Mungkin tidak akan ada yang bisa aku ceritakan sekalipun aku berjam-jam menatap layar laptop pada suatu pagi atau siang hingga malam sekalipun. Imajinasiku seolah terhenti pada realitas kehidupan yang tampaknya sudah lebih dulu menguasai isi kepalaku. Namun sayang segala realitas itu pun tidak memunculkan lampu ide atau sekedar memberikan gambaran alur untuk cerita pendek sederhana yang harus aku selesaikan hari ini.
Hidup menjadi seseorang yang suka menulis tetapi tidak berbakat dalam mengembangkan imajinasi merupakan kombinasi buruk menurutku. Sesekali aku berhasil menulis satu dua buah cerita pendek atau beberapa bait puisi, mengirimkannya, lalu memperoleh sejumlah uang. Tetapi beberapa bulan berikutnya aku seolah kehilangan gagasan dan akhirnya mataku hanya menjadi perih sebab menatap layar laptop selama berjam-jam.
Mungkin aku harus keluar berjalan-jalan sebentar. Aku mengambil jaket abu-abu yang bergantung di belakang pintu kemudian melangkahkan kaki ke luar rumah. Rumahku kecil, dengan halaman yang cukup luas. Di beberapa sudut aku menanaminya bunga matahari juga tanaman hias lainnya. Meski secara dominan bunga matahari memenuhi halamanku. Bahkan saat ini tengah mekar-mekarnya. Cantik sekali. Sementara di sudut halaman, aku membuat satu keran dan selang untuk memudahkan aku menyirami tanaman-tanaman tersebut.
Ah, sudahlah. Rumah dengan tampilan asri seperti ini pun tidak menjadikan aku punya pikiran yang tenang untuk menjelajahi imajinasi. Setidaknya seperti yang dikatakan orang-orang. Tempat yang tenang akan melahirkan kisah-kisah yang memukau. Tampaknya aku adalah salah satu penulis paling gagal di dunia ini yang setiap hari tidak tahu hendak menulis apa.
“Kamu mau kemana, Mas?” Suara halus yang sudah lumayan familiar itu mampir di telingaku. Aku menoleh, melihat wanita dengan daster selutut bermotif bunga-bunga itu memandangku dengan tatapan yang teduh. Rania, istriku itu. Bahkan dalam pakaian rumahan saja tidak menutupi kecantikannya. “Ola baru saja tidur, sejak tadi ia mencarimu.”
Ah, ya. Ola. Anak pertamaku yang masih berusia tiga tahun. Memiliki kulit putih sama seperti Rania serta rambut yang sedikit bergelombang mirip denganku. Aku mengurungkan niatku untuk keluar rumah dan berencana menghabiskan waktu bersama keluargaku. “Tadi aku ingin mencari angin segar sebentar, tapi sepertinya menghabiskan waktu denganmu dan Ola akan lebih menyenangkan.”
Rania tidak menjawab apa-apa. Ia hanya mengangguk sedikit dengan senyum tipis kemudian meninggalkan aku ke dalam rumah. Aku mengikuti langkahnya dengan segera. Ingin melihat Rania dan Ola.
“Aku ingin menggendongnya.” Keluhku. Rania duduk di sudut kasur sambil memandangku. Sementara aku berdiri di sisi lain, dekat jendela kamar. Masih memandangi wajah Ola yang tertidur sangat nyenyak. “Kenapa aku gak boleh menggendong anakku?”
“Kasihan, dia baru tidur. Nanti terbangun.” Jawab Rania. Sejak tadi aku bersikeras ingin menggendong Ola. Rasanya aku sudah lama sekali tidak bermain dengan gadis kecil ini.
“Aku ‘kan bapaknya, tidak apa-apa jika terbangun sebentar.” Aku masih keras kepala. Rania menatapku, menarik napas dan menjawab dengan sabar. “Aku ibunya, aku lebih tahu anakku. Ola masih kecil dan butuh tidur siang. Supaya ia bisa tumbuh.”
Aku terdiam. Dalam hati sedikit menyetujui perkataan Rania. Sehari-hari Ola memang menghabiskan lebih banyak waktu bersama Rania, sementara aku sibuk mengunjungi penerbit-penerbit untuk menawarkan naskah-naskah cerpen milikku. Kemudian pulang dan hanya sempat bermain sebentar dengan Ola, sebelum akhirnya gadis tiga tahun tersebut tertidur lelap.
“Memang kau akan melakukan apa ketika menggendongnya? Hanya menatapnya saja ‘kan?”
“Pertama-tama.” Kataku. “Aku ingin mengecup keningnya. Hanya itu yang bisa kulakukan untuk menghilangkan capek usai bekerja. Benar-benar hilang tak bersisa.”
“Lalu?” Tanya Rania.
