Scroll untuk membaca artikel
Munirah | Mohammad
Ilustrasi Hati. (Pixabay)

Kehidupan terdiri dari banyak unsur. Tawa, air mata, gembira, penyesalan, tersungkur, beruntung, kecewa, setiap orang pasti akan atau pernah mengalaminya. Tak terkecuali dengan sakit hati.

Sakit hati merupakan hal yang lumrah, justru ketika ada orang yang tak bisa merasa sakit hati, jangan-jangan itu indikasi bahwa dia tak memiliki hati. Masalahnya, saat ini bila ada orang yang merasa sakit hati, sering kali ia justru dicap sebagai pribadi yang ‘baperan’.

Era yang lumayan rumit memang. Apapun yang kita lakukan, selalu saja salah di mata orang lain. Terlepas dari itu, kata ‘baperan’ membuat orang enggan untuk curhat tentang apa yang ia rasakan terutama pasal sakit hati, akibatnya mereka menyembunyikan kepedihan, menutupnya rapat-rapat agar dunia luar tak ada yang tahu. Semua itu akan bermuara pada satu hal, “depresi”.

Dampak dari depresi bisa sangat fatal, tak bisa dipandang sebelah mata. Ia bisa membuat orang tak lagi punya kemauan untuk menghembuskan napas, ujung-ujungnya adalah mengakhiri hidup. Sakit hati yang berujung pada maut, sangat tak adil.

Pertanyaannya, siapakah yang patut disalahkan atas semua ini? Apakah orang yang sakit hati? Atau orang yang menyakiti? Atau orang yang memberi cap ‘baperan’ pada orang yang sedang sakit hati?

Alih-alih menghabiskan waktu untuk mencari kambing hitam, akan lebih baik bila kita mencari solusi dari permasalahan termaktub. Setiap orang memang punya cara masing-masing untuk mengobati luka hatinya.

Sayangnya, tak semua cara yang mereka miliki itu positif. Oleh karena itulah, perlu adanya alternatif lain yang mudah dilakukan oleh semua orang, supaya cara negatif dalam mengobati luka hati bisa dikurangi atau bahkan dihilangkan sama sekali. Alternatif tersebut adalah “menulis”.

Sekilas memang tampak remeh, tapi tunggu dulu! Dilansir dari laman alodokter.com, menulis ternyata memiliki banyak manfaat untuk kesehatan. Salah satunya adalah menulis bisa meredakan stres.

Bila kita meluapkan emosi negatif (seperti sedih, marah, atau kecewa) dengan cara menuliskannya, kita akan merasa lebih tenang. Dengan demikian, pikiran kita akan terhindar dari kecemasan dan stres yang berlebihan, bunuh diri pun bisa terhindarkan.

Sama halnya ketika kita patah hati. Daripada mencari pelarian melalui obat-obatan terlarang, lebih baik menuangkannya dalam tulisan. Menulis adalah hal yang cenderung mudah dilakukan oleh setiap orang.

Media dan peralatannya pun tak sulit didapatkan. Kita bisa memilih mana yang kita suka. Menulis di buku, HP, laptop, atau yang lainnya itu terserah kita. Lantas, bila demikian, mengapa kita masih saja mempersulit diri untuk mengobati luka hati?

Saat ini, memiliki teman curhat yang benar-benar teman curhat adalah sesuatu yang sulit. Menulis bisa menjadi penggantinya. Apalagi saat patah hati, menulis bisa sangat mudah dilakukan dan hasilnya pun cukup bagus.

Penyebabnya adalah kata-kata yang hendak dituliskan (sebagai wujud luapan perasaan) itu mengalir dengan sendirinya, dan maknanya pun cukup dalam. Ini merupakan satu hal yang cukup bagus. “Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui”. Sekali menulis, luka hati terobati, memiliki karya dengan kualitas tinggi, terhindar dari depresi dan bunuh diri.

Terakhir, kami hanya ingin menyampaikan, tak perlu takut dikatakan “tak gagah” saat mengobati hati dengan cara menulis. Teruslah menulis, akan ada banyak manfaat yang engkau dapat.

Bukan hanya yang telah disebutkan di atas, tapi juga manfaat-manfaat lain dari menulis yang belum kita ketahui sebelumnya. Bahkan tak menutup kemungkinan, dengan kita terus menuliswalau awalnya berangkat dari patah hatikita bisa menjadi inspirasi bagi banyak orang nanti.

Mohammad