Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Nabilah
Ilustrasi stop kekerasan pada anak (depositphotos)

Pelecehan seksual pada anak atau child sexual abuse masih banyak terjadi di Indonesia. Pelecehan seksual tersebut dapat terjadi dalam beberapa bentuk, yaitu pelecehan fisik, pelecehan lisan, pelecehan isyarat, pelecehan tertulis, dan pelecehan psikologis/emosional (Simbolon, 2018). Tidak sedikit dari korban yang mengalami trauma akibat kasus tersebut.

Sebuah penelitian yang dilakukan Whitffen dan MachIntosh menemukan bahwa pengalaman pelecehan seksual pada anak berhubungan dengan stres emosional dan kesulitan menjalin relasi intim pada saat dewasa. Selain itu, Fuadi (2011) mengatakan bahwa kemungkinan dampak lain yang muncul adalah depresi, fobia, mimpi buruk, dan curiga terhadap orang lain dalam waktu yang lama.

Dampak-dampak ini dapat mempengaruhi kondisi anak di lingkungan sosialnya. Sehingga masa kanak-kanak mereka yang seharusnya dipenuhi dengan keceriaan dan tumbuh kembang bersama teman-temannya, justru mengalami hambatan karena pengalaman buruk yang dialaminya.

Menurut Wahyuni (2016), anak-anak bahkan bisa memunculkan reaksi ekstrim terhadap trauma. Gejala-gejala tersebut antara lain, mengompol (mengalami kemunduran dalam toilet training), tidak mampu berbicara (mengalami kemunduran dalam perkembangan bahasa), bertindak ekstrim (senang permainan yang membahayakan), serta menjadi sangat menempel dengan orang tua atau orang dewasa lainnya. Gejala-gejala tersebut bisa mengganggu anak dalam mengoptimalkan potensi yang mereka miliki pada masa perkembangan. 

Kemampuan-kemampuan mereka yang menurun perlu disadari oleh orang terdekat agar mendapat penanganan lebih cepat. Hal tersebut tidak bisa dianggap biasa karena mereka butuh penanganan khusus agar dapat terus berkembang dengan baik di masa mendatang. Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk membantu mereka yaitu dengan mengajaknya mengikuti kegiatan konseling (Fuadi, 2011).

Konseling dapat membantu anak menghadapi permasalahannya, konseling bisa membantu untuk memulihkan "luka" mereka.

Konseling dilakukan oleh profesional yang dapat mengetahui dinamika psikologis yang terjadi pada individu. Dinamika psikologis yang terjadi pada korban pelecehan seksual tergantung pada kepribadian anak. Namun pada awalnya mereka memiliki pikiran-pikiran negatif yang terjadi secara berulang dan akhirnya menjadi negative belief (Fuadi, 2011). Keyakinan negatif yang mereka tujukan pada diri mereka sendiri dapat membuat anak tidak percaya diri. 

Maka, seorang anak tetap membutuhkan dukungan sosial dari orang-orang terdekat mereka. Disini peran orang tua dan keluarga menjadi penting untuk meminimalisasi dampak traumatis dan tekanan-tekanan yang dialami anak. Kehadiran mereka bisa membuat anak lebih mampu mengatasi permasalahan yang dihadapinya.

Bahkan anak menjadi mampu memanipulasi kognisi hingga akhirnya bisa membangun suatu pemikiran yang positif (Fuadi, 2011). Pemikiran yang positif menjadi awal yang baik bagi anak untuk memulihkan kembali kondisi psikologisnya.

Sehingga, kita bisa menyimpulkan bahwa kasus pelecehan seksual terhadap anak berbahaya. Kita juga tidak bisa membiarkan pelaku terus berkeliaran. Mereka perlu ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku agar tidak ada korban lainnya. Namun untuk menegakkan hukum, saksi dan bukti juga dibutuhkan. 

