Hari Senin di SMA Negeri Janji Manis sedang dilaksanakan upacara bendera. Lagu kebangsaan terdengar dikumandangkan dan bendera dikibarkan perlahan. Bima, seorang siswa yang dikenal sebagai pemikir kritis itu, mendengarkan amanat yang disampaikan, yaitu tentang “Menjaga Budaya demi Identitas Bangsa”.
Bagi dirinya, ini adalah obrolan jenaka. Pelajar diajarkan untuk menjaga jati diri bangsa, sedangkan di luar sana unjuk rasa tak kunjung selesai bergema. Suara rakyat dengan 17+8 tuntutan tak didengar, entah di mana telinga para wakil rakyat berada.
Identitas bangsa bukan hanya soal mempertahankan gotong royong, mengenakan pakaian tradisional, menyanyikan lagu daerah, dan mengikuti lomba Agustusan. Bima juga sadar bahwa demokrasi perlu menjadi budaya masyarakat Indonesia, bahkan sebuah keharusan.
Sayangnya, jati diri itu kini sedang dirusak oleh pejabat, aparat, dan pelaku anarkis. Menjelang istirahat, ia mulai tertegun sembari berjalan menuju kantin untuk sekadar membeli camilan.
“Gue dukung demo,” ujar Karin sambil menepuk meja.
“Orang-orang di kursi parlemen itu nggak denger rakyat, pantas aja rakyat ngamuk,” lanjutnya.
“Ngapain demo? Paling ujung-ujungnya chaos, rakyat yang rugi,” pungkas Acih yang suka ngacapruk.
Bima ikut menyambar, “Ya justru itu masalahnya. Kalau rakyat diam, mereka makin seenaknya.”
Suasana seketika hening, diskusi itu seakan tak menemukan ujung. Demokrasi katanya memberi ruang berpendapat. Namun, kenyataannya suara rakyat yang berisik di depan gedung megah ‘yang katanya’ rumah wakil rakyat dipandang sebelah mata.
Karin teringat dengan perkataan Guru PPKn yang mengutip bahwa, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Anehnya, seiring kalimat itu diulang, rasanya kosong di hati.
Bima hanya bisa menulis catatan kecil di buku: Kalau benar kedaulatan rakyat, kenapa rakyat dipukul mundur? Bukankah seharusnya mereka turun mendengarkan aspirasi dan mengoreksi kebijakan yang tidak tepat? Pembicaraan pun terpotong dengan bel masuk, Bima sampai lupa menghabiskan jajanannya karena terlampau antusias.
Sepulang sekolah, Bima meraih pena dan catatan itu seraya membaca pasal-pasal tentang kebebasan berpendapat, musyawarah mufakat, dan fungsi wakil rakyat.
Makin lama dibaca, terasa seperti naskah teater: indah di atas panggung, palsu di belakang layar. Begini kira-kira secara ringkas hasil tulisan yang diperoleh, mungkin juga bisa menggambarkan situasi demokrasi di negeri Konoha saat ini:
“Demokrasi dari rakyat, malah rapat diam-diam di gedung tertutup dan menghalangi transparansi. Demokrasi oleh rakyat, tetapi saat ramai warga berdemo justru diacuhkan. Demokrasi untuk rakyat, yang saat ini kursi parlemen hanya menjadi singgasana elite.”
Terlintas di benaknya tentang amanat upacara tadi pagi. Namun, ia bertanya-tanya, apa gunanya mengenakan batik setiap Kamis kalau pada waktu yang sama rakyat sedang dibungkam? Apa gunanya menyanyi lagu daerah kalau yang bersuara justru tidak pernah didengar?
Menurut Bima, budaya tidak boleh hanya menjadi kostum, jati diri tidak boleh hanya menjadi slogan. Identitas bangsa yang sejati adalah keberanian rakyat untuk bersatu, membela, dan melawan ketidakadilan. Itulah yang diwariskan para pejuang tanah air.
Keesokan harinya, Bima datang kembali ke kantin ketika jam istirahat tiba. Terdengar aroma-aroma diskusi kemarin berlanjut. Apalagi hari ini begitu spesial, pesertanya tidak cuma Karin dan Acih, tetapi ada juga Joko dan Ira yang siap bertempur dalam pembahasan kali ini.
Tak lupa pula, mereka berdua dikenal sebagai siswa yang ahli dalam berdebat. Setiap ada temannya yang membuka sesi tanya jawab ketika presentasi, pertanyaan Joko dan Ira pasti dihindari.
Bukan karena konyol, justru karena kurang belas kasihan kepada teman. Lagi pula, mana ada yang mau ditanya dan mikir berulang kali hanya karena persoalan yang dibuat mereka.
“Demo masih terus berlanjut, kenapa sih para pengambil kebijakan gak turun aja menemui demonstran? Kalau gini terus mah bakal makin kacau,” ucap Joko.
