Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Alfino Hatta
Ilustrasi Pertumbuhan Anak. (unsplash.com/@abidin_z)

Stunting, atau kekerdilan, sering dianggap sebagai takdir yang diwariskan leluhur. Mitos ini terus mengakar dalam masyarakat, terutama di daerah pedesaan Indonesia. Padahal, data dari World Health Organization (WHO, 2023) menunjukkan bahwa 22% anak di bawah lima tahun di Indonesia mengalami stunting, dengan penyebab utamanya adalah kurang gizi kronis dan buruknya sanitasi.

Faktor genetik hanya berkontribusi sekitar 20%, sementara 80% sisanya dipengaruhi oleh lingkungan dan perilaku (Kementerian Kesehatan RI, 2022). Artinya, stunting bukan takdir—ia adalah masalah yang bisa dicegah dengan intervensi tepat.

Akar Masalah Stunting: Dari Pola Asuh hingga Krisis Sanitasi

1. Pola Asuh yang Tidak Berbasis Sains

  • Banyak orang tua masih mengandalkan kebiasaan turun-temurun dalam memberi makan anak. Contohnya:
    Mengutamakan kuantitas daripada kualitas: Nasi putih dan mie instan dianggap cukup mengenyangkan, padahal minim protein, vitamin, dan mineral.
  • MPASI yang tidak tepat: Di beberapa daerah, anak usia 6 bulan diberi bubur nasi tanpa lauk, buah, atau sayur, yang berakibat pada defisiensi zat besi dan zinc (UNICEF, 2021).
  • Kurangnya edukasi tentang ASI eksklusif: Hanya 35% bayi di Indonesia yang mendapat ASI eksklusif selama 6 bulan (Riskesdas, 2018), padahal ASI adalah fondasi kekebalan dan pertumbuhan otak.

2. Sanitasi Buruk: Biang Kerok Tersembunyi

  • Sanitasi yang buruk menciptakan siklus penyakit yang menguras energi anak. Data WHO menunjukkan bahwa 50% kasus stunting di dunia terkait dengan infeksi berulang akibat air tercemar dan kebiasaan higienis yang buruk. Di Indonesia, 25% penduduk masih buang air besar sembarangan (BABS), dan 40% sekolah tidak memiliki toilet layak (BPS, 2022). Akibatnya: Diare kronis: Anak-anak terpapar bakteri E. coli atau parasit Giardia melalui air minum atau makanan terkontaminasi.
  • Cacingan: Infeksi cacing seperti Ascaris lumbricoides mengganggu penyerapan nutrisi di usus.

3. Air Bersih: Masalah Struktural yang Dibiarkan

Akses air bersih masih menjadi privilese di banyak wilayah. Di Nusa Tenggara Timur, misalnya, hanya 30% rumah tangga yang memiliki akses air minum aman (Bappenas, 2021). Air sungai atau sumur tercemar arsenik dan bakteri sering dijadikan sumber minum, memicu radang usus kronis (environmental enteropathy) yang menghambat pertumbuhan.

4. Perilaku Apatis: “Dulu Juga Begini, Kok Sehat!”

  • Masyarakat sering menolak perubahan karena kebiasaan lama dianggap "sudah terbukti". Contoh:
    Mencuci tangan dianggap tidak penting: Hanya 20% rumah tangga di Indonesia memiliki sabun dan air mengalir di toilet (UNICEF, 2020).
  • Stigma terhadap makanan bergizi: Sayur dan buah dianggap "makanan orang kota", sementara makanan tinggi gula-garam lemak (junk food) dianggap modern.

Dampak Stunting: Lebih dari Sekadar Tubuh Pendek

Stunting adalah bom waktu bagi individu dan negara. Dampaknya meliputi:

1. Gangguan Kognitif:

Anak stunting memiliki IQ rata-rata 10-15 poin lebih rendah (The Lancet, 2021). Di sekolah, mereka kesulitan memahami pelajaran dan cenderung putus sekolah.

2. Risiko Penyakit Kronis:

Stunting meningkatkan risiko diabetes, hipertensi, dan obesitas di usia dewasa akibat metabolisme terganggu (WHO, 2022).

3. Kerugian Ekonomi:

Bank Dunia (2023) memperkirakan stunting menyebabkan kerugian ekonomi sebesar 2-3% dari PDB Indonesia per tahun karena produktivitas rendah.

Solusi Multisektoral: Dari Keluarga hingga Kebijakan Negara

1. Edukasi Berbasis Komunitas

  • Program seperti Posyandu dan Kader PKK perlu diperkuat untuk:
    Mengajarkan resep MPASI murah meriah (contoh: bubur campur tempe, telur, dan pepaya).
  • Melatih orang tua membuat taman obat keluarga (TOGA) untuk memenuhi kebutuhan vitamin.

2. Revolusi Sanitasi Total

  • Program STBM (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat): Mengajak warga membangun toilet sehat dan menghentikan BABS.
  • Teknologi Air Bersih: Memperluas distribusi water filter berbasis arang aktif atau sistem penjernihan air sederhana.

3. Intervensi Pemerintah yang Terintegrasi

  • Bantuan Pangan: Subsidi beras fortifikasi, telur, dan susu untuk keluarga miskin.
  • Infrastruktur Kesehatan: Membangun Puskesmas dengan layanan deteksi dini stunting menggunakan alat mid-upper arm circumference (MUAC).

4. Kolaborasi dengan Swasta dan NGO

  • CSR Perusahaan: Program corporate social responsibility untuk membangun sumur bor atau fasilitas MCK umum.
  • Kampanye Media Sosial: Menggunakan influencer lokal untuk menyebarkan pesan tentang pola makan sehat dan sanitasi.

Stunting bukan konspirasi dunia, melainkan akibat dari ketidaktahuan dan ketidakpedulian yang dibiarkan bertahun-tahun. Dengan kombinasi edukasi, infrastruktur, dan kebijakan yang tepat, Indonesia bisa menurunkan angka stunting hingga 14% pada 2024, sesuai target RPJMN.

Mari berhenti menyalahkan takdir. Generasi sehat adalah investasi terbaik untuk masa depan bangsa.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Alfino Hatta