Korban bisa diminta menjadi saksi yang dapat memperkuat bukti. Anak bisa diminta menjadi saksi dalam kasus tersebut dan tidak bisa sembarangan meminta korban untuk bersaksi sedangkan kondisi mereka masih mengalami trauma. Maka dalam hal ini, dibutuhkan peran dari psikolog untuk membantu proses hukum. Di Indonesia sudah cukup sering melibatkan psikolog untuk mendampingi anak yang berhadapan dengan hukum. Terutama bagi kasus anak yang menjadi korban pelecehan seksual.

Ketika anak diminta sebagai saksi, pikolog membantu agar anak tetap merasa nyaman, tidak tertekan, dan menjadi saksi yang dapat dipastikan keakuratannya. Peran psikolog (Fulero & Wrightsman, 2009) dimulai dari mengevaluasi anak untuk menilai adanya pelecehan yang dialami anak. Psikolog akan mengevaluasi anak dengan wawancara.

Kemudian, psikolog juga akan menilai kompetensi anak untuk menjadi saksi ketika dibutuhkan oleh hakim di pengadilan. Tentu prosedur yang digunakan tidak akan sama dengan orang dewasa, biasanya akan ada modifikasi prosedur di pengadilan bagi anak. Anak tidak akan dipertemukan secara langsung dengan pelaku. 

Jaksa penuntut meminta psikolog untuk membantu membuat anak senyaman mungkin. Psikolog diminta untuk mengurangi kemungkinan stres sebagai upaya mempersiapkan anak dalam bersaksi. Pada tahap penyelidikan, psikolog juga diminta untuk memastikan kebenaran dari kesaksian anak. Dan jika dibutuhkan, psikolog juga dapat menjadi saksi ahli dalam persidangan. Sehingga hakim dapat mempertimbangkan kesaksian-kesaksian tersebut untuk mengadili pelaku dengan hukuman yang sesuai dengan perbuatannya.

Anak mempunyai hak asasi lebih khusus yang harus dihormati dan dilindungi (Simbolon, 2018). Maka tugas orang dewasa untuk melindungi dan memenuhi hak-hak anak yang sudah ditetapkan dalam undang-undang. Hal tersebut sebagai upaya pembinaan dan peningkatan sumber daya manusia masa depan serta melindungi mereka dari gangguan-gangguan yang datang dari luar (Simbolon, 2018).

Bahkan orang tua dan keluarga memiliki kewajiban yang diatur dalam Undang-Undang Pasal 26 Nomor 23 Tahun 2002. Kewajiban tersebut antara lain, mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi, serta menumbuhkembangkan anak sesuai kemampuan, bakat, dan minatnya, juga mencegah terjadinya pernikahan dini.

Kita sebagai masyarakat juga berperan dalam pelindungan anak. Kita turut membantu agar hak-hak anak tetap bisa didapatkan secara adil. Kita bisa mulai menyadarinya di lingkungan terdekat. Ini bukan hanya tugas sebagian masyarakat, tapi tugas kita semua untuk mewujudkan bangsa yang sejahtera di masa mendatang.

Referensi

  • Fuadi, M.A. (2011). Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual: Sebuah Studi Fenomenologi. Jurnal Psikologi Islam (JPI), 8(2), 191-208. https://doi.org/10.18860/psi.v0i0.1553
  • Fulero, M.S. & Wrightsman, L.S. (2009). Forensic Psychology (Third Edition). USA: Wadsworth Cengage Learning.
  • Simbolon, D.F. (2018). Minimnya Pendidikan Reproduksi Dini Menjadi Faktor Penyebab Terjadinya Pelecehan Seksual Antar Anak. Soumatera Law Review, 1(1), 43-66. DOI: 10.22216/soumlaw.v1i1.3310
  • Wahyuni, H. (2016). Faktor Resiko Gangguan Stress Pasca Trauma pada Anak Korban Pelecehan Seksual. Khazanah Pendidikan, 10(1). https://dx.doi.org/10.30595/jkp.v10i1.1076

Nabilah

Baca Juga