“Udahlah, ngapain juga bahas demo-demo gitu. Tugas kita tuh belajar, bukan mikirin orang-orang teriak di jalan,” celetuk Acih sambil memainkan sedotan minuman.
“Lah, justru itu kita belajar biar ngerti kenapa orang sampe turun ke jalan. Kalau dibiarkan aja, kita nanti jadi generasi yang pinter ngitung rumus, tapi buta sama masalah negeri ini. Masa iya, kita mau jadi penonton?” pungkas Bima.
Kemudian, Acih meninggalkan mereka dengan wajah masam. Tampak ada yang janggal dengan sikapnya.
“Itu orang alergi wakil rakyat kali ya? Tiap denger langsung gatel sampe mukanya merah,” ungkap Bima.
“Iya, Bim. Dia kalau setiap pelajaran PPKn juga bawaannya gak pernah good mood,” balas Ira.
“Oh, mungkin karena gurunya killer. Jadinya Acih bad mood,” tutur Joko.
Karin menyela pembicaraan, “Ya bukan gitu, Jok. Materi PPKn sekarang kan tentang wakil rakyat dan Demokrasi Pancasila. Entah kenapa di pembahasan itu dia selalu menyimpan wajah murung.”
Setelah berbincang-bincang, alhasil mereka berencana akan mengikuti jejaknya ke mana pun. Selepas pulang sekolah, rasa penasaran dan kebingungan akhirnya terjawab.
Mereka melihat Acih dijemput mobil hitam mewah berpelat khusus di depan gerbang tak seperti biasanya. Seorang sopir berseragam membukakan pintu, sudah kayak lagi syuting sinetron.
Joko terkejut, “Dia ini anak pejabat atau gimana?”
Besoknya, gosip langsung menyebar di sekolah bahwa bapaknya baru saja dilantik menjadi salah satu wakil rakyat beberapa hari yang lalu. Pantas saja jika ada omongan tentang wakil rakyat, Acih langsung panas dan seolah-olah menghindar.
Meskipun begitu, suasana pertemanan mereka tidak berubah. Permasalahan itu adanya di kursi-kursi kekuasaan, bukan di meja kantin sekolah. Lagi pula, tidak semua pejabat sama. Ada yang benar-benar mau berjuang, ada juga yang membuat citra buruk karena jadi oknum.
Melalui kisah yang dialami, Bima belajar satu hal penting: jangan sampai urusan politik membuat pertemanan retak. Justru dengan berteman, mereka bisa saling mengingatkan, menguatkan, dan terus menjaga semangat berpikir kritis tanpa harus saling curiga.
Menjaga demokrasi sama halnya dengan menjaga budaya dan identitas bangsa: menghargai perbedaan, menjaga persatuan, dan bangga dengan jati diri sendiri. Dengan begitu, warisan para pejuang tak akan berhenti menjadi cerita belaka di buku sejarah, melainkan terus hidup di tengah peradaban generasi muda.
Sebuah pengingat bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan akar budayanya sehingga anak muda memiliki tanggung jawab untuk meneruskan warisan dan menjaga identitas bangsa agar tetap hidup selamanya.
Baca Juga
-
Kecurangan Pelaksanaan TKA 2025: Cermin Buram Rapuhnya Nilai Integritas?
-
Menimbang Kesiapan TKA 2025: Dari Gangguan Server hingga Suara Siswa
-
Dana Masyarakat: Antara Transparansi Pemerintah dan Tanggung Jawab Warga
-
Evaluasi Program MBG: Transparansi, Kualitas, dan Keselamatan Anak
-
Ketika Whoosh Bikin Anggaran Bengkak, Kereta Konvensional Jadi Anak Tiri?
Artikel Terkait
-
CERPEN: Celah Cahaya dari Negeri Perbatasan
-
CERPEN: Remote Televisi di Antara Norma dan Hukum Rimba
-
Pesan Anies Baswedan untuk Relawan Muda: Demokrasi Tumbuh dari Warga yang Mau Turun Tangan
-
Media Sustainability Forum 2025: Perkuat Daya Hidup Media Demi Topang Demokrasi
-
Berani Melawan dan Bangga Pada Diri Sendiri
Cerita-fiksi
Terkini
-
Terbukti! 5 Sebab Home Fatigue Akibat WFH Tanpa Batas di Era Digital
-
Review Novel Kami (Bukan) Sarjana Kertas: Potret Realistis Kehidupan Mahasiswa Indonesia
-
Ini 3 Top Skill yang Dicari HR Kalau Kamu Mau Mulai Karir Kerja Remote
-
Janji Kesetaraan Tinggal Janji, Pesisir Masih Tak Aman bagi Perempuan
-
Topeng Ceria Korban Bullying: Mengapa Mereka Tampak Baik-Baik Saja?