Derap kaki terdengar dari luar ruangan, disusul suara ketukan di pintu. Bu Widya menoleh dari kursi guru.
"Ya, masuk!"
Perhatian seisi kelas sejenak teralihkan ke depan. Eka turut mengangkat mata, ingin tahu apakah tebakannya benar. Tampak seorang anak perempuan berambut pendek sebatas leher, melangkah masuk dengan kepala menunduk. Beberapa anak kasak-kusuk.
"Ssst, Ka, udah berapa kali Dia telat, tuh?" sikut Andini ke arah Eka.
Eka menghitung dengan jari di kedua tangan. "Banyak, sampai lupa," sahutnya, meringis.
"Hari ini kenapa lagi?" Suara Bu Widya bikin nyali seketika ciut.
"Ma, maaf, Bu. Tadi orang yang nganter saya bangunnya kesiangan, jadi saya ikut terlambat," jawab anak itu agak terbata-bata. Kedua tangannya saling meremas, tanda ia gugup.
Bu Widya berdehem tajam. "Kemarin kamu bilang saudara bapak kamu motornya bocor. Kemarinnya lagi kamu bilang kamu terpaksa naik angkot tapi angkotnya pada penuh. Ckckck, kamu emang banyak alesan, ya?"
"Huuuuuu!" sorakan terdengar dari anak-anak laki-laki.
Mata bulat anak itu berkilat menatap para penyoraknya. Lalu ia kembali menunduk.
"Tapi, Bu, saya nggak bohong. Itu beneran alesannya," balasnya. Suara anak itu terdengar putus asa. Entah kenapa, sebersit rasa iba menyelinap di hati Eka.
Bu Widya menggeleng tak sabar. "Sudah, sudah! Sana kamu duduk saja. Besok jangan telat lagi kamu, ya! Kalau masih telat saja, kamu nggak boleh ikut pelajaran jam pertama."
Anak itu berjalan ke barisan bangku kedua dari pintu, tepatnya di deret kedua dari belakang. Tak seperti yang lain, ia duduk sendiri tanpa kawan. Penyebabnya ada dua, pertama karena total siswa perempuan berjumlah ganjil. Kedua, teman-teman sekelas merasa tak nyaman berada di dekatnya. Di mata mereka, Dia adalah anak yang aneh, jarang berbaur, dan kerap ditegur oleh guru. Siapa yang mau punya teman sebangku seperti itu?
Kemudian Bu Widya kembali melanjutkan materi matematika yang sempat terjeda. Anak-anak pun berusaha memusatkan perhatian mereka.
**
Eka, dan Andini berkumpul di meja Shinta saat istirahat pertama. Mereka tengah membicarakan majalah Bobo edisi terbaru yang baru dibeli Shinta semalam.
"Wah, jadi kelanjutan ceritanya gitu, ya? Aku nanti mau minta Ayah pergi ke toko buku juga, ah, buat beli Bobo," balas Andini berbinar-binar.
"Wah, harus itu!" angguk Shinta menyemangati. "Eh, Ka! Kok, bengong? Lihatin apa?" Shinta menjentikkan jemarinya yang ramping, di depan wajah Eka.
Andini menyeringai. Ia tahu teman akrabnya sedang memperhatikan Dia. "Si Eka lagi perhatian ke anak aneh itu," tunjuknya dengan mulut dimonyongkan. Shinta menoleh.
"Aku jadi penasaran," kerling Shinta jahil. Tanpa diduga oleh Andini dan Eka, teman mereka yang jangkung ini malah berjalan mendekati meja Dia.
Dia tengah membuat sketsa di buku tulisnya. Ada sosok-sosok mirip bebek, saling berhadapan. Di atas dua sosok tersebut terlihat sebuah balon percakapan. Anak itu begitu tenggelam, sampai-sampai tak sadar ada yang menonton aksinya.
"Waaah! Kamu gambar komik ya, Di? Komik apa, tuh?" seru Shinta.
Dia terlonjak saking kagetnya. Refleks ia menoleh sambil menutupi gambarnya.
"Eh, bukan apa-apa," jawabnya gugup.
Shinta tertawa canggung. "Emm, belum selesai ya, Di? Kapan-kapan aku boleh baca, ya?"
Namun Dia tak menjawab. Ia malah mengalihkan pandangan ke bukunya. Karena merasa tak enak sendiri, Shinta segera menyingkir. Andini dan Eka menyambut dengan mata penuh pertanyaan.
"Udah, ah, nggak usah dibahas. Dia lagi asyik sendiri," sahut Shinta kecut. Ia lalu mengajak dua karibnya pergi ke kantin.
**
Eka mengambil sekop kecil di kotak peralatan, kemudian memberikannya kepada Ibu di kebun samping rumah.
"Bu, kenapa ya, ada anak yang sering telat ke sekolah, trus nggak mau gabung sama teman lain?" Eka berjongkok di samping Ibu.
Tangan Ibu yang asyik mendangir pohon cabai terhenti sejenak. Ibu menoleh. "Teman sekelasmu?" Putrinya mengangguk ragu.
"Hmm, banyak penyebabnya, Ka. Pasti temanmu itu bilang, kan, ketika ditanyai guru?" jawab Ibu santai, sembari kembali mendangiri tanaman lain.
Eka menghela napas. "Sebenarnya anak itu bukan temanku, sih, Bu. Walau kami sekelas." Ia lalu menceritakan perkara Dia. Ibu tertarik, dan tekun menyimak sampai selesai.
