Bimo Aria Fundrika | Eki Rofiq Almujahid
Ilustrasi Kolam Tua Ciharendong. Sumber : Gemini AI
Eki Rofiq Almujahid

(Kesaksian Warga Sebuah Kampung di Jawa Barat, Direkam 2018)

“Balong itu sudah ditutup. Tapi yang di dalamnya… belum pernah pergi.”

Nama saya Ujang. Warga asli sebuah kampung di wilayah Jawa Barat. Di kampung kami, ada satu tempat yang sejak kecil dilarang keras dimasuki, yaitu sebuah balong tua yang oleh warga disebut Balong Tumaritis.

Dulu tempat itu adalah kolam besar peninggalan zaman kolonial. Airnya hitam kehijauan. Dikelilingi bangunan pemandian tua yang sekarang tinggal tembok berlumut.

Orang tua kami bilang, balong itu dulu tempat “ngaleupaskeun” (melepaskan) sesuatu. Bukan sekadar mandi.

Tahun 2018, saya dan dua teman nekat masuk. Siang hari. Kami pikir cerita itu cuma dongeng.

Begitu melangkah ke area balong, udara langsung berat. Bau amis bercampur daun busuk. Tidak ada suara burung. Tidak ada serangga.

“Jang, denger gak?” bisik teman saya.

“Denger naon?”(Dengar apa?)

Cai na… kaya nu ngagolak.”(Airnya kayak lagi mendidih)

Air balong itu tidak bergerak, tapi suaranya seperti mendidih pelan.

Kami masuk ke bangunan pemandian. Di dinding ada tulisan aksara Sunda lama. Beberapa masih jelas. Tapi yang bikin saya merinding, ada bekas telapak tangan kecil di tembok.

Seperti tangan anak. Banyak. Menumpuk.

Tiba-tiba terdengar suara perempuan menyinden. Lirih. Sedih.

Balik atuh…”(Pulanglah)

Balik… geus magrib…”(Pulang, sudah magrib)

Padahal masih jam dua siang.

Teman saya, Raka, mendekat ke tepi balong.

“Airnya bening, Jang,” katanya.

Saya lihat. Airnya bukan bening. Tapi wajah Raka memantul di sana… tanpa mata.

Saya teriak. Raka jatuh ke balong.

Kami berdua berusaha menariknya. Tapi tubuhnya berat sekali. Seperti dipegang dari bawah.

Dari permukaan air, muncul tangan-tangan kecil. Putih. Menggenggam kaki Raka. Diikuti wajah-wajah anak pucat, rambutnya menempel di kepala.

Mereka tidak menjerit. Mereka menarik sambil tersenyum.

Saya baca Al-Fatihah sekuat-kuatnya. Air balong bergolak. Tangan-tangan itu menghilang. Raka terlempar ke pinggir, batuk air hitam.

Kami lari. Tidak menoleh.

Sejak hari itu, Raka sering bicara sendiri. Tengah malam, dia mandi sambil nyinden. Kadang bahasanya Sunda halus, bukan bahasa yang pernah dia pakai.

Tiga bulan kemudian, Raka meninggal. Tenggelam di sungai kecil. Padahal airnya cuma setinggi lutut.

Sesepuh kampung bilang,

“Balong Tumaritis itu tempat nitip. Anak-anak yang dibuang. Janin yang tidak dikubur. Mereka dikunci air.”

Dan kalau ada yang masuk tanpa izin, mereka mengira itu gantinya.

Sekarang balong itu ditutup seng dan bambu. Tapi setiap malam Jumat, airnya naik sendiri. Membanjiri halaman.

Warga sering dengar suara anak tertawa.

Dan sinden perempuan memanggil pelan:

Uih… uih… turun atuh…”(Pulang yuk, yuk turun)

“Kalau nemu tempat kosong tapi hawa-na rame,

Jangan sok berani.

Baca doa, terus balik.

"Karena di Sunda, yang ditinggal manusia… sering dipelihara yang lain.”

Itulah nasihat yang disampaikan sesepuh kampung.