Nampaknya kalian perlu tahu, aku Lea. Teman sekamarku ada dua: Evi dan Vina. Evi satu prodi dengan Vina, sementara aku berbeda jurusan.
Evi adalah sahabat lamaku, kami sekelas selama tiga tahun di SMA. Dia tipe yang cepat akrab dan selalu jadi penghubung di mana pun berada.
Vina berbeda lagi. Ia perantau dari pulau seberang, pendiam di awal, tapi hangat begitu diajak bicara.
Anehnya, dalam satu kali obrolan saja, kami langsung klop. Percakapan itu cukup meyakinkanku untuk pindah dan berbagi kamar dengan mereka—kamar 203.
Di semester awal, jadwal kuliahku lebih ringan daripada mereka, jadi aku biasanya sudah balik ke rusun setelah adzan dzuhur, sementara mereka baru pulang menjelang sore.
Singkatnya, aku lebih sering menghabiskan waktu sendiri di kamar. Bisa saja aku bertahan di kampus sampai sore, tapi WiFi di rusunawa saat itu super cepat, sesuatu yang nggak boleh dilewatkan. Makanya, aku selalu semangat balik setelah dzuhur demi internet kilat itu.
Entah mengapa kesunyian siang itu terasa ganjil, aku mendengar seseorang memanggil namaku, suaranya terdengar dekat tapi tidak diketahui di mana sumbernya.
Kejadian itu nyaris setiap hari kualami, sampai-sampai kupikir suara-suara itu cuma halusinasi. Selama satu semester, penggilan tak bertuan itu kubiarkan begitu saja.
Minggu awal semester kedua, sebuah mata kuliah mendadak pindah jam, dari pukul 10 ke pukul 3. Bagi mahasiswa yang pulang pergi (non-kost), menunggu di sekitar fakultas jelas membosankan.
Jadi, kubujuk dua temanku yang juga PP, Isma dan Puput, untuk mampir ke kamarku.
Mereka senang dan langsung setuju. Kami pun berangkat ke rusun dengan hati ringan. Sesampai di kamar, kami masing-masing beristirahat beberapa jam.
Saat aku ke kamar mandi, suara aneh itu muncul lagi, namaku dipanggil oleh perempuan dari arah yang tak jelas. Jauh tapi terdengar begitu nyata. Sekali lagi, kupikir itu cuma kebetulan. Istirahat kami pun berakhir saat alarm Puput berbunyi, memecah kesunyian.
Hingga akhirnya, aku merasa perlu berbagi pengalaman aneh yang kupendam selama satu setengah semester. Pada pagi yang sunyi itu, untuk pertama kalinya, kututurkan semua pada Isma.
“Ma, kayaknya aku gila deh!” ucapku yang sudah barang tentu memancing atensinya.
“Hah? Gila gimana?” ucapnya yang kini semakin fokus denganku.
“Aku sering berhalusinasi selama satu setengah semester ini. Aku sering dengar ada yang manggil namaku padahal gak ada siapa-siapa saat itu,” ucapku yang benar-benar yakin ada yang salah dengan otakku.
“Kamu ingat tidak pas pertama kali kalian main ke kamarku?” tanyaku yang mencoba bercerita lebih detail.
“Iya ingat, kenapa?”
“Nah aku denger ada suara yang jelas banget manggil namaku! Tepatnya pas aku turun dari ranjang mau kencing,” ucapku.
“Iya, aku juga dengar,” ucapnya yang membuat jantungku mau berhenti berdetak.
“Gimana maksudnya?”
“Temenmu itu!” ucapnya dengan raut wajah yang benar-benar santai.
“Kamu memang punya teman, Le. Nggak masuk sih, cuma nempel di sini.” ucapnya yang menyentuh bagian tubuhku.
“Ay, gila!” ucapku dengan bulu kuduk yang merinding, “jangan bercanda!”
“Sebentar! Kamu anak indigo, kan?”
“Mana ada!”
