Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Andini Melia Fi
Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern. [Marty MELVILLE / AFP]

Baru-baru ini Selandia Baru telah menuai perhatian dunia terkait dengan penanganan kasus COVID-19 di negaranya. Menurunnya angka kasus COVID-19 secara signifikan menjadikan Selandia Baru sebagai perhatian dunia. Penanganan yang dilakukan pemerintah Selandia Baru pun banyak dijadikan pelajaran bagi beberapa negara.

Keberhasilan Selandia Baru dalam penanganan COVID-19 ini tak dapat dilepaskan dari peran pemimpinnya yakni Jacinda Ardern. Ardern kembali menjadi perhatian dunia setelah sebelumnya ia mendapat perhatian dunia terkait dengan penyelesaian kasus serangan bersenjata pada dua masjid di Kota Christchurch.

Jacinda Ardern merupakan Perdana Menteri wanita ketiga Selandia Baru yang dilantik pada oktober 2017 (Vowles & Curtin, 2020). Pada masa kampanyenya, Ardern menggunakan gaya kepemimpinan yang karismatik dengan menekankan pada pentingnya kepedulian dan kebaikan.

Ardern menjadi satu contoh lagi pendobrak stereotip bagi wanita maupun feminitas dengan terpilihnya menjadi Perdana Menteri Selandia Baru. Meskipun menjadi seorang perdana menteri, Ardern tetap menjalankan kodratnya sebagai seorang wanita dan menjadi Perdana Menteri kedua di dunia yang melahirkan selