Barangkali hidup memang hanya pengulangan dari hukuman yang membosankan. Sulit sekali menjalani hari pertama di kota beraroma sup basi ini. Tidak mudah untuk terus bernapas ketika tak ada lagi yang bisa diangankan, tak ada lagi mimpi-mimpi yang bisa dikhayalkan. Rasanya seperti... seluruh diriku mati rasa.
Seratus lima puluh tahun pasca bencana dahsyat meluluhlantakkan sebagian besar isi bumi, akhirnya aku dan mungkin jutaan orang seluruh dunia, keluar dari kapsul-kapsul otomatis yang sebelumnya melindungi kami dari ancaman segudang virus mematikan dan sisa-sisa material radioaktif ledakan nuklir.
Pil panjang umur yang diberikan kepada masing-masing dari kami rupanya betul-betul terbukti bekerja dengan baik. Seratus lima puluh tahun bukan waktu yang sebentar. Entah apa saja yang sudah terlewati, kami semua tak pernah tahu dan tak ingin. Kami hanya mendambakan pulang. Walaupun ternyata, pulang pun tak betul-betul menyenangkan.
Perlahan-lahan, hari demi hari, kota yang aku tinggali mulai membuka mata kembali. Aroma tak sedap sedikit demi sedikit terusir dan senyap yang mengerikan tergantikan dengan suara-suara khas yang tidak tahu mengapa, bagiku, masih belum cukup mampu membuatku merasakan hidup.
Aku enggan bertegur sapa. Kebanyakan orang pun sama. Suara-suara hanya muncul dari mereka-mereka yang masih sangat belia. Anak-anak yang menganggap dimulainya kembali peradaban ini adalah sebuah keajaiban, sedangkan orang dewasa sepertiku, masih tersangkut pada rasa trauma. Bencana besar, kehilangan orang-orang tercinta, kehilangan diri sendiri, dan banyak lainnya yang tak sanggup jika harus dirincikan satu demi satu.
Pil panjang umur mudah ditemukan di mana-mana, atau pil penghilang rasa sakit dibagikan secara cuma-cuma. Dan bahkan percobaan untuk menciptakan pil keabadian kembali dimulai. Profesor Y yang memimpin penelitian tersebut. Semua orang di dunia ini tahu siapa dirinya. Ia juga yang terlibat dalam kekacauan bencana yang menimpa semua umat. Ia dan beberapa profesor dari seluruh dunia serta beberapa presiden negara adidaya. Satu kesalahan besar rupanya tak mampu menghentikan mereka.
Setelah ini, tampaknya percobaan di bidang senjata juga akan dilakukan lagi. Setidaknya itu desas-desus yang kudengar dari para tetangga. Mereka, para profesor itu, para pemimpin dunia itu, orang-orang jenius yang tak pernah merasa cukup.
Kupandang cukup lama surat pemberitahuan untuk segera mendatangi rumah sakit. Setiap warga harus dicek secara rutin dan ditawari untuk kembali mendapatkan pil panjang umur. Aku ragu-ragu, dan merasa tak punya tenaga walaupun hanya untuk menggerakkan kakiku beberapa langkah.
Kurebahkan diriku dan menatap kosong ke langit-langit kamar. Sejenak kemudian memejamkan mata, dan nyaris terlempar ke dalam mimpi yang panjang. Dering ponsel yang nyaring telah mengusir segenap kantuk itu. Aku mengangkatnya.
“Kami dari pusat informasi kota. Kedai Orang-orang Mati sudah selesai dibangun. Anda bisa mengunjunginya secara gratis.”
Aku terdiam sesaat. Hanya tiga kalimat dari sistem, dan keinginanku untuk tidur telah sepenuhnya lenyap, berganti dengan riuh tanda tanya di dalam kepala. Kedai Orang-orang Mati? Mengapa Profesor Y membangun tempat semacam itu? Apa saja yang ada di sana? Apakah kedai itu berisi hologram orang-orang tercinta dan kerabat terdekat para warga? Termasuk keluargaku?
Aneh sekali. Benar-benar aneh. Aku meraih tas kecil, mematut diri di depan cermin dan meyakinkan diri sekuat tenaga untuk keluar. Sinar matahari yang menyilaukan membuat mataku terkejut, otomatis menutup, sampai kemudian perlahan terbiasa dan bisa sepenuhnya melihat, memandang dunia yang sudah mulai pulih. Karena teknologi, kecerdasan para profesor? Ah, secepat ini mereka membangun kembali, dan secepat itu pula mungkin akan dihancurkan lagi.
Aku memesan mobil tanpa pengemudi. Masuk ke dalamnya, dan menekan tombol-tombol di dashboard. Setelahnya, memberi perintah agar mobil segera membawaku ke tempat tujuan: Kedai Orang-orang Mati.
Hanya beberapa menit, sudah sampai. Kecepatan kendaraan semakin lama menjadi semakin tak masuk akal, tapi nyata. Mungkin setelah ini, akan ada masa ketika manusia bisa berpindah tempat hanya dalam satu kedipan saja.
Suasana di kedai cukup ramai. Kebanyakan di antara warga yang berkunjung bermuka muram, mata mereka bengkak dan ada pula yang hampir pingsan. Lalu yang cukup mengejutkannya adalah bahwa beberapa pelayan yang merupakan robot, mengantarkan pesanan-pesanan para pengunjung. Oh, apakah makanan bisa membuat orang yang sedang berduka lantas tersenyum kembali? Atau ada tujuan lain di balik hal semacam itu?
Salah satu robot datang menghampiriku. Bertanya, apakah aku perlu sesuatu sebelum berjalan-jalan ke ruangan lain di kedai ini, tapi aku menggeleng tegas. Tidak, aku hanya ingin tahu apa saja yang ada di kedai ini. Aku hanya ingin tahu, apakah mungkin aku bisa menemui seseorang yang sangat aku rindukan? Meskipun ia sudah jauh dan melintasi dimensi ruang dan waktu yang jelas-jelas tak sama?
Tidak sulit menemukan inti dari kedai ini. Ruangan utama yang mencolok di lantai dua, begitu luas, dan di dinding-dindingnya deretan pigura dengan wajah-wajah dari para korban, menyambut penglihatanku. Aku menahan gentar, saat memandang bergantian potret demi potret mereka yang sengaja, tentu saja, diambil dan ditampilkan dalam keadaan terbaiknya: wajah-wajah yang tersenyum. Seolah itu adalah ekspresi mereka yang terakhir kali. Namun, lihatlah. Apakah aku atau yang lainnya bisa tertipu dua kali? Tiga kali? Berkali-kali? Rasanya tidak akan. Semakin melihat senyum mereka, dada akan terasa semakin nyeri.
Hampir saja aku kehilangan keseimbangan, rasa pusing menyerang tiba-tiba. Ingatan bahwa wajah adik, ayah, ibu, kerabat, sahabat, yang dalam saat-saat meregang nyawanya, tampak jauh dari kata tenang pun berkelebat. Mereka semua tenggelam dalam rasa sakit. Dan bahkan, aku masih bisa mendengar dengan jelas suara ibuku, seolah kepergiannya baru saja berlangsung kemarin.
“Nak, minta kepada Profesor untuk menyuntik mati Ibu. Minta dia untuk menghentikan penderitaan ini.”
Semua orang, selalu meminta untuk hidup, tapi pada saat itu, Ibu memilih untuk meminta mati. Dan tidak ada yang lebih menyakitkan daripada hal tersebut. Aku ingin ia hidup, tapi ia tidak. Aku, merasa tak cukup. Tak cukup jadi alasan ia untuk tetap tinggal.
“Kau baik-baik saja?”
Pertanyaan itu membuatku membenarkan posisi berdiri menjadi lebih tegap. Bagaimanapun, aku masih punya sifat asli manusia yang pada umumnya ditunjukkan di hadapan orang lain. Berpura-pura tegar.
“Tentu,” jawabku singkat, tanpa melihat wajahnya.
“Di sini, di kedai ini, kita bisa makan dan minum. Kalau kau mau, kau bisa pesan,” katanya lagi, yang membuatku tidak bisa menahan tawa. Tawa yang bukan bahagia.
“Bagaimana mungkin aku bisa makan dan minum di sini?”
Pertanyaanku bukan untuk menuntut jawaban.
“Kalau memang haus, kenapa tidak? Kalau memang lapar dan butuh tenaga, kenapa tidak?”
Aku memandangnya dengan jelas kali ini. Ia seorang lelaki, muda, berkulit gelap. Wajahnya dipenuhi bekas luka.
“Kenapa?” tanyanya, seakan tahu aku cukup terkejut.
“Aku tidak memakan pil panjang umur sejak kita semua keluar dari kapsul. Dan kemarin aku kena pukul beberapa penjahat yang mengganggu perempuan di tengah malam, di pinggiran kota. Seperti yang kau tahu, teknologi dan kemajuan ilmu pengetahuan tak akan pernah menjamin seluruh manusia bisa jadi beradab. Akan selalu ada anomali-anomali yang muncul.”
Aku mengangguk, tiba-tiba merasa menjadi lebih akrab. Ia lalu menuntunku berjalan menuju meja. Kami memesan minuman. Pada akhirnya, aku butuh minum juga.
“Aku mengunjungi kedai ini setiap hari. Makan, minum, menyaksikan wajah-wajah orang yang telah lebih dulu pergi, akibat bencana mengerikan itu. Aku juga tak pernah bosan melihat wajah-wajah tersenyum keluarga dan kerabatku yang terpampang di sini.”
Selesai menuntaskan segelas es jeruk segar dalam beberapa kali tegukan, aku merasa pikiranku menjadi lebih jernih.
“Jadi, apa besok kau akan datang lagi?” tanyaku.
Ia mengangguk. “Pasti. Setiap hari. Sampai aku tua. Sampai aku mati.”
“Kau benar-benar tidak akan minum pil panjang umur lagi?”
Ia menggeleng. “Tidak. Di dunia yang sudah jauh berubah ini, di dunia yang semakin tidak kita pahami, di dunia yang dikuasai oleh orang-orang yang merasa paling benar dan paling hebat, aku memutuskan untuk menjadi biasa. Tidak memimpikan dunia atau kehidupan abadi seperti yang didengungkan oleh para profesor kebanggaan umat manusia di seluruh penjuru semesta. Tidak. Aku akan hidup dan menjalani apa yang tersisa. Begitu.”
Percakapan kami berakhir setelah keheningan mengambil alih untuk beberapa saat. Bukan karena kami canggung, tapi karena kami hanya ingin diam saja.
Hari itu, aku pulang dengan keyakinan lain. Lalu berhari-hari kemudian, sebenarnya masih sama. Aku masih malas bangun dari tempat tidur. Aku masih tergesa-gesa mengunjungi Kedai Orang-orang Mati dan makan atau minum di sana. Namun, aku merasa memiliki kekuatan ketika melihatnya. Ia, yang juga selalu datang ke kedai, tersenyum tulus menatap wajah-wajah mereka yang telah tiada. Ia yang minum dan makan di kedai, menjalani takdir yang tersisa.
Aku juga sepenuhnya tak memiliki ketertarikan untuk minum pil panjang umur lagi. Sungguh ternyata, tidak melawan hukum alam adalah satu-satunya keinginan tertinggiku yang tidak kusangka akan hadir di sela-sela kehampaan ini.
Sesekali, aku masih menatap bagaimana kota ini berdetak. Sesekali, aku terharu menatap mereka-mereka yang masih sangat muda berlari-lari dan tertawa. Namun, jauh di lubuk hatiku, aku merindukan diriku sendiri yang telah lama tak lagi kukenali. Aku akan kembali bangun pagi nanti, nanti, nanti, dan nanti, hingga renta, hingga ambruk dan kemudian hilang. Betul-betul, aku tak ingin menjadi bagian dari pengulangan lagi.
Desember, 2025
Baca Juga
Artikel Terkait
Cerita-fiksi
Terkini
-
Gintama Angkat Arc Terbaik Yoshiwara in Flames ke Layar Lebar Februari 2026
-
Bahagia Nantikan Anak Perempuan, Al Ghazali Sempat Mimpi 'Titik Pink'
-
Disukai Penonton, Sydney Sweeney Berharap Sekuel Film The Housemaid Dibuat
-
Sinopsis Film Semua Akan Baik-Baik Saja, Drama Terbaru Garapan Baim Wong
-
Casual Goals! Intip 4 Style Minimalis ala Roh Yoon Seo Buat Daily OOTD