
Mantan kapten Timnas Indonesia di dekade 2010an, Firman Utina turut menyoroti perkembangan sepak bola nasional. Seiring dengan semakin membanjirnya gelombang pemain naturalisasi yang masuk ke Timnas Indonesia, mantan pemain tengah andalan mendiang pelatih Benny Dollo tersebut turut angkat bicara.
Menurut Firman Utina, sejatinya tak ada masalah jika Timnas Indonesia menggunakan jasa pemain naturalisasi. Namun menurutnya, hal tersebut tak bisa dilakukan selamanya oleh federasi, terlebih jika para pemain lokal memiliki kualitas yang lebih baik daripada para pemain naturalisasi.
Bahkan, pemain yang identik dengan tendangan swingnya tersebut mencontohkan Singapura yang dulu bergantung pada pemain naturalisasi, kini sudah kembali ke jalur yang benar dan memberikan kesempatan kepada talenta-talenta muda dari dalam negeri.
"Singapura pernah membuat hal itu juga, tapi itu tidak berlaku lama. Hanya 2-3 tahun, setelah itu mereka lepas pemain ini, karena sudah bisa membawa pemain lokal menggantikan posisi mereka," ujar Firman Utina sepertimana menyadur kanal YouTube Mahardika Entertainment.
Namun, apakah yang dikatakan oleh Firman Utina benar adanya? Mari kita bahas bersama!
Sejatinya, memang benar apa yang dikatakan oleh Firman terkait keputusan federasi sepak bola Singapura yang kini lebih memprioritaskan para pemain lokal daripada naturalisasi. Sekadar informasi, pada awal dekade 2000an, Singapura memang gencar menggunakan jasa pemain naturalisasi untuk mendongkrak prestasi persepakbolaan mereka.
Dan memang benar, di tahun 2000an, Timnas Singapura berhasil menjadi raja sepak bola Asia Tenggara, menjadi salah satu tim tersukses di kawasan ini dengan empat trofi Piala AFF, dan sempat pula menduduki peringkat tertinggi Asean di rangking FIFA.
Namun semuanya berubah ketika FAS kembali mempercayakan skuat Timnas mereka kepada para pemain lokal. Pertengahan dekade 2010an ketika pemain-pemain lokal mulai diorbitkan menggantikan para pemain naturalisasi, prestasi Timnas Singapura justru nyungsep dan tak segemilang sebelumnya.
Tak hanya itu, julukan raja Asia Tenggara pun mulai tergeser oleh kekuatan-kekuatan lain seperti Indonesia, Thailand, Vietnam dan Malaysia. Jangankan mencapai partai puncak, untuk sekadar menembus babak semi final di gelaran sepak bola level Asia Tenggara saja Singapura saat ini masih merasa berat dan hampir selalu kalah bersaing.
Apa yang dikatakan oleh Firman Utina memang tak salah, namun jika tak ada talenta lokal yang benar-benar berkualitas, jangan dipaksakan untuk masuk ke Timnas Indonesia kan? Nanti nasibnya bisa seperti Singapura, lho!
Baca Juga
-
Berantas Mafia Sepak Bola dan Pengaturan Skor, PSSI Harusnya Tiru Langkah Sadis Vietnam!
-
Jepang Berencana Rotasi Pemain di 2 Laga Sisa, tapi Timnas Indonesia Tetap Saja Dirugikan
-
Dibandingkan Jay Idzes, Jalan Thom Haye Selamatkan Almere City Cenderung Lebih Rumit!
-
Termasuk Ferarri, 6 Pemain Ini Akhirnya Mundur dari Tim ASEAN All Stars! Tahu Alasannya?
-
Makin Parah! Satu-satunya Bintang Vietnam di ASEAN All Stars Juga Dilarang Bergabung
Artikel Terkait
-
Yuran Fernandes Dihukum Berat, Pengamat: Sanksi Itu Bisa Diperdebatkan
-
Yuran Fernandes Disanksi 1 Tahun, Bos PSM: Erick Thohir Terkejut
-
Perbandingan Komentar Andre Rosiade Vs Yuran Fernandes, Lebih Pedas Mana?
-
Lucunya Liga Indonesia: Cekik Wasit 6 Bulan, Kritik 1 Tahun
-
Yuran Fernandes Disanksi Berat, PSM Makassar Bisa Tekor Miliaran Rupiah
Hobi
-
AFF Womens Championship U-19 2025: Indonesia Tergabung di Grup Neraka
-
Kau Pergi, Tapi Tak Pernah Hilang: Doa dan Cinta untuk Doni Monardo
-
Jika Umumkan Pensiun dari Sepakbola, Ramadhan Sananta Ingin Geluti Dunia Ini!
-
Performa Meningkat Tajam, Fabio Quartararo Tetap Membumi di GP Le Mans 2025
-
Punya Riwayat Buruk di Le Mans, Pecco Bagnaia Optimis Raih Hasil Maksimal
Terkini
-
Sinopsis Series I Love 'A Lot Of' You, Comeback Akting Nanon Korapat!
-
Terserah atau Pasrah? Raisa Tanyakan Nasib Hubungan Cinta di Lagu Terbaru
-
Meningkatkan Skor SINTA, Psikologi Universitas Jambi Gelar Workshop Khusus
-
GEF SGP Gandeng Ghent University dalam Program Ketahanan Pangan dan Ekologi
-
Review Film When Marnie Was There: Menghanyutkan dan Menyentuh