Gunung Everest yang terletak di perbatasan antara Nepal dan Tibet merupakan gunung tertinggi di Asia serta dunia. Dari data US National Geographic, ketinggian Gunung Everest mencapai 8.849 meter di atas permukaan laut. Nama gunung ini diambil dari nama mantan Surveyor Inggris, yakni Kolonel Sir George Everest pada tahun 1856.
Sebagai gunung paling tertinggi di muka bumi, Gunung Everest ini menjadi primadona di kalangan para pendaki. Meskipun menjadi salah satu gunung yang sangat berbahaya untuk didaki, namun banyak sekali para pendaki dari berbagai belahan dunia yang bercita-cita untuk dapat sampai ke puncak gunung tertinggi tersebut.
Negara di Pegunungan Himalaya sangat bergantung kepada para pendaki untuk mendapatkan devisa. Sangat banyak turis yang datang untuk mendaki ke Gunung Everest setiap tahunnya, meskipun tidak semua yang mampu untuk mencapai puncak. Melansir dari Himalayan database, Gunung Everest telah didaki sebanyak 10.657 kali sejak pertama kali didaki pada tahun 1953, dan telah memakan korban jiwa sebanyak 311 orang.
Di balik keindahan saat mendaki Gunung Everest, akan ditemukan banyak sekali hamparan warna-warni para mayat yang tergeletak di jalur pendakian menuju puncak. Mayat-mayat itu merupakan para pendaki yang tidak mampu lalu akhirnya tewas di tengah perjalanan selama mendaki gunung tertinggi di dunia tersebut.
Tragisnya mayat-mayat yang banyak tergeletak tersebut sulit untuk dievakuasi, atau lebih tepatnya tidak akan bisa dibawa pulang kembali. Beberapa alasannya yakni karena mayat tersebut akan cepat terkubur oleh es lalu menempel di atas tanah dan membeku, jadi sangat sulit sekali jika ingin mengevakuasinya. Lalu biaya yang dibutuhkan untuk mengevakuasi mayat-mayat tersebut sangatlah mahal, dapat setara dengan biaya yang dikeluarkan untuk mendaki Gunung Everest itu sendiri.
Selain itu perlu diketahui bahwa saat berada di Gunung Everest, tubuh akan terasa 10 kali lipat lebih berat akibat tekanan barometrik yang ada. Oleh karena itu, membawa diri sendiri saja para pendaki sudah sangat lelah dan akan menambah sulit jika harus membawa tubuh orang lain. Pendaki yang menolong rekannya saat sudah tak sanggup lagi untuk mendaki, maka sama saja membahayakan nyawanya sendiri.
Tag
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Ford Bawa 3 Mobil Sangar di GJAW 2024
-
Ford Everest Titanium Masuk Indonesia, Bawa Fitur Keselamtan Canggih
-
Lebih dari Sekadar Pendakian, Menyelami Makna Persahabatan dan Cinta dalam Novel Gede Pangrango & Salju Everest
-
Sempat Dikaitkan dengan Keretakan Rumah Tangga Ria Ricis, Oklin Fia Sibuk Naik Gunung
-
Komet Setan Sebesar Everest Meluncur ke Arah Bumi, Bisa Berbahaya?
Hobi
-
Ditanya soal Peluang Bela Timnas Indonesia, Ini Kata Miliano Jonathans
-
3 Penyerang yang Berpotensi Tersingkir dengan Hadirnya Ole Romeny di Timnas Indonesia
-
Lolos Semifinal China Masters 2024, Jonatan Christie Dihadang Shi Yu Qi
-
Usai Kualifikasi Piala Dunia, STY Langsung Dihadapkan Misi Juara AFF Cup?
-
Erick Thohir Evaluasi Kinerja STY, Singgung Pemain Naturalisasi di Timnas
Terkini
-
Makna Perjuangan yang Tak Kenal Lelah di Lagu Baru Jin BTS 'Running Wild', Sudah Dengarkan?
-
Ulasan Buku 'Seni Berbicara Kepada Siapa Saja, Kapan Saja, di Mana Saja', Bagikan Tips Jago Berkomunikasi
-
Puncak FFI 2024: Jatuh Cinta Seperti di Film-Film Sapu Bersih 7 Piala Citra
-
Polemik Bansos dan Kepentingan Politik: Ketika Bantuan Jadi Alat Kampanye
-
3 Rekomendasi Oil Serum Lokal Ampuh Meredakan Jerawat, Tertarik Mencoba?