Ketika marah, sering kali kita tidak peduli pada kata-kata yang keluar. Padahal, saat marah kita cenderung mengeluarkan perkataan yang dapat menyakiti orang lain. Akhirnya malah berujung penyesalan. Karena ucapan yang terlanjur keluar tentunya tidak akan bisa kita tarik kembali.
Karena takut menyakiti orang lain, kadang kita memilih untuk menahan amarah dibanding meluapkannya. Sebenarnya itu juga bukan solusi terbaik, karena amarah yang ditahan juga tidak akan hilang. Hal tersebut tidak akan membuat perasaan menjadi lega.
Dilansir dari laman Satupersen, menahan amarah dapat memberikan beberapa dampak buruk di antaranya menjadi lebih sensitif, munculnya perilaku pasif-agresif, kesulitan berkonsentrasi, hingga potensi terkena depresi.
Tentunya hal tersebut menjadi dilema, karena walaupun dapat mencegah kita menyakiti orang lain, namun sama saja kita menyakiti diri sendiri. Lalu apa yang mesti dilakukan agar hal merugikan tidak terjadi karena amarah yang muncul?
Agar tidak terkena dampak buruk, amarah yang muncul perlu diekspresikan. Namun, kita harus menemukan media mengekspresikan amarah yang tepat.
Salah satu media yang tepat untuk mengekspresikan rasa marah adalah buku diary. Dengan menuangkan amarah lewat tulisan, kita bisa lebih bebas tanpa perlu menyaring perkataan yang keluar.
Kita bisa menulis diary pada waktu pagi atau malam, saat suasana sudah tidak begitu ramai. Dengan begitu kita bisa mengekspresikan dengan nyaman tanpa terganggu kebisingan.
Berbeda ketika mengekspresikan amarah secara langsung ke orang lain, kita bisa lupa apa saja yang telah kita katakan sampai menyakiti orang lain. Dengan menulis diary, kita bisa membaca ulang dan mulai menguraikan persoalan yang sebenarnya terjadi.
Apakah kita marah karena sikap orang lain, ekspektasi kita yang terlalu tinggi hingga berujung kecewa, atau memang karena pikiran sedang lelah yang membuat kita sensitif dan mudah marah?
Terkadang kemarahan yang muncul bukan karena sikap orang lain, namun karena masalah yang ada pada diri kita sendiri. Maka, jangan sampai orang lain menjadi tempat pelampiasan amarah kita.
Namun, jika memang setelah menguraikan masalah, ternyata kemarahan kita adalah karena kesalahan orang lain, kita bisa mengutarakannya pada yang bersangkutan dengan cara yang lebih baik. Tentu saja setelah perasaan kita kembali tenang.
Itulah alasan kenapa kita perlu mengekspresikan amarah dengan cara menulis diary. Karena selain caranya yang mudah tentunya juga berdampak baik, untuk diri sendiri maupun untuk hubungan kita dengan orang lain. Harus dicoba ya!
Baca Juga
-
4 Inovasi Daur Ulang Plastik, Makin Optimis Indonesia Bebas Sampah Satu Ini!
-
4 Alasan Penulis Tetap Bertahan Walau Minim Penghasilan
-
Jangan Merasa Paling Jago, 4 Alasan Jam Terbang Membaca Penting bagi Penulis Pemula
-
Siapa Bilang Gampang! 3 Alasan Kenapa Menulis Itu Tak Selalu Menyenangkan
-
4 Skill Ini Berkembang saat Kamu Hobi Membaca Novel
Artikel Terkait
-
Marah Diledek The Jakmania Gara-gara Rans Nusantara FC Kalah, Rafathar: Raffi Ahmad yang Punya!
-
Taksi Kesenggol, Sopir Marahi dan Pukul Kepala Pemotor hingga Bikin Macet, Publik: Kayak Bapak Ngomel ke Anak
-
Tak Terima Kesenggol Motor, Aksi Marah-marah Supir Taksi Ini Malah Bikin Macet
-
5 Tips agar Kualitas Tulisan Meningkat Tajam, Segera Terapkan!
-
Ini Dia 6 Rekomendasi Kegiatan Healing Tanpa Bikin Dompet Kering
Hobi
-
Jalan Panjang Timnas Indonesia ke Piala Dunia 2026 Usai Kalahkan Tim China
-
Bukannya Membantu sang Tetangga, Arab Saudi Justru Lebih Pilih Bantu Timnas Indonesia
-
Patrick Kluivert Akui Puas dengan Kualitas Pemain Lokal Timnas Indonesia
-
Hantam sang Tamu Satu Gol, Indonesia Makin Lekatkan Label Tim Paling Buruk kepada China!
-
Kejutan dari PBSI: Fajar Rekan Tandem Fikri, Langkah Penyegaran Positif
Terkini
-
Rahasia Kulit Lembap dan Glowing, 4 Rekomendasi Masker Korea Berbahan Madu
-
10 Rekomendasi Drama China yang Memakai Kata "Legend" pada Judulnya
-
Doyoung Usung Tema Yakin dan Percaya di Highlight Medley Album Soar Part 3
-
Jackson Wang Ungkap Rasa Sakit Jalani Hubungan Toksik di Lagu Hate To Love
-
Mainan Anak dan Stereotip Gender: Antara Mobil-mobilan dan Boneka