia menghilang saja. Rasa mual naik dari perut hingga tenggorokan, dunia terasa sempit.
Di kamar mandi, tubuhnya gemetar. Ia menahan tangis saat dua siswi bergosip di luar bilik sambil tertawa, “Dia pasti lagi nangis. Tapi, memang cocok buat ditertawain.”
Yang lebih kejam, akun anonim mulai menyebarkan foto-fotonya dari berbagai sudut, disunting seolah wajahnya seperti monster. Dalam hitungan jam, ribuan orang mengikuti akun itu.
Di salah satu unggahan tertulis, “Jika nggak kuat, silakan enyah dari sekolah ini.” Kata “enyah” itu menusuk seperti pisau dingin.
Malamnya, Dara menatap bayangannya sendiri di cermin. Wajahnya pucat, bengkak, kacau, dan untuk pertama kalinya dalam hidup, ia bertanya apakah dunia masih membutuhkan dirinya.
Ia berdiri terlalu lama, terlalu diam, sampai akhirnya satu notifikasi masuk: “Kamu tidak sendirian.” Pesan itu kecil, tetapi di tengah gelapnya pikiran, rasanya seperti seseorang menyalakan korek api di ruangan yang membeku.
Keesokan harinya, sekolah mendadak berubah. OSIS mengeluarkan pengumuman investigasi, Guru BK memanggil pelaku-pelaku, dan akun anonim itu dilacak. Ternyata pesan “kamu tidak sendirian” dikirim oleh anggota OSIS yang diam-diam memperhatikan semua kejadian.
Beberapa siswa mendekati Dara, meminta maaf, bahkan mengakui kesalahan mereka karena ikut membagikan meme itu. Mereka tidak banyak bicara, tetapi duduk di sampingnya, menjadi dinding kecil yang menahan arus kejam dunia luar.
Dara menangis bukan karena sedih, tetapi karena baru sadar bahwa masih ada orang yang memilih menjadi manusia. Bullying digital memang kejam, sadis, dan sunyi. Tidak ada darah yang menetes, tetapi luka di dalam dada jauh lebih dalam dari luka fisik mana pun. Hal yang membuatnya mematikan bukan satu pelaku, melainkan ribuan jari yang memencet tombol like tanpa pikir panjang.
Namun, kisah Dara membuktikan sesuatu yang lebih besar: bahwa satu suara kecil bisa menahan badai, satu keberanian bisa menghentikan rantai kekejaman, dan satu orang yang tidak ikut menertawakan bisa menjadi alasan seseorang tetap hidup.
Di dunia yang begitu mudah membuat manusia menjadi bahan hiburan, jangan pernah meremehkan kekuatan empati. Terkadang, perbedaan antara seseorang yang hancur atau bertahan hanyalah satu kalimat sederhana, yakni “Kamu tidak sendirian.” Karena kalimat sederhana ini menjadi dukungan bagi mereka, si korban perundungan.
Baca Juga
-
Sekolah Darurat Pembullyan, Kritik Film Dokumenter 'Bully'
-
Dari Pinggir Pesisir: Kisah Perempuan Nelayan yang Suaranya Sering Tak Didengar
-
Bukan Sekadar Anak Nakal: Kupas Luka Psikologis di Balik Pelaku Bullying
-
Kritik Sosial Drama 'Revenge of Others': Cermin Bullying, Sekolah dan Luka
-
Gerakan Anti-Bullying: Selama Diam Jadi Budaya, Itu Hanya Mimpi Belaka
Artikel Terkait
Cerita-fiksi
Terkini
-
Dari Pesisir Malang Selatan, Cerita tentang Penyu dan Kesadaran
-
Siap Salip Film Pertama, Agak Laen: Menyala Pantiku Tembus 7 Juta Penonton
-
Novel Sejuta Waktu untuk Mencintaimu: Belajar Tetap Utuh Meski Terluka
-
Sempat Vakum, Michael J. Fox Siap Berakting Lagi Lewat Shrinking Season 3
-
Merasa Jenuh dan Sulit Fokus? Mungkin Anda Mengalami Digital Fatigue