Futsal yang lahir sebagai alternatif olahraga murah, yang hanya membutuhkan bola, teman lima orang, dan lapangan seadanya, olahraga tersebut sudah bisa berjalan. Namun di era digital sekarang, olahraga futsal ini berubah dari sekedar olahraga menjadi gaya hidup konsumtif yang melibatkan simbol status.
Fenomena ini semakin terlihat dalam ajang AXIS Nation Cup dari AXIS. Kompetisi futsal antar sekolah ini menunjukkan bahwa futsal tak hanya soal fisik, tetapi juga ekspresi diri.
Kalau diperhatikan, futsal kini mirip dengan tren fashion atau hobi lain yang penuh gengsi. Banyak orang bermain futsal bukan semata-mata karena ingin sehat atau menyalurkan hobi, melainkan karena ingin tampil keren, dianggap gaul, dan tentu saja eksis di media sosial.
Salah satu contoh nyata yang dapat dilihat adalah urusan sepatu. Sepatu futsal keluaran merek yang sudah besar dan terkenal bisa laris manis meski harganya jutaan rupiah. Padahal jika dilihat lebih lanjut, tidak semua pembeli benar-benar pemain serius. Banyak dari mereka yang main olahraga ini cuma seminggu sekali, itu pun sering ngos-ngosan setelah lima menit.
Ada semacam logika aneh yang berkembang seperti makin mahal sepatu yang kamu gunakan semakin tinggi wibawa di lapangan, meski skill sebenarnya biasa-biasa saja. Bahkan kadang pemain yang paling keren penampilannya justru paling cepat minta ganti karena kram atau kehabisan tenaga. Jadi, sepatu bukan lagi soal kenyamanan bermain, tapi lebih ke simbol status sosial.
Fenomena konsumtif juga terlihat dari jersey. Kalau dulu cukup pakai kaos oblong biasa, sekarang setiap tim futsal punya jersey custom lengkap dengan nama punggung, sponsor palsu, bahkan desain ala klub Eropa. Tidak jarang, satu tim punya lebih dari dua set jersey yang rutin diperbarui.
Sekilas terlihat keren, tapi kalau dipikir ulang, apakah benar kita butuh jersey sebanyak itu hanya untuk main seminggu sekali? Lagi-lagi, yang dicari bukan sekadar kenyamanan bermain, melainkan identitas dan gengsi. Rasanya kurang mantap kalau main futsal tapi tidak ada foto tim dengan jersey seragam untuk diunggah ke Instagram.
Tidak bisa dipungkiri, media sosial juga punya peran besar dalam mengubah wajah futsal. Sekarang, setiap kali main futsal, hampir pasti ada ritual foto bersama, video highlight, atau setidaknya story Instagram dengan caption: “Weekend vibes: futsal dulu bro!”
Hal ini memperkuat kesan bahwa futsal sudah menjadi bagian dari budaya eksistensi. Orang ingin diakui bukan hanya karena skill bermain atau penguasaan teknik dasar futsal, tapi juga karena gaya mereka di lapangan. Futsal bukan lagi tentang gol, assist, atau kemenangan, melainkan tentang siapa yang paling keren di kamera.
Fenomena konsumtif dalam futsal sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari industri yang terus berkembang. Merek sepatu, produsen jersey, hingga pengelola lapangan semua berlomba-lomba menjual gaya hidup, bukan sekadar fasilitas olahraga. Mereka paham betul bahwa masyarakat, terutama anak muda, tidak hanya mencari olahraga, tapi juga mencari identitas.
Di satu sisi, ini wajar karena futsal memang punya potensi ekonomi yang besar. Namun di sisi lain, hal ini juga menimbulkan ironi. Olahraga yang seharusnya sederhana justru berubah jadi ajang belanja. Yang sehat bukan lagi tubuh pemain, tapi kantong produsen sepatu, jersey, dan pengelola lapangan.
Futsal memang tetap punya manfaat, melatih fisik, memperkuat kerja sama tim, sekaligus jadi hiburan. Namun, kalau kita terlalu terjebak dalam budaya konsumtif, jangan-jangan tujuan awal futsal justru hilang. Bukannya sehat, malah dompet yang makin tipis.
Pada akhirnya, kembali ke masing-masing pemain, apakah bermain futsal demi kesehatan dan kesenangan, atau demi eksistensi dan gengsi? Kalau jawaban yang kedua lebih dominan, maka wajar saja kalau futsal kini lebih dekat ke gaya hidup konsumtif daripada sekadar olahraga sederhana.
Artikel Terkait
-
Power Play dan Logika Strategi dalam Dunia Futsal
-
Berkumpul, Bermain, Bersahabat: Futsal Jadi Pengikat Komunitas Anak Muda
-
Lebih dari Sekadar Olahraga: Futsal untuk Pengembangan Anak Muda
-
Menelisik Pentingnya Kekuatan Mental bagi Keberhasilan Para Pemain Futsal
-
Komersialisasi Futsal di Kampus sebagai Bagian dari Ekonomi Kreatif
Hobi
-
Ironis! Hanya Indonesia Tim Semifinalis AFC U-23 Tahun 2024 yang Gagal Menang di Partai Pembuka
-
Kualifikasi AFC U-23: Saat para Pelatih Korea Selatan Menjadi Resiprokal dari Gerald Vanenburg
-
Kualifikasi Piala Asia U-23: Robi Darwis Bidik Tiket Putaran Final
-
Sudah Bermain Maksimal, tapi Timnas Indonesia U-23 Masih Miliki 3 Masalah Serius
-
Seri Lawan Laos, Gerald Vanenburg Akui Nasib Timnas Indonesia U-23 Terancam
Terkini
-
Video Lawas Nadiem Makarim Viral Lagi, Ngaku Lahir di Keluarga Anti Korupsi!
-
Esensi Film 'Bring Her Back 2025': Horor Okultisme yang Bikin Sakit Jiwa!
-
Rusdi Masse Kini Wakil Ketua Komisi III DPR, Gantikan Sahroni: Siapa Dia?
-
28 Years Later: The Bone Temple Bakal Tayang Januari 2026, Ini Trailernya
-
No Day oleh Kang Daniel: Jalani Hari dengan Nyaman di Tengah Ketidakpastian