“Lah, padahal kamu punya teman,” ucapnya dengan suara melemah, dia salah kira.
“Kapan aku temenan dengan makhluk begituan!” ucapku panik.
Isma terdiam, dia sungkan meneruskan terlebih wajahku jadi lebih pucat setelah mendengar ucapannya.
“Gimana? Jadi aku harus gimana? Aku gak mau punya teman kayak beginian!”
“GPP, Le! Ini lebih ke nyaga gitu. Dia senang sama kamu!” ucapnya lagi, “dia cuma mau berteman.”
“Eleh, senang sama aku, kenapa? Sejak kapan aku setuju temenan sama dia!”
“Ya sudah! Gak perlu kamu pikirin. Bisa aja ini gak lama. Aku pun sudah jarang melihat dia di sekitarmu.”
“Tapi suara itu gimana?” tanyaku.
“Gak tahu. Mungkin itu suara penunggu rusun. Saranku, sebisa mungkin reaksimu kayak yang sudah-sudah, anggap angin lalu!”
Tapi bagaimana mungkin semua penjelasan Isma itu kuanggap angin lalu. Aku panik. Takut. Cemas. Sejak tahu bahwa yang kukira halusinasi ternyata seruan makhluk dari alam berbeda, kepalaku dipenuhi kecurigaan. Sejak saat itu, aku jadi paranoid.
Meski begitu, aku berusaha berpura-pura biasa saja. Sialnya, makhluk yang hobi memanggil namaku itu seolah sadar aku kini tahu keberadaannya. Sejak kesadaran itu muncul, seruannya justru makin sering. Bukan hanya suara yang sama, kadang suara laki-laki, kadang suara anak-anak, bergantian mengisi kepalaku.
Hari demi hari, keusilan sosok perempuan itu makin mengganggu. Setiap kali kantuk hampir menang, suara itu menyentak, memaksaku terjaga. Malam-malamku jadi panjang dan gelisah. Dengan sisa iman yang kupunya, aku bertahan, percaya Allah akan melindungi, sambil menahan ngeri mendengar kebisingan yang hanya bisa kudengar sendiri.
Sampai suatu malam, usai menutup bacaan Alqur’an dan mengucap, “Shadaqallahul ‘adzim,” lengkingan perempuan menghantam telinga kananku. Tubuhku limbung ke kiri. Kaget, aku berteriak memanggil Vina, yang saat itu duduk di ranjangnya.
Teman-teman sekamarku memang tahu aku mengalami gangguan. Tapi mereka tak pernah benar-benar tahu seberapa parah teror itu bagiku. Karena hanya aku yang mendengar suara-suara itu. Hanya aku yang menanggung ketakutan dari makhluk-makhluk tak kasatmata itu.
Bersambung...
Baca Juga
-
Seruan Tak Bertuan: Suara Ganjil di Keheningan Malam
-
Ulasan Film Hitman 2: Hadirkan Narasi dan Aksi Lebih Menantang!
-
Ulasan Film The Noisy Mansion, Misteri di Balik Teror Bising Dini Hari
-
Ulasan YADANG: The Snitch, Film Aksi Kriminal Korea Terbaik Sepanjang 2025
-
The Old Woman with the Knife, Film Laga Solid dengan Karakter yang Impresif
Artikel Terkait
Cerita-fiksi
Terkini
-
4 Rekomendasi Tote Bag Stylish untuk Ngantor dan ke Kampus, Harga Mulai Rp100 Ribuan
-
4 Micellar Water Niacinamide, Bikin Wajah Auto Bersih dan Cerah Seketika!
-
Bukan Cuma Kurang Tidur, Kenali Penyebab dan Cara Atasi Kelelahan Ekstrem
-
Nomor Satu! Mark NCT 'The Firstfruit' Dinobatkan sebagai Album K-Pop Terbaik 2025 Versi Billboard
-
Restitusi untuk Korban Tindak Pidana Masih Sulit Direalisasikan