“Hanya ini yang bisa kupersembahkan kepadamu, Re, mohon jangan dihina,” kataku pada gadis cantik, teman sekelas sejak SMP hingga SMA. Cewek yang hobi membaca dan main teater itu bernama Readah Susilowati.
Semenjak kelas VIII SMP hingga tamat SMA, Rere bukan sekadar sebagai teman, ia bahkan menjelma menjadi pemilik singgasana hatiku.
Sorot matanya yang teduh dan senyumnya yang menawan telah membuat diriku bertekuk lutut dan mengemis uluran cintanya. Lima tahun kami bersama-sama menyeberangi samudra cinta.
Belakangan banyak teman yang mengacungkan jempol akan hubungan kami. Mereka bilang aku dan Rere sepasang merpati paling awet dalam menjalin asmara.
“Barang sejelek apa pun jika kuterima dari tanganmu, itu amatlah berharga,” gumam Rere ketika menerima cincin emas dariku sebagai tanda keseriusan sekaligus kenang-kenangan.
Aku memang betul-betul serius dengan hubungan ini. Bahkan, cincin tersebut kubeli sendiri dari hasil tabunganku selama setengah tahun demi menunjukkan betapa tak terhingga sayangku kepada Rere.
Masih jelas ingatanku akan wajahnya yang menyemburatkan rasa malu. Ia agak nervous, tetapi segera kusikapi suasana dengan memasangkan cincin ke jari manis tangan kirinya.
Ya, itulah pertemuan terakhir kami di belakang gedung SMA seusai pentas seni perpisahan.
Rere memilih kuliah di kotanya karena tuntutan orang tua, sedangkan aku lebih memilih kuliah di luar kota dengan maksud sambil mencari pengalaman. Kami sama-sama berjanji akan memegang teguh hubungan kami hingga pada saatnya nanti bersanding mesra di mahligai pernikahan.
Satu tahun telah berlalu. Aku pulang dengan rasa pilu. Sekujur tubuh terasa ngilu. Hati tercabik-cabik.
Keteguhan cinta terkoyak. Janur kuning yang melengkung di gerbang rumah Rere telah sempurna membuat langkahku tertahan.
Tiba-tiba aku merasa hampa. Pandangan mata pun gelap. Saat tersadar, aku tetap merasa bahwa separuh hatiku benar-benar terampas.
“Ini undangan dari Rere. Kata Rere ada surat untukmu di dalam undangan itu. Buka saja!” kata Ibu sembari menyodorkan air putih kepadaku.
Dengan perasaan campur aduk, kukuatkan hati membuka lembaran tersebut. Sangat jelas rangkaian kalimatnya.
Aku tetap hafal, ini betul-betul tulisan tangan Rere. Barisan kalimat itu berisi permohonan maaf sebab ia telah mengkhianati ikrar cinta yang dulu dirajut bersama.
Baiklah. Untuk lebih jelasnya, tulisan itu akan kuketik di sini.
Sebetulnya aku tidak mau dijodohkan dengan Arman. Namun, apa hendak dikata bila keadaan telah bicara demikian. Satu sisi aku ingin terus setia menunggumu. Tetapi, di sisi lain aku tidak ingin menjadi anak durhaka. Aku mau membahagiakan kedua orang tuaku. Aku ingin menjadi obat dari kematian Mbak Ria. Kamu tahu, kan, kalau Mbak Ria meninggal sebab guna-guna yang katanya bersumber dari pria yang ia tolak lamarannya? Sekali lagi, maaf. Ini terpaksa. Aku harap kamu mengerti. Semoga saatnya nanti kamu akan menemukan jodoh yang lebih segalanya dariku.
Aku bergeming. Tubuhku seolah membatu. Setengah tak percaya. Di luar sadar, aku mendadak menjadi laki-laki cengeng. Bulir-bulir kristal bercucuran dari sudut mata.
Seminggu kemudian, saat rasa kehilangan dan kegalauanku nyaris sempurna lenyap, beberapa tetangga mendatangiku memberi pernyataan sekaligus kesaksian. Mereka satu suara dalam kejujuran bahwa ternyata Rere menikah secara tiba-tiba lantaran di dalam perutnya telah teronggok segumpal darah hasil hubungan gelap bersama Arman.
“Tapi, menurut cerita Rere, ia terpaksa melakukannya sebab mendapat ancaman dari bapak si Arman yang telah memberi utang kepada keluarga Rere yang ternyata tak sanggup membayar. Dan kebetulan sejak lama Arman memang menaruh hati kepada Rere. Maka, terjadilah!” tutur Mang Fauzi di ruang tamu ketika menonton pertandingan sepak bola pada suatu malam.
Banyak sumber melahirkan beraneka peristiwa. Aku tak tahu. Aku bingung.
Daripada pusing memikirkan Rere yang telah menjadi puing masa lalu, lebih baik aku terus melangkah menyongsong masa depan. Toh, dunia ini tak selebar daun kelor. Hilang satu tumbuh seribu, pikirku.
Waktu menjelang wisuda, sontak hatiku nyaris melonjak. Lagi-lagi setengah tak percaya karena tiba-tiba media massa ramai mengabarkan bahwa Rere tengah diringkus pihak berwajib tersangkut kasus penikmat uang hasil korupsi.
Lebih dari itu, mataku terbelalak di antara kalimat media cetak yang tertulis, “Demi mendapatkan uang sepuluh juta, Rere rela mengkhianati suaminya dan menjalin cinta satu malam bersama koruptor.”
Sungguh terlalu.
Aku mengelus dada sambil merenungi kasih masa lalu bersama Rere.
Baca Juga
-
4 Rekomendasi HP Murah dengan Chipset Snapdragon 820, Harga di Bawah Rp 3 Juta Performa Ngebut
-
Honor Win Series Segera Rilis, Usung Baterai 10.000 mAh dan Snapdragon 8 Elite Gen 5
-
5 Rekomendasi HP Fast Charging 45W Murah Akhir 2025, Harga Mulai Rp 1 Jutaan
-
CERPEN: Senyum Ibu Sumber Kekuatanku
-
8 Keunggulan Samsung Galaxy Tab A11+, Tablet Rp3 Jutaan untuk Keluarga dan Anak
Artikel Terkait
Cerita-fiksi
Terkini
-
Kritik MBG di Hari Libur: Saat Obsesi Serapan Anggaran Mengalahkan Realitas Sosial
-
Review Film Timur: Aksi Intens dan Cerita Emosional di Tanah Papua
-
Skandal Naturalisasi Pemain Malaysia dan Rasa Sungkan AFC yang Berimbas Setumpuk Hukuman
-
It Girl Alert! 4 Ide OOTD Jennie BLACKPINK yang Cocok Buat Daily Style
-
Ketika Laut Membentuk Cara Masyarakat Pesisir Mengelola Perasaan