Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Nurkalina Pratiwi Suganda
Futsal Perempuan (Pexels/Laura Rincon)

Menyukai. Kata kerja itu mungkin terasa cukup berlebihan, sebab bagaimana bisa seorang amatir yang hampir tidak tahu apa-apa bisa menaruh hati pada hobi sejuta umat?

Dulu sekali, ketika masih duduk di bangku sekolah dasar, seorang teman baik sangat menggemari futsal. Dia biasa dikenal sebagai ace futsal perempuan karena lincah sekaligus perannya sebagai penyerang (striker) dalam posisi di futsal. Ya, perempuan. Ini juga menjadi kebanggaan seluruh warga sekolah, termasuk saya tentu saja.

Berbeda jauh dengan dia, tidak ada bakat ataupun semangat dalam diri ini. Cukup menontonnya berlarian di lapangan, menggiring bola ke gawang, ternyata sudah lebih dari cukup.

Pada waktu yang sama juga, futsal perempuan terkadang dianggap sepele. Lebih tepatnya, futsal perempuan anak sekolahan dari mata pelajaran Olahraga. Ungkapan-ungkapan negatif mulai dari "beban" sampai ke "kumpulan anak centil cari perhatian" tidak hanya satu-dua kali dilontarkan.

Mungkin saat itu sebatas candaan, tetapi sekarang rasanya begitu menyayat perasaan. Semua karena futsal perempuan bermain lebih ribut, berisik, heboh, dan sesuka hati dibanding futsal laki-laki.

Selain karena minat, mungkin itu juga alasan kenapa futsal begitu saya hindari. Niatnya untuk main-main dan hiburan bersama teman, tetapi dengan mudahnya orang-orang menghakimi, padahal kita tidak sedang dalam perlombaan.

Kemudian, ketika melompat ke masa sekarang, persis saat dituangkannya isi pikiran pada laman ini, saya juga teringat ambisi salah satu kerabat. Dia persis seperti teman baik saya ketika SD: sama-sama perempuan, sama-sama menggemari futsal.

Rasa bangga tentu saja ada, meskipun belum sempat disampaikan. Dia—dan juga teman baik saya saat itu—sama-sama punya ikatan yang kuat dengan futsal, bahkan tidak segan menggantung impian mereka pada olahraga itu. Padahal futsal perempuan mendapat perhatian lebih sedikit dari futsal laki-laki, atau setidaknya harus terkenal dahulu untuk mendapat atensi dari sekitar.

Futsal perempuan saat ini telah berjaya, bahkan kompetisinya pun diakui dunia dan diselenggarakan secara resmi. Hal ini mematahkan stereotipe budaya yang mengakar dalam sunyi, bahwa salah satu peraturan permainan futsal adalah terdiri atas anggota/pemain laki-laki saja.

Apakah fakta tersebut melembutkan perasaan? Sedikitnya, ya, tetapi saya tetap tidak bisa menaruh hati sebesar para penggemarnya. Meskipun demikian, tentu saja kebanggaan mekar dalam hati, bahwa futsal (lebih tepatnya futsal perempuan) kini tidak lagi dipandang sebelah mata.

Seperti saat ini contohnya.

AXIS Nation Cup 2025: Kompetisi Futsal yang Mematahkan Stereotipe Budaya

AXIS Nation Cup (ANC) adalah sebuah kompetisi yang diselenggarakan oleh AXIS. Turnamen futsal antarsekolah yang sangat eksis dan bergengsi ini kembali bersinar di tahun 2025. Dengan konsep sportstainment, ANC 2025 ingin persatuan yang selaras antara hiburan, sportivitas, dan semangat berkompetisi.

Melihat kabar ini, tentu hal pertama yang menarik perhatian adalah kualifikasi untuk mengikuti turnamen. Syukur terucap dalam hati, bahwa futsal perempuan tidak terlupakan. Meskipun tidak semua kota melibatkan futsal perempuan, hal ini dapat dimengerti karena eksistensi futsal perempuan di tiap sekolah berbeda-beda, tidak semasif futsal laki-laki.

Untuk informasi lebih lanjut, kamu bisa mengunjungi laman resmi ANC di anc.axis.co.id, sekadar bukti bahwa futsal perempuan benar-benar dilibatkan.

ANC 2025 adalah langkah kecil yang pasti, bahwa dukungan terhadap futsal perempuan belum mati, mereka masih ada di sini. Jika ANC 2025 bisa hadir lagi dan lagi, bahkan pada bertahun-tahun berikutnya, saya yakin banyak anak perempuan yang gemar bermain futsal akan turut mendaftarkan diri, seperti kerabat saya itu. Sayangnya, untuk saat ini dia masih terbatas usia. Namun, saya percaya mimpi dan harapannya akan terus gemilang.

Jadi, Bagaimana dengan "Menyukai" Futsal?

Melihat perkembangan futsal perempuan saat ini, sulit rasanya untuk tidak kagum atau terpana. Akan tetapi, satu hal yang pasti, kata "suka" itu tampaknya mustahil untuk hadir sepenuhnya. Rasanya memang akan sangat sulit jika memang tidak ada minat dan ambisi sedari awal.

Meskipun demikian, rasa bangga menyeruak dalam diri bahwa saat ini futsal perempuan mulai dipandang setara dengan futsal laki-laki, baik itu formal (turnamen) ataupun nonformal (sekadar main saja). Ini adalah alasan kuat untuk mulai menerima kembali meskipun berkali-kali mendapat tudingan negatif.

Kalau kamu bagaimana? Adakah alasan personal untuk menyukai futsal?

Nurkalina Pratiwi Suganda