“Lalu aku perhatikan matanya yang bundar itu. Aku ingin minta maaf dengannya. Bisik-bisik saja.”
“Minta maaf?”
“Iya.” Kataku yakin. “Aku ingin bilang maaf ya nak belum bisa membelikan mainan-mainan lucu sesuai keinginanmu. Maaf tidak bisa membelikan es krim sama seperti anak-anak lain.”
“Maaf ayah terlalu naif hanya memanfaatkan bakat yang tidak seberapa ini untuk mencari nafkah. Maaf tidak bisa menjadi ayah yang sempurna sampai-sampai harus menyusahkanmu, menyulitkanmu.”
Lalu aku akan bilang, “Percayalah ayah tengah berusaha mencari uang kembali. Agar kita berhenti makan satu hari sekali. Agar Ola bisa membaur dengan teman-teman komplek membawa boneka lucu untuk dipamerkan. Agar Ola bisa menikmati jajanan-jajanan yang sama seperti teman-temannya. Agar Ola bisa memiliki sendal baru yang lebih pas.”
Pandanganku kini beralih pada wajah Rania. Wajah cantik itu menyiratkan lelah yang panjang. “Aku ingin membelikanmu pakaian-pakaian cantik yang kau suka. Mengajakmu dan Ola jalan-jalan. Setidaknya satu minggu sekali.”
Aku kembali memandangi wajah Ola yang tertidur sangat lelap. Mulutnya sedikit terbuka hingga tampaklah dua gigi putih susu yang baru saja tumbuh. “Kemudian aku akan mengecup keningnya sekali lagi dan meletakkannya kembali. Tuh, hanya sebentar saja.”
“Harusnya kau menyirami bunga-bunga di halaman saja.” Rania menjawab. Sedetik aku melihat raut sedih di wajahnya meski kemudian buru-buru ia hilangkan dan segera menyunggingkan senyum tipis. “Ola nanti juga akan bangun dan bermain bersama kita. Tanamanmu sudah seminggu tidak kau urus.”
Aku melenguh. Tampaknya Rania benar-benar tidak mengizinkan aku untuk menggendong Ola bahkan sebentar sekali pun. Tanpa mengatakan apa-apa akhirnya aku beralih ke halaman depan. Melihat-lihat tanaman yang masih subur meski sudah lama tidak ia rawat.
Aku mendekat ke arah bunga matahari. Bunga favoritku. Tetapi secara aneh bunga itu mendadak layu, berwarna gelap. Aku menyentuh salah satu kelopaknya yang dengan mudah langsung runtuh. Jatuh ke tanah. Bahkan rumput yang aku pijak mendadak kecoklatan seolah berbulan-bulan tidak tersentuh tangan yang merawat, tidak tersentuh air yang menjadi nyawanya untuk tetap hidup.
“Rania.” Aku memanggil istriku. Beberapa menit aku tidak mendengar jawaban apa-apa. Kuputuskan untuk kembali ke dalam rumah. Gelap sekali. Aroma lembab memasuki hidungku sekejap saja aku melangkah melewati pintu depan. Beberapa sampah entah mengapa tiba-tiba berserakan di lantai, tidak sengaja tertendang olehku beberapa kali. “Rania.”
Aku memanggil istriku sekali lagi. Kali ini langsung membuka pintu kamar tempat Rania tadi dan Ola yang tertidur lelap. Sama seperti ruangan lain, kamar ini juga gelap. Hanya ada cahaya sedikit yang masuk lewat celah ventilasi di dinding atas kamar. Pandanganku secara bergantian jatuh ke kasur yang ada di tengah ruangan.
Rania dan Ola tidak ada.
Kamar itu sama tidak karuannya dengan ruangan lain. Bau apek langsung saja menyengat hidung ketika aku masuk. Noda reruntuhan dari plafon yang sudah lapuk hampir memenuhi tempat tidur, di sudut ruangan keranjang pakaian kotor tampak terjengkang dari posisi yang seharusnya sehingga menumpahkan banyak sekali pakaian kotor yang terlihat sudah lama sekali tidak dicuci.
“Rania...Ola…” Aku kembali menyebut nama istri dan anakku. Senyap. Tidak ada jawaban.
Kali ini aku menjamah bagian dapur. Meja kecil yang berada di tengah ruangan masih tersusun rapi. Sementara di tengah meja terdapat lauk dan sepiring sayur yang sudah berjamur dan menimbulkan bau tidak sedap. Di sisi lain keranjang buah yang terdapat beberapa buah apel dan pisang sudah terlihat tidak layak dimakan sebab sudah sedikit menghitam. Busuk.
Kemana Rania dan Ola?
