M. Reza Sulaiman | Athar Farha
Poster Film Qorin 2 (Dokumentasi Pribadi/Athar Farha)
Athar Farha

Disutradarai oleh Ginanti Rona, ditulis oleh Lele Laila, dan diproduksi oleh Rapi Films, Qorin 2 yang tayang pada 11 Desember 2025 memilih jalan yang cukup berani, yakni menjadi standalone sequel dari film Qorin (2022). Artinya, film ini tidak melanjutkan kisah sebelumnya secara langsung, melainkan hanya membawa konsep besar tentang qorin ke cerita yang sama sekali baru.

Cerita baru itu pun menarik untuk kita ulas. Kita akan diperkenalkan pada Makmur (diperankan oleh Fedi Nuril), sosok ayah yang hidupnya tampak biasa saja. Ia bukanlah sosok yang sejak awal diposisikan sebagai pahlawan. Makmur hanya ingin satu hal: anaknya selalu aman.

Namun, sekolah, tempat yang seharusnya menjadi ruang belajar dan tumbuh, berubah menjadi ladang kekerasan. Anak Makmur menjadi korban perundungan. Bukan perundungan yang ringan atau sekadar ejekan; film ini dengan tegas memperlihatkan bullying sebagai kekerasan psikologis dan fisik yang sistematis, dilakukan berulang, dan sering kali dianggap sepele oleh orang dewasa di sekitarnya.

Ketika laporan diabaikan, ketika empati kalah oleh birokrasi, dan ketika pelaku tetap bebas sementara korban semakin hancur, Makmur berada di titik paling rapuh dalam hidupnya. Dia tahu apa yang akan dia lakukan salah. Dia tahu jalan yang akan diambilnya gelap. Namun, di dunia yang gagal melindungi anaknya, moral tidak lagi hitam-putih.

Sekuel yang Menarik, tetapi Jauh dari Kata Sempurna

Aktor Fedi Nuril berani keluar dari zona nyamannya. Selama ini, ia kerap berakting sebagai pria yang hangat, religius, atau romantis. Di film Qorin 2, ia menjadi sosok ayah yang dingin, pendiam, dan diselimuti dendam.

Masalahnya, Makmur adalah karakter dengan dialog yang minim. Beban emosi sepenuhnya bergantung pada ekspresi, gestur, dan bahasa tubuh. Di beberapa momen, Fedi berhasil. Namun, di banyak adegan lain, dendam Makmur terasa tertahan di layar, tidak benar-benar menular ke penonton. Saya bisa melihat kemarahannya, tetapi jarang benar-benar merasakannya.

Sebaliknya, Epy Kusnandar kembali membuktikan kelasnya. Penampilannya terasa hidup, meyakinkan, dan manusiawi. Mengetahui bahwa film ini menjadi salah satu penampilan terakhirnya, rasanya seperti salam perpisahan yang pahit sekaligus hangat.

Sementara itu, di departemen naskah, Lele Laila tampaknya tidak setengah-setengah dalam membayangkan kekerasan yang bisa dilakukan remaja hari ini. Jujur, ada beberapa adegan yang terasa memicu (triggering). Bukan karena berlebihan, tetapi karena terlalu dekat dengan realitas. Saya tidak takut pada hantunya; saya malah takut pada kenyataan bahwa adegan-adegan kekerasan itu mungkin pernah atau sedang dialami oleh banyak anak di luar sana.

Poster Film Qorin 2 (Dokumentasi Pribadi/ Athar Farha)

Ginanti Rona, sebagai sutradara, menyambut visi gelap ini dengan keberanian visual. Dia tidak ragu menampilkan darah, luka, dan kekerasan fisik. Unsur gore dihadirkan cukup intens, bahkan mungkin berlebihan bagi sebagian penonton. Meskipun begitu, di satu sisi, gore itu seperti ingin menegaskan satu hal: dendam Makmur bukan main-main.

Sayangnya, di titik tertentu, kekerasan fisik dan balas dendam terasa lebih dominan dibandingkan horor supranaturalnya. Qorin, yang seharusnya menjadi konsep penting, malah tidak terlalu dalam dieksplorasi.

Masalah terbesar Qorin 2, menurut saya, ada pada alur ceritanya yang repetitif. Selama hampir dua jam, film ini seperti berputar di lingkaran emosi yang sama: marah, dendam, kekerasan, lalu ulang lagi. Tidak banyak perkembangan konflik yang benar-benar memberikan kejutan atau lapisan baru.

Padahal, temanya sangat kaya. Bullying, trauma, kegagalan sistem, dan dilema moral seorang ayah seharusnya bisa digali lebih dalam. Namun, yang terjadi, film ini seperti terlalu nyaman berada di satu nada emosi tanpa berani mengeksplorasi sisi psikologis karakter secara lebih mendalam. Akibatnya, durasi 1 jam 50 menit terasa panjang. Bukan karena ceritanya buruk, tetapi karena kedalaman narasinya tidak sebanding dengan durasinya.

Hal lain yang cukup mengganjal adalah konsep qorin itu sendiri. Mengingat status film ini sebagai standalone, penonton baru sangat mungkin merasa kebingungan. Apa itu qorin? Apa batasannya? Apa perannya dalam konflik Makmur?

Film ini seolah-olah mengasumsikan bahwa penonton sudah paham konsep tersebut, padahal tidak semua datang dengan bekal dari film pertama. Akibatnya, qorin terasa seperti elemen yang hadir, tetapi tidak sepenuhnya dijelaskan atau dimanfaatkan secara maksimal dalam narasi.

Ironisnya, justru saat horor supranaturalnya minim, horor manusianya bekerja dengan sangat kuat.

Skor: 2,5/5