Hayuning Ratri Hapsari | Thedora Telaubun
Ilustrasi perempuan menopause (Freepik)
Thedora Telaubun

Menopause sering dibicarakan dengan nada pelan, bahkan canggung. Ia dianggap urusan nanti, fase yang jauh dari kehidupan anak muda. 

Padahal, apa yang terjadi pada tubuh perempuan di fase ini bukan hanya soal usia, tapi juga soal bagaimana lingkungan, keluarga, tempat kerja, dan masyarakat, belajar untuk lebih peka.

Belakangan, isu menopause kembali mencuat setelah muncul pembahasan soal kaitannya dengan risiko demensia. 

Menurut dr. Febby Astari, IFMCP, spesialis fertilitas dari Bethsaida Hospital, estrogen bukan sekadar hormon reproduksi, tapi juga pelindung saraf otak. Itulah sebabnya saat kadar estrogen turun, metabolisme otak akan melambat dan kinerjanya jadi kurang maksimal.

“Penurunan estrogen dapat memengaruhi fungsi kognitif. Keluhan seperti mudah lupa, sulit fokus, hingga brain fog sering muncul pada fase peri dan pascamenopause. Jika tidak ditangani dengan baik, kondisi ini bisa berkembang menjadi gangguan kognitif yang lebih serius,” jelas dr. Febby, dikutip dari Suara.com pada Selasa (16/12/2025). 

Menurut dr. Nahum, Sp.KO dari Seraphim Medical Center, olahraga sangat penting untuk menjaga kesehatan otak perempuan saat masa menopause.

“Gaya hidup aktif dan olahraga terstruktur membantu meningkatkan aliran darah ke otak, memperbaiki metabolisme, dan mendukung neuroplastisitas otak. Semua ini penting untuk menjaga fungsi kognitif seiring bertambahnya usia,” ujar dr. Nahum.

Lebih dari Sekadar Risiko Kesehatan

Ilustrasi perempuan menopause (Freepik)

Informasi ini penting, tapi lebih dari itu, ada pertanyaan yang jarang dibahas, yakni bagaimana perempuan yang mengalaminya diperlakukan?

Menopause bukan penyakit. Ia adalah transisi biologis yang alami. Namun, dalam praktik sehari-hari, perempuan menopause kerap dihadapkan pada tuntutan untuk tetap normal. 

Emosi yang naik turun dianggap berlebihan. Lupa sedikit dicap ceroboh. Lelah fisik sering kali tidak diberi jeda. Semua itu terjadi di saat tubuh sedang beradaptasi besar-besaran.

Bagi Gen Z, isu ini mungkin terasa belum dekat. Tapi justru di sinilah relevansinya. Kita hidup di tengah keluarga lintas generasi ibu, tante, nenek yang mungkin sedang atau akan melalui fase ini. 

Cara kita memahami menopause hari ini akan menentukan seberapa suportif lingkungan yang kita ciptakan nanti. Menopause bukan hanya cerita individu, tapi juga urusan relasi sosial.

Selain itu, Gen Z dikenal vokal soal kesehatan mental dan well-being. Menopause seharusnya masuk dalam percakapan itu. 

Perubahan hormon yang berdampak pada suasana hati dan daya ingat bukan hal sepele, apalagi jika diabaikan atau ditertawakan. 

Ketika risiko kesehatan baru dibicarakan saat sudah parah, itu menandakan ada celah besar dalam edukasi dan empati.

Menjadikan menopause sebagai topik terbuka bukan berarti menakut-nakuti. Justru sebaliknya, ini tentang menormalisasi transisi hidup. 

Sama seperti pubertas yang kini lebih banyak dibahas secara terbuka, menopause juga layak mendapat ruang yang sama, tanpa stigma dan tanpa penghakiman.

Menopause bukan akhir dari produktivitas, peran, atau makna hidup perempuan. Ia adalah fase perubahan yang membutuhkan pemahaman dan dukungan. 

Bukan hanya dari tenaga medis, tapi juga dari orang-orang terdekat. Jika hari ini kita bisa belajar untuk lebih peka, maka di masa depan, tidak ada lagi perempuan yang menjalani fase ini dalam sunyi.