M. Reza Sulaiman | Rizki Diansari
Ilustrasi sampul cerpen: Mentari yang Bersinar. (Dok. Gemini AI/Nano Banana)
Rizki Diansari

Kala itu, kepalaku terasa begitu berat. Perutku pun mulai keroncongan. Semua itu kutahan sendirian di kelas karena takut keluar.

Saat itu memang jam istirahat, dan semua anak kelas XIIA sibuk beristirahat. Aku hanya bisa berdiam diri di kelas sembari menahan semuanya untuk tak keluar agar telingaku tak mendengar satu demi satu ucapan yang akan menghakimiku.

Aku tak mengerti, mengapa semua ini harus menimpaku. Yang kutahu, aku juga berhak beraktivitas seperti biasa, menghirup udara segar, makan makanan kesukaan, atau paling tidak tertawa lepas seperti anak pada umumnya. Atau mungkin aku berbeda dari mereka? Fisikku? Aku pikir tidak jauh berbeda. Wajah, hidung, warna kulit, semuanya. Aku rasa tidak ada hal yang terlalu membedakan kami.

Namun, mereka menganggapku berbeda karena aku yang tak pernah bisa bersosialisasi. Semua itu karena satu hal, aku malu pada wajahku yang penuh jerawat. Rasa malu itu sebenarnya muncul dari salah satu ucapan seseorang.

“Jika kamu tidak bisa menjaga kebersihan wajahmu, setidaknya jangan tampakkan pada kami.”

Ucapan itu selalu terngiang dalam isi kepalaku. Tiap hari aku hanya bisa menggunakan masker agar penghakiman mereka tak terdengar jelas saat melihatku. Tiap kali aku berangkat ke sekolah, rasanya ingin menghilang saja dari muka bumi. Tetapi, ucapan Ibu selalu menguatkanku.

“Apa yang mereka katakan tentangmu itu bukan dirimu, Mentari. Kamu adalah cahaya yang menerangi hidup seseorang, juga hidup dirimu. Jadi, jangan pernah berpikir jika hidupmu tidak berharga hanya karena penilaian orang lain.”

Sesuai dengan namaku, Mentari Cahaya Rembulan. Ibu pernah bilang nama itu tercipta karena saat malam itu aku lahir kala cahaya rembulan sedang begitu syahdunya. Dan paginya sinar mentari pun begitu cerah. Ibu dan Ayah merasa kelahiranku adalah anugerah bagi mereka, terlepas dari bagaimana anggapan mereka tentangku.

“Ayo kita jajan di kantin, Tari. Sebentar lagi bel masuk,” ucap Indri berusaha membujukku untuk jajan ke kantin.

“Kamu duluan saja, aku sudah kenyang,” ucapku menolak.

“Kamu masih takut, ya, dengan geng Tasya?”

“Bukan begitu, aku hanya tidak ingin berdebat saja.”

Tanpa penjelasan panjang lebar lagi, Indri langsung menyeretku keluar dari kelas untuk menemaninya jajan di kantin. Aku merasa sangat tidak nyaman saat itu, tetapi aku juga tidak bisa menolak ajakan paksanya tersebut.

Sambil membawaku menyusuri lorong kelas, ia mengucapkan kata-kata yang menurutku berhasil memacu semangatku untuk lepas dari belenggu rasa takut tersebut.

“Mau sampai kapan kamu bersembunyi seperti ini? Kamu berhak bahagia!”

Dengan perasaan kacau, aku mencoba melawan semua kegundahan yang selama ini aku rasakan. Langkah kakiku begitu gemetar saat mulai melangkah maju ke kantin. Beberapa anak mulai memperhatikanku dengan tatapan sinis. Namun, Indri berusaha menguatkan.

Tak berapa lama, kami sudah sampai di etalase makanan. Saat kami mulai memilih makanan, tiba-tiba saja segerombol anak perempuan datang menghampiri kami. Salah satu anak yang ada di sana sangat familier denganku. Ia pun maju mendekatiku dengan wajah jemawanya sambil mengatakan bahwa aku tidak pantas masuk ke kantin dan akan membuat teman-teman lain tidak selera makan karena jerawatku.

Rasanya diri ini ingin melawan, hanya saja lidahku tak mampu bergerak. Hanya kutahan semuanya di dalam hati ini melihat mereka merendahkanku di depan semua orang yang ada di kantin, sambil berdoa dalam hati.

“Ya Allah, angkatlah derajatku setelah ini.”

Beberapa bulan kemudian, sekolah kami mengadakan penilaian sumatif akhir semester ganjil. Seluruh siswa mempersiapkan diri belajar dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkan nilai yang memuaskan, termasuk aku.

Tahun lalu aku berhasil masuk sepuluh besar di kelas, itu adalah pencapaian yang luar biasa bagiku. Dalam hatiku selalu berbicara, bagaimana keadaan yang terjadi jika aku bisa jadi juara kelas.

Hanya saja aku masih tidak yakin dengan semua itu. Namun, aku tidak putus asa. Semua salat wajib dan sunah kulakukan, tak lupa dengan belajarnya. Dalam doaku, aku memohon pada Allah agar diberikan mukjizat untuk lepas dari keadaan ini.

“Aku yakin, tahun ini aku lagi yang akan menjadi juara kelas,” ucap Tasya pada teman-temannya yang pada saat itu sedang duduk di depan kelasku.

“Tentu saja, orang pintar pasti cantik, tidak ada yang bisa mengalahkanmu,” sambung salah satu sahabatnya.

Indri hanya bisa menggerutu dalam hati saat melihat percakapan tersebut. Dia mengatakan padaku betapa sombongnya anak-anak itu. Aku hanya bisa menenangkan Indri untuk membiarkan semua yang dilakukan mereka.

“Ini tidak mungkin terjadi, mengapa harus dia?!” teriak Tasya dengan penuh amarah.

Ucapan itulah yang terlontar di mulut Tasya saat pengambilan rapor semester ganjil seminggu setelah kejemawaannya. Ya, tanpa diduga akulah yang menjuarai peringkat kelas di sekolah. Nilaiku menduduki peringkat kedua tertinggi dari 100 siswa kelas XII di sekolah kami. Tasya tidak terima akan pencapaianku dan memprotes hal tersebut pada wali kelas kami dengan mengumpat seluruh kekurangan fisikku.

“Tidak selamanya yang di atas akan selalu di atas. Akan ada saatnya dapat berubah ke bawah. Bumi itu bulat, pasti akan berputar, begitulah kehidupan makhluk bumi. Sekali lagi, siapa pun berhak bahagia, tanpa memandang fisik, tanpa memandang latar belakang,” ucap Bu Anita selaku wali kelas kami.

Sejak saat itu, semua anak tidak pernah lagi mencemooh kekuranganku. Mereka malah ingin mendekat karena mengetahui aku sebagai juara kelas. Namun, hanya Indri yang menerima kekuranganku apa adanya sebagai sahabat.

Hingga kelulusan SMA, aku tetap memperoleh prestasi gemilang dan meraih beasiswa tanpa tes untuk masuk perguruan tinggi negeri di salah satu universitas di Pontianak, terlepas dari kekurangan wajahku yang memiliki jerawat. Ini membuat kepercayaan diriku mulai tumbuh, bersinar, dan berkembang.

“Kamu adalah Mentari Ibu, sudah pernah Ibu katakan, kamu akan bersinar, maka bersabar adalah kuncinya. Now, you are Mentari yang bersinar,” ucap Ibu sambil memelukku.

Baca Juga