Toko Kelontong “Sinar Pagi” tak pernah benar-benar sepi. Meskipun hanya toko kecil di pinggir jalan, kehadirannya seperti nadi di tengah denyut kehidupan warga sekitar.
“Bu Rosita, MPASI yang kemarin masih ada nggak, ya?” tanya Kiki, seorang ayah muda yang kini hampir setiap pekan datang.
Bu Rosita tersenyum sambil mengambilkan. “Masih, Mas. Eh, gimana bayi kecilnya? Udah bisa duduk, belum?”
“Udah, Bu. Sekarang malah mulai ngoceh, kadang panggil ‘Pa…pa’,” jawab Kiki dengan mata berbinar.
Tawa kecil mengalun di antara deretan rak berisi sabun, popok, dan camilan. Di toko itu, bukan hanya barang yang dijual. Cerita-cerita kecil ikut menyelinap, menyambung rasa antara penjual dan pembeli.
Yeni, ibu dari dua anak, masuk sambil membawa daftar di ponselnya. “Bu, saya mau beli ciki-ciki lagi. Buat dikirim ke pondok.”
“Ih, si Aisyah pasti kangen rumah, ya?” celetuk Bu Rosita.
Yeni mengangguk. “Setiap kali paket datang, dia bilang, ‘Ibu kayak kirim pelukan, deh.’”
Sementara itu, Pak Dirman, si penjual cilok, menghitung recehan. “Kaldu satu bungkus sama bubuk cabainya, ya, Bu. Cilok kemarin laku dikit, sekolah lagi pada libur.”
Dan Bu Rosita? Ia tetap di sana, menjaga toko dan doa-doa yang tanpa sadar dititipkan di balik rak-rak sederhana itu.
Bu Rosita tak banyak tanya. Ia tahu hidup kadang seberat gerobak cilok yang harus didorong di tengah terik.
Namun, yang paling membekas adalah kisah Agus.
Ia datang tergesa dengan kantong kresek kecil. Membeli beras, lalu ragu saat memilih diapers.
“Bu, ini popoknya saya balikin. Uangnya kurang….”
Bu Rosita menatap mata Agus yang berembun. “Sudah, Mas. Itu bonus buat bayinya. Nggak usah dibayar.”
Suara sederhana, tetapi membasuh seperti embun subuh.
Sinar Pagi bukan toko megah. Tidak menjual diskon besar atau hadiah undian. Namun, ia menjual sesuatu yang lebih mahal: rasa diterima, dirangkul, dan didengarkan.
Dan Bu Rosita tahu itu.
“Aku nggak perlu jadi minimarket,” katanya suatu hari. “Toko kecil ini sudah cukup. Kalau orang masih betah ngobrol di sini, berarti toko ini belum kehilangan maknanya.”
Terkadang, healing bukan tentang jalan-jalan ke tempat mahal, melainkan tentang percakapan kecil di sela-sela belanja, tentang senyum yang tulus dari orang yang benar-benar peduli.
Toko Kelontong Sinar Pagi menjadi tempat singgah yang tidak banyak ditulis orang, tetapi dirindu diam-diam.
Karena hidup tak melulu soal pencapaian besar. Terkadang, cukup dengan satu tempat kecil yang membuat kita merasa, "Aku tidak sendirian."
Baca Juga
Artikel Terkait
Cerita-fiksi
Terkini
-
4 Film Natal Klasik Era 90-an yang Tak Lekang Waktu, Wajib Masuk Watchlist!
-
Kehidupan Masyarakat Pesisir: Ruang Pertama yang Selalu Dikorbankan
-
Ulasan Buku This is How You Heal, Kumpulan Esai untuk Pulih dari Kesedihan
-
Ingin Upgrade Skill Digital? 5 Channel YouTube Ini Wajib Kamu Tonton
-
Aksi Legendaris Berlanjut, Jump Festa 2026 Umumkan Sakamoto Days Season 2