Tren penggunaan vape di kalangan anak muda semakin mengkhawatirkan. Perangkat yang awalnya dianggap sebagai alternatif yang lebih sehat untuk berhenti merokok kini justru menjadi gaya hidup baru bagi remaja.
Kemudahan akses, berbagai macam rasa, dan desain yang menarik membuat vape semakin populer di kalangan anak muda, meski risiko kesehatan yang ditimbulkannya tidak dapat dianggap remeh.
Vape muncul dari eksperimen-eksperimen sederhana pada awal abad ke-20. Tokoh seperti Joseph Robinson dan Herbert A. Gilbert telah meletakkan dasar konsep vape dengan mengajukan paten untuk perangkat penghasil uap nikotin.
Namun, baru pada awal tahun 2000-an, vape benar-benar populer berkat inovasi Hon Lik yang berhasil mengomersialkan perangkat ini.
Hon Lik dianggap sebagai "ayah dari rokok elektrik modern" karena berhasil menciptakan perangkat vape yang praktis dan mudah digunakan.
Berkat kontribusi mereka, vape berkembang pesat dari sekadar ide menjadi sebuah industri yang besar dan kompleks dengan berbagai macam produk dan fitur.
Vape, atau rokok elektrik, sering dianggap sebagai alternatif yang lebih aman dari rokok konvensional. Vape adalah perangkat elektronik yang dirancang untuk menghantarkan nikotin dan rasa tanpa pembakaran tembakau seperti rokok konvensional.
Vape bekerja dengan cara memanaskan cairan khusus (e-liquid) yang mengandung nikotin, perasa, dan bahan kimia lainnya hingga menghasilkan uap yang kemudian dihirup pengguna. Meskipun tidak mengandung tar seperti rokok biasa, vape tetap membawa risiko serius bagi kesehatan.
Salah satu bahaya utama vape adalah kandungan nikotinnya. Nikotin adalah zat adiktif yang sangat kuat dan dapat menyebabkan kecanduan. Informasi mengenai kandungan nikotin biasanya tertera pada label kemasan produk.
Namun, bahkan jika label menyatakan "tanpa nikotin", tidak ada jaminan mutlak bahwa produk tersebut benar-benar bebas nikotin. Banyak kasus telah ditemukan produk vape yang diklaim bebas nikotin ternyata mengandung nikotin dalam kadar tertentu.
Kecanduan nikotin pada remaja sendiri dapat mengganggu perkembangan otak, memengaruhi konsentrasi, memori, dan perilaku.
Selain itu, menurut American Heart Association, nikotin juga dapat meningkatkan tekanan darah dan detak jantung, yang pada jangka panjang dapat memicu penyakit jantung.
Studi yang diterbitkan dalam New England Journal of Medicine menyebutkan bahwa uap yang dihasilkan vape mengandung berbagai zat kimia berbahaya lainnya, seperti logam berat, partikel ultrafine, dan senyawa organik volatil.
Zat-zat ini dapat mengiritasi paru-paru, menyebabkan peradangan, dan meningkatkan risiko penyakit paru-paru kronis seperti bronkitis dan emfisema. Beberapa penelitian juga menunjukkan hubungan antara vaping dengan peningkatan risiko kanker paru-paru.
Studi menunjukkan bahwa remaja yang mulai menggunakan vape memiliki risiko lebih tinggi untuk kecanduan nikotin dan beralih ke rokok konvensional. Otak remaja masih dalam tahap perkembangan, sehingga lebih rentan terhadap efek adiktif nikotin.
Selain itu, banyak produk vape yang dirancang dengan rasa manis dan aroma menarik, yang membuat vape semakin menarik bagi remaja. Persepsi yang salah bahwa vape lebih aman dibandingkan rokok konvensional juga mendorong remaja untuk mencoba vape.
Padahal, vape mengandung berbagai zat kimia berbahaya yang dapat merusak paru-paru, jantung, dan otak. Pengaruh teman sebaya juga menjadi faktor penting, remaja cenderung meniru perilaku teman-temannya, termasuk kebiasaan merokok atau vaping.
Akibatnya, penggunaan vape di kalangan remaja dapat memicu masalah kesehatan jangka panjang dan meningkatkan risiko kematian dini.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan upaya bersama dari berbagai pihak, termasuk keluarga, sekolah, dan pemerintah, untuk memberikan edukasi yang benar tentang bahaya vape dan mendukung remaja untuk hidup sehat.
Vape bukanlah solusi yang aman untuk berhenti merokok. Meskipun lebih sedikit mengandung zat berbahaya dibandingkan rokok konvensional, vape tetap membawa risiko kesehatan yang signifikan.
Jika Anda ingin berhenti merokok, sebaiknya konsultasikan dengan dokter untuk mendapatkan bantuan yang tepat.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Mapel Coding dan AI untuk SD, Kebijakan FOMO atau Kebutuhan Pendidikan?
-
Imabsi Gelar Kelas Karya Batrasia ke-6, Bahas Repetisi dalam Puisi
-
Magang untuk Cari Pengalaman, tapi Dituntut Punya Pengalaman?
-
Jejak Kolonialisme dalam Tindakan Penjarahan: Jajah Bangsa Sendiri?
-
Adakan PTKO II, Imabsi FKIP Unila Bekali Anggota agar Paham Renstra dan LPJ
Artikel Terkait
-
Tips Minum Air Putih yang Efektif untuk Kesehatan
-
Oleh-oleh dari Kunjungan Prabowo ke Amerika Serikat, Dapat Suntik Dana Jumbo Rp17,5 Triliun untuk Kesehatan Indonesia
-
Tampil Percaya Diri Tanpa Risiko: Ini Panduan Memilih Klinik Kecantikan Terpercaya
-
Soobin TXT Tulis Surat untuk Fans Usai Dilaporkan Hiatus Demi Kesehatan
-
Berikan Pelayanan Optimal, Klinik Gigi Keluarga Damessa Kini Hadir di Kemang Jakarta Selatan
Health
-
Suka Konsumsi Kulit Buah Kopi? Ini 3 Manfaat yang Terkandung di Dalamnya
-
Sehat ala Cinta Laura, 5 Tips Mudah yang Bisa Kamu Tiru!
-
4 Minuman Pengahangat Tubuh di Musim Hujan, Ada yang Jadi Warisan Budaya!
-
6 Penyakit yang Sering Muncul saat Musim Hujan, Salah Satunya Influenza!
-
Viral di Tiktok Program Diet dengan Kopi Americano, Apakah Aman Bagi Tubuh?
Terkini
-
Meski Akui Kualitas Persija, Paul Munster Tak Beri Motivasi untuk Persebaya
-
Shin Ye Eun dan Rowoon Bintangi Drama Saeguk Disney, 'The Murky Stream'
-
Intip Harga Tiket Konser Buzz NIKI di Jakarta 2025, Mulai Rp850 Ribu
-
Ulasan Novel Quatre Karya Venita Beauty: Memilih Antara Mimpi Atau Realita
-
Maarten Paes Sebut Laga Kontra China dan Bahrain Sangat Penting, Mengapa?