Aku tertegun cukup lama di pintu dapur. Beberapa momen-momen menjamah pikiranku secara acak. Dimulai dari aku dan Rania yang sibuk menyusun perabot rumah tangga di dapur ini. Aku yang sibuk mencuci piring sementara Rania menyiapkan makan malam. Atau Ola yang tiba-tiba merangkak ke arah kakiku, sebab ia baru saja mahir merangkak dan secara tidak sabar terus berkeliaran di seluruh rumah sehingga aku dan Rania harus secara ekstra memperhatikan gadis itu.
Tidak lama sekelebat bayangan aku, Rania dan Ola tampak tengah makan malam bersama di meja kayu sederhana itu. Rania memasak nasi goreng kampung kesukaanku bercampur dengan telur ceplok serta ikan teri yang digoreng hampir gosong. Kami menikmati makan malam sambil bercerita pekerjaan, cita-cita, serta apa saja yang telah Ola lakukan seharian.
Kini tiba-tiba dadaku sakit. Ada perasaan rindu yang menggebu dalam dada sehingga aku mendapati rasa sedih yang luar biasa. Secara tertatih-tatih aku memutar badan hendak menyambangi tempat lain. Aku meneriakkan nama Rania dan Ola lagi meski kali ini entah mengapa hanya terdengar seperti rintihan menyedihkan.
Kali ini aku berhenti di depan ruang kerja yang biasa aku gunakan untuk menulis atau berdiskusi mengenai buku-buku terbaru yang aku atau Rania baca. Beberapa waktu mungkin kami sambil berdebat tetapi berujung aku memeluk Rania dan berterima kasih karena sudah menemani penulis yang tidak berbakat ini untuk tetap hidup. Aku tidak lantas membuka gagang pintu yang sudah tebal debunya itu, sebab lagi-lagi aku menemukan rasa sakit di dada.
Sirine ambulans memecahkan lamunanku, serempak dengan tanganku yang membuka pintu tersebut. Di tengah ruangan aku mendapati diriku, tergantung dengan tali putih yang mengikat leher. Terlihat bodoh dan penuh keputusasaan. Sementara rindu itu masih menggerogotiku.
Aku tertegun.
Di meja kerja aku melihat layar laptop yang masih menyala. Menampilkan halaman artikel yang menunjukkan berita kematian ibu dan anak akibat terserempet kereta api. Hancur bersama bakul kue pasar yang kemudian diketahui adalah persedian jualan milik sang ibu. Ibu itu Rania dan anak perempuannya Ola.
Kini tidak hanya dadaku yang semakin remuk oleh rindu dan keputusasaan. Seluruh tubuhku terasa beku dan bulir air mata terasa membasahi pipi. Tak lama pintu didobrak, beberapa petugas masuk. Mengevakuasi pria yang bergantung itu. Mengevakuasi aku. Jasadku.
Barangkali ini adalah kisah yang akan ditulis seseorang mengenai aku si penulis tidak berbakat. Yang dengan percaya diri mengikutsertakan dua nyawa untuk hidup dari tulisan-tulisannya yang tidak laku. Yang menyebabkan istrinya harus turut serta mencari nafkah serta anaknya tidak lagi bisa bermain seperti yang seharusnya. Rasa bersalah terasa mencabik-cabik hatiku dengan sekejap. Rasanya aku telah mengirim dua nyawa untuk mendapati keputusasaan, penyesalan, dan kerinduan yang tidak pernah habis di ruangan ini.
Aku adalah penulis yang tidak berbakat itu. Seperti yang aku katakan sebelumnya tidak ada lagi imajinasi yang bisa aku sambangi untuk bisa dikembangkan menjadi cerita pendek atau novel. Aku terperangkap selamanya. Terperangkap bersama penyesalan yang terus menggerogoti hidupku. Terperangkap bersama kerinduan dan keputusasaan terhadap keluarga kecilku.
Baca Juga
-
Jejak Ketangguhan di Pesisir dan Resiliensi yang Tak Pernah Padam
-
Merawat Luka yang Tak Terlihat setelah Bencana
-
Bukan Meninggalkan, Hanya Mendefinisikan Ulang: Kisah Anak Nelayan di Era Modern
-
Kecemasan Kolektif Perempuan dan Beban Keamanan yang Tak Diakui
-
Merosotnya Kepercayaan Publik dan Pemerintah yang Tak Mau Mengalah
Artikel Terkait
Cerita-fiksi
Terkini
-
Trailer Live-Action Look Back Resmi Dirilis Adaptasi Manga Tatsuki Fujimoto
-
Dari Warisan Kolonial ke Kota Sporadis: Mengurai Akar Banjir Malang
-
Marsha Aruan Kunjungi Masjid Agung Sheikh Zayed di Dubai, Netizen: Mualaf?
-
Aktor James Ransone Tutup Usia di Umur 46 Tahun, Ini Penyebabnya!
-
7 Teknik Jepang untuk Atasi Overthinking yang Bisa Kamu Coba