Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Djoko ST
Ilustrasi sumber makanan nabati. (Pixabay/congerdesign)

Di tengah krisis iklim global sekarang ini, beragam solusi ditawarkan. Mulai dari transisi energi hingga upaya penghijauan masif. Tapi, ada satu pendekatan yang kerap terlewat, yakni yang terkait dengan sajian menu makanan di piring makan kita.

Pola makan berbasis nabati alias veganisme ternyata kini tidak lagi sekadar pilihan gaya hidup personal. Ia sesungguhnya menjadi bagian penting dalam ikhtiar penyelamatan Bumi.

Menurut hasil riset yang dipublikasikan di Nature Food (2023), transisi ke pola makan sehat dan nabati bisa memangkas emisi gas rumah kaca global hingga 8,3 persen. Angka ini tidak kecil jika dibandingkan dengan upaya teknologi lain yang lebih mahal.

Mengapa makanan berpengaruh kondisi terhadap Bumi?

Menurut Organisasi Makanan dan Pertanian Dunia (FAO), industri peternakan menyumbang sekitar 14,5 persen emisi gas rumah kaca global. Ini lebih besar daripada seluruh sektor transportasi gabungan -- termasuk mobil, kapal, dan pesawat terbang.

Penyebab emisi gas rumah kaca dari industri peternakan bukan cuma kentut sapi. Melainkan juga deforestasi untuk lahan pakan, penggunaan air yang masif, dan emisi metana dari pencernaan hewan ternak.

Terkait penggunaan air, misalnya,  rata-rata, dibutuhkan sekitar 15.000 liter air untuk menghasilkan satu kilogram daging sapi. Bandingkan dengan 287 liter untuk memproduksi satu kilogram kentang.

Dari segi efisiensi energi pun, pola makan hewani jauh lebih boros. Butuh banyak tanaman untuk memberi makan hewan. Lalu, hewan ternak itu dimakan manusia. 

Maka, mempertimbangkan hal-hal tersebut, tak heran bila banyak peneliti mulai menyarankan pergeseran ke pola makan nabati sebagai strategi mitigasi iklim yang murah dan efektif.

Sebagian pakar berpandangan bahwa tanpa perubahan pola makan global, target iklim Paris nyaris mustahil dicapai.

Meskipun demikian, perubahan pola makan tentu bukan hal mudah. Apalagi di kalangan masyarakat yang sejak kecil diajarkan bahwa protein utama harus dari daging.

Di sinilah pentingnya edukasi dan pendekatan berbasis data. Banyak orang belum tahu bahwa protein dari kacang-kacangan, tempe, tahu, quinoa, dan lentil tidak kalah berkualitas, bahkan seringkali lebih sehat.

Di sisi lain, pola makan vegan juga terbukti menurunkan risiko penyakit jantung, diabetes tipe 2, dan beberapa jenis kanker. Artinya, selain ikut menyelamatkan Bumi, kita juga menyelamatkan diri sendiri.

Namun, tentu saja tak semua orang bisa atau mau langsung menjadi vegan total. Karenanya, pendekatan flexitarian -- mengurangi konsumsi daging secara bertahap -- bisa jadi solusi yang lebih realistis.

Beberapa kota di sejumlah negara, seperti Amsterdam dan New York, misalnya, mulai mendorong program meatless Monday, serta menyediakan lebih banyak opsi nabati di kantin sekolah dan rumah sakit.

Indonesia punya potensi kuat

Negara kita sebenarnya punya potensi kuat untuk mengembangkan pola makan nabati. Banyak masakan tradisional kita seperti sayur lodeh, pecel, sayur asem, dan urap secara alami sudah vegan.

Ditambah dengan bahan lokal kaya nutrisi seperti tempe dan tahu, yang justru kini jadi bahan makanan populer di kalangan vegan internasional.

Tantangannya ada pada narasi dan persepsi. Vegan sering dicap mahal, ‘Barat banget’, atau tidak mengenyangkan. Padahal, jika dilakukan dengan cerdas, pola makan ini bisa sangat terjangkau dan memuaskan.

Yang dibutuhkan adalah perubahan cara pandang dan pola pikir. Makanan bukan hanya soal rasa, tapi juga dampaknya bagi dunia yang kita tinggali.

Kita memang tidak harus menyelamatkan Bumi sendirian. Meski begitu, kita bisa mulai dari yang sederhana yang bisa kita lakukan sendiri, yakni dari apa yang kita pilih sebagai makanan sehari-hari.

Perubahan besar dimulai dari pilihan-pilihan kecil yang kita buat secara konsisten. Seperti mengganti ayam goreng dengan tahu bacem, atau susu sapi dengan susu kedelai -- menyebut sedikit contoh.

Dan ketika jutaan orang melakukan hal yang sama, dampaknya pasti bisa sangat besar. Bayangkan jika setengah populasi dunia mengurangi konsumsi daging separuhnya saja.

Bumi kita mungkin belum butuh semua orang menjadi vegan. Tapi, ia jelas butuh lebih banyak orang berpikir soal apa yang mereka makan. Karena di balik menu makanan yang kita suapkan ke mulut kita, bisa jadi ada nasib masa depan Bumi yang sedang dipertaruhkan.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Djoko ST