"Kedengarannya teman sekelasmu itu punya latar keluarga cukup rumit, Ka. Kita nggak bisa menghakimi dia hanya dari luarnya saja. Karena kita nggak tahu apa yang terjadi sebenarnya," ucap Ibu dengan nada berhati-hati.
Eka mengernyit, masih bingung. Ibu menyadarinya, dan tersenyum maklum. "Saran Ibu, kalau kamu merasa peduli padanya maka dekati. Cobalah mengenal temanmu itu dari dekat. Beri dia dukungan yang bisa kamu berikan. Oke?"
"Mmm, Eka coba, ya, Bu? Makasih sarannya."
"Sama-sama, Sayang. Sekarang bantu Ibu mindahin pot Bugenvil ini ke sebelah sana."
**
Pagi ini Eka berangkat ke sekolah dengan semangat baru. Setelah mendapat saran dari Ibu kemarin, ia bertekad menjalin pertemanan dengan Dia. Bahkan bila memungkinkan Eka akan mengajak Andini dan Shinta serta. Eka ingin lebih mengenal Dia.
Tetapi alangkah kecewanya Eka, ia tak melihat Dia di kelas. Mulanya ia mengira anak itu datang terlambat seperti biasa. Sayang, hingga jam pelajaran kedua selesai pun Dia tak kunjung muncul. Bahkan sampai jam sekolah berakhir hari itu.
"Ckckck, anak itu mulai membolos, nih," komentar Andini sambil lalu.
Esoknya dan hari berikutnya pun Dia tak juga datang ke sekolah. Eka sedih saat menyadari tak ada satu pun kawan sekelas, yang merasa kehilangan Dia. Hanya Shinta yang menangkap perubahan suasana hati Eka.
"Kenapa, Ka? Kamu kayak nggak semangat?"
"Iya, Shin. Dia ke mana, ya? Kok, bolos lagi?"
"Haaaa? Ngapain nyariin anak itu?" Andini yang mendengarnya berseru heran. Ia dan Shinta saling bertukar pandangan.
"Kasihan, tahu?" Eka jadi sewot. Ia bangkit dari duduk, dan merentak pergi meninggalkan Andini dan Shinta yang melongo.
**
Ini sudah hari kesebelas Dia absen dari sekolah. Eka berjalan menyusuri trotoar sepulang sekolah. Biasanya ia dijemput oleh ibunya. Namun, tadi pagi di rumah Eka sudah meminta izin akan mampir ke toko peralatan alat tulis dan kantor yang tak jauh dari sekolah. Nanti Ibu akan menjemput di sana sekira setengah jam ke depan.
Tiba-tiba Eka tertegun. Ia melihat seorang anak keluar dari angkutan umum, yang berhenti di depan sebuah gedung asrama. Spontan ia berlari dan memanggil. "Dia!"
"Tunggu, Dia!" Eka berhenti di depan Dia, napasnya terengah-engah.
Raut wajah anak perempuan tersebut tegang. Mata bulatnya menatap Eka penuh kewaspadaan. Mulutnya terkatup rapat. Eka menyadari satu hal yang mencolok: Dia memakai seragam sekolah, dan menggendong tas ransel. Ditambah ia muncul di jam pulang sekolah. Fakta ini membuatnya tercengang. Jadi selama beberapa hari ini ke mana Dia pergi?
"Dia, kamu ... Kamu please jangan bolos lagi. Please?!" sergah Eka, sambil memegang erat kedua bahu Dia.
Dia menggeliat gelisah. "A-aku mau masuk rumah, Ka," ucapnya lirih.
Eka menggeleng kuat-kuat. "Kamu janji, besok masuk sekolah lagi! Pak Guru tadi bilang, kalau kamu sampai nggak masuk lagi bisa-bisa kamu dikeluarkan dari sekolah!"
Tubuh Dia menegang. "Lepasin, Ka!" Ia berbalik dan melangkah cepat-cepat ke gerbang asrama.
"Dia! Kamu harus masuk besok! Aku tunggu kamu, ya? Aku mau kita jadi teman. Oke, ya, Dia?!" seru Eka dari balik punggung itu.
Mendadak Eka ingin menangis. Ia merasa terlambat mendekati Dia. Padahal benar kata Ibu, bahwa anak seperti Dia memerlukan teman yang benar-benar peduli.
Mata Eka terus mengikuti Dia. Di ujung jalan sana, ia melihat Dia berbalik ke arahnya. Lalu ia melihat senyum dan lambaian tangan Dia untuk pertama kalinya. Setelah itu Dia menghilang di balik pintu gedung. Namun hati Eka kini dialiri kehangatan. Mungkin masih ada harapan. (*)
Cilacap, 201225
Baca Juga
Artikel Terkait
Cerita-fiksi
Terkini
-
Dari Lumpur Pantai Baros: Mengubah Aksi Tanam Mangrove Jadi Seni dan Refleksi Diri
-
Menunda Pensiun Bukan Pilihan: 6 Alasan Pentingnya Memulai Sejak Dini
-
Pesan untuk Para Ibu di Hari Ibu: Jangan Lupa Mengapresiasi Diri Sendiri
-
Jangan Terjebak Ekspektasi, Ini Cara Sehat Mengelola Tekanan Sosial
-
Jangan Anggap Sepele! Larangan Selama Kehamilan yang Sering Diabaikan