M. Reza Sulaiman | Srijudin Srijudin
ilustrasi Cermin Horor (Dokumentasi pribadi)
Srijudin Srijudin

Hujan rintik-rintik menyapu jalan setapak yang berlumpur saat Raka menyeret koper plastiknya yang sudah retak ke depan pintu kayu berlumut. Rumah itu berdiri sendirian di ujung gang sempit, dikelilingi pepohonan rindang yang daunnya tak pernah berhenti bergesekan—seperti bisikan yang enggan berhenti. Di atas pintu, plang kayu usang bertuliskan “KOST MIRAH” nyaris tak terbaca, termakan usia dan lumut.

Ibu Mirah membukakan pintu tanpa suara. Matanya yang cekung menatap Raka terlalu lama, seolah mengukur sesuatu yang tak kasatmata. Ia tak menawarkan senyum, hanya mengangguk pelan lalu berbalik, mengajak Raka masuk tanpa sepatah kata sambutan.

Kamar yang disewa terletak di lantai dua, paling ujung koridor sempit yang berbau lembap. Perabot sederhana: kasur tipis, meja kayu, lemari kecil, dan—yang paling mencolok—cermin besar berbingkai kayu gelap yang menempel di dinding depan pintu. Cermin itu begitu bersih, seakan baru saja dibersihkan, meski seluruh ruangan terasa tak tersentuh bertahun-tahun.

“Kamar ini murah karena jarang ada yang tahan lama,” kata Ibu Mirah tiba-tiba, suaranya parau. Ia berdiri di ambang pintu, bayangannya tak muncul di cermin—entah karena sudut pandang atau sesuatu yang lebih aneh. “Tapi, ada satu aturan.” Ia menatap Raka, matanya seolah menembus tulang. “Jangan pernah menatap cermin itu terlalu lama. Apalagi di malam hari.”

Raka tertawa kecil dalam hati. Takhayul murahan. Ia sudah terbiasa dengan omong kosong semacam itu—warung nasi yang tak boleh buka hari Selasa, kamar mandi yang tak boleh dipakai pukul tiga pagi, dan sebagainya. Namun, ia mengangguk sopan. Ia butuh tempat tinggal, bukan debat.

Malam pertama, ia baru merasakan betapa sunyinya rumah itu. Tak ada suara televisi, tak ada derit lantai dari kamar sebelah karena memang tak ada penyewa lain. Hanya suara tetesan air dari kamar mandi yang tak kunjung berhenti dan desau angin yang menyelinap lewat celah jendela.

Saat hendak tidur, Raka melepas kacamata dan berjalan ke cermin untuk memastikan wajahnya bersih. Namun, sesuatu terasa ... salah. Bayangannya menatap balik, tetapi matanya terlalu gelap, bukan hitam pekat, melainkan seperti sumur yang menelan cahaya. Ia mengedip. Bayangannya mengedip dua detik lebih lambat.

Ia mundur selangkah. Jantungnya berdebar.

“Kau lelah,” bisiknya pada diri sendiri. “Itu saja.”

Akan tetapi, sejak malam itu, cermin tak pernah benar-benar diam. Ketika ia berpaling, ia sering merasa ada yang masih menatap. Saat ia menyalakan lampu kamar di tengah malam karena mimpi buruk, ia melihat bayangannya masih berdiri di depan cermin, meski tubuhnya jelas sedang tidur.

Dan semalam ... semalam, ia terbangun karena suara napas berat. Pandangannya tertuju pada cermin. Di sana, dirinya sendiri berdiri membelakangi kaca, tetapi tubuh aslinya masih terbaring di kasur.

Bayangan itu perlahan menoleh.

Raka tak berani menjerit. Tak berani bergerak. Ia hanya menatap, terpaku, saat bayangannya tersenyum lebar—terlalu lebar hingga sudut mulutnya nyaris menyentuh telinga.

Sekarang, Raka tak pernah lagi menatap cermin. Namun, ia tahu ... cermin itu masih menatapnya.

Dan yang paling menakutkan?

Ia mulai merasa nyaman dengannya.

Baca Juga