SMA 3 dikenal sebagai sekolah favorit di pinggiran Kota T. Prestasinya panjang; dari akademik sampai Adiwiyata nasional.
Di siang hari, suasananya rindang dan menyejukkan. Pepohonan besar menaungi lorong-lorong kelas, angin berembus pelan, membuat siapa pun betah berlama-lama.
Namun, semuanya berubah ketika matahari tenggelam.
Akses menuju sekolah ini mengharuskan orang melewati rel kereta tua. Palang pintunya sederhana, sekadar kayu panjang yang dijaga seorang bapak tua dengan wajah selalu datar.
Saat senja turun, rel itu terasa seperti batas tak kasatmata. Bukan sekadar penghubung jalan, tapi semacam gerbang.
Rel itu punya sejarah. Panjang. Kelam. Korban sudah ada sejak lama.
Urban legend-nya beredar dari mulut ke mulut, menyaingi cerita horor lokal lain di kota itu. Suara kereta yang lewat setiap hari kadang terasa biasa, tapi di waktu tertentu, bunyinya seperti peringatan.
Jahid, siswa kelas 11, merasakannya sendiri.
Sore itu ia pulang magrib usai latihan teater. Ketika melangkah keluar gerbang, langit sudah berubah jingga tua, nyaris cokelat.
Ia berdiri di pinggir jalan menunggu angkot. Tak ada satu pun lewat. Jalanan lengang. Pohon-pohon besar di sisi jalan berdesir pelan, seolah berbisik.
Perasaan tak nyaman merayap perlahan.
Lalu terdengar suara, halus tapi jelas, tepat di dekat telinganya.
“Hussshh…”
Jahid menoleh cepat. Kosong. Dadanya mengencang.
Beberapa detik kemudian, suara itu datang lagi. Kali ini lebih dekat. Lebih jelas. Dengan logat Sunda yang akrab.
“Jang, nuju naon?” (Dek, sedang apa)
Saat ia menoleh ke arah rel, tubuhnya mendadak lemas. Di balik palang, melayang sepotong tangan.
Tak lama kemudian, sebuah kepala menyusul, tanpa tubuh. Mata melotot. Lidah menjulur panjang. Bibirnya menyeringai, seolah mengenali Jahid.
Ia tak sempat berteriak keras. Dunia langsung menggelap.
Warga menemukannya tergeletak tak lama kemudian. Menggigil. Tatapannya kosong.
Selama dua hari, Jahid tak bisa bicara sepatah kata pun. Cerita itu membuka kembali luka lama yang tak pernah benar-benar sembuh: tragedi santri dan mobil carry.
Awal 2000-an, satu keluarga dari luar kota hendak menjemput anaknya di pesantren belakang SMA 3. Karena tak hafal jalan, mereka nekat melewati rel. Mobil tiba-tiba mati tepat di tengah lintasan. Panik. Mesin tak mau hidup. Kereta datang. Tak ada waktu.
Katanya, video evakuasinya sempat beredar terbatas. Mereka yang menonton menyebutnya membuat perut mual dan tidur tak nyenyak berhari-hari.
Ada pula kisah lain. Seorang sopir angkot mengaku pernah menaikkan satu keluarga menjelang magrib dari dekat rel itu. Wajah mereka pucat. Diam sepanjang jalan. Sampai diminta turun di Bebedilan.
Saat sopir menoleh ke belakang… bangku kosong.
Uang ongkos berubah menjadi daun kering.
Sopir itu pingsan. Setelah sadar, ia berhenti narik. Trauma. Katanya, mereka masih sering datang dalam mimpi.
Sejak itu, siswa SMA 3 selalu diingatkan untuk tidak pulang terlalu sore. Apalagi sendirian. Rel itu bukan sekadar lintasan besi.
Ia menyimpan luka.
Dan mungkin… masih menunggu.
Catatan: Nama tempat sengaja disamarkan untuk menghindari ketersinggungan atau dampak yang tidak diinginkan.
Baca Juga
-
Mengenal Efek Barnum, Alasan Seseorang Memercayai Ramalan Zodiak
-
5 Cara Menghilangkan Pikiran Negatif agar Hidup Jadi Lebih Tentram
-
Tidak akan Sembuh Sendiri, Ini 5 Cara Menyembuhkan Luka Batin
-
Filosofi Jiraiya: Memaknai Kegagalan Dalam Hidup dari Salah Satu Karakter 'Naruto'
-
Kenali Call of The Void, Rasa Tiba-tiba Ingin Mencelakai Diri
Artikel Terkait
Cerita-misteri
Terkini
-
5 Scrub Alami yang Bisa Kamu Dapatkan dari Dapur Rumah, Murah Meriah!
-
4 Inspirasi OOTD Kai EXO untuk Gaya Sehari-hari yang Simpel dan Fleksibel
-
Jejak Ketangguhan di Pesisir dan Resiliensi yang Tak Pernah Padam
-
Kawasan Mangrove Baros: Jejak Kepedulian Warga akan Konservasi Lingkungan
-
Trailer Film The Sheep Detectives: Kisah Domba Mengungkap Kasus Pembunuhan