M. Reza Sulaiman
Ilustrasi rokok elektrik alias vape. (Dok. Suara.com)

Asap tebal beraroma mangga, stroberi, atau bahkan kopi susu kini jadi pemandangan biasa di kafe-kafe kekinian. Vape, dengan segala pesonanya, berhasil merebut hati banyak anak muda.

Katanya, ini adalah alternatif yang "lebih aman" dari rokok. Katanya, ini adalah cara untuk berhenti merokok. Tapi, benarkah begitu?

Baru-baru ini, Ruang Kebijakan Kesehatan Indonesia (RUKKI) meluncurkan sebuah laporan yang menyoroti bagaimana industri tembakau, termasuk produk turunannya seperti vape, masih sangat aktif memengaruhi kebijakan kesehatan di Indonesia. Salah satu strategi andalan mereka adalah narasi “harm reduction” atau "mengurangi bahaya". Vape sering dipromosikan sebagai produk yang lebih baik, padahal esensinya tetap sama: nikotin.

Niatnya Berhenti, Malah Jadi 'Double Smoker'

Banyak pengguna vape yang awalnya berpikir mereka sedang beralih ke pilihan yang lebih baik. Tapi faktanya, banyak yang akhirnya malah terjebak menjadi “double smoker”, yaitu tetap merokok sambil nge-vape. Yang tadinya niat berhenti, malah jadi punya dua ketergantungan baru.

“Ketika kita menjadi vape smoker, besar kemungkinan kita akan menjadi double smoker, dibanding kita beralih atau berhenti dari rokok konvensional,” ujar Gina Sabrina, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia, dalam acara Peluncuran & Diskusi Publik Indeks Gangguan Industri Tembakau (TII Index) 2025, di Jakarta, Selasa (14/10/2025).

Alasannya sederhana: karena vape tetap mengandung nikotin, zat yang membuat otak terus mencari sensasi yang sama. Bukannya lepas dari kecanduan, justru tubuh makin terbiasa mengonsumsi nikotin dalam dua bentuk sekaligus. Inilah bahaya halus dari kebebasan semu yang dikemas lewat aroma manis dan warna-warni asap buatan.

Kata WHO: 'Asap' Vape Itu Tetap Beracun

Menurut World Health Organization (WHO), vape menghasilkan aerosol beracun yang mengandung nikotin dan bahan kimia berbahaya lainnya.

“E-cigarettes contain toxic substances that are harmful to people’s health, sometimes at levels higher than in tobacco smoke,” begitu bunyi pernyataan resmi dari WHO.

Artinya, meskipun tidak membakar tembakau, vape tetap menimbulkan risiko bagi paru-paru, jantung, dan sistem saraf.

Beberapa produk bahkan ditemukan mengandung bahan kimia beracun pada kadar yang lebih tinggi dari asap rokok biasa. Dan yang lebih mengkhawatirkan, efek jangka panjang nge-vape terhadap tubuh masih belum sepenuhnya diketahui. Kita seperti sedang menjadi kelinci percobaan.

Iklan yang Manis, tapi Tujuannya Gak Manis

Sekarang, coba perhatikan bagaimana vape dipasarkan. Rasanya seperti permen, desainnya mirip lipstik, warnanya pastel, dan terlihat sangat keren. Semuanya tampak fun dan tidak berbahaya, padahal itu adalah strategi industri.

WHO bahkan mencatat bahwa remaja dan anak muda sengaja dijadikan target utama pemasaran vape agar bisa terbentuk generasi baru pengguna nikotin.

“Segala apapun yang dikemas menarik oleh industri itu pasti punya pesan di belakangnya dengan tujuan untuk menargetkan kita sebagai konsumennya. Jadi kita perlu jeli membaca dengan hati-hati tentang pesan apa di dalamnya,” ucap Gina.

Jadi, sebelum kamu ikut-ikutan tren nge-vape, coba pikir lagi. Vape bukanlah solusi dari rokok. Ia hanyalah versi baru dari masalah yang sudah lama ada: kecanduan dan manipulasi industri. Asapnya boleh wangi, tapi bahayanya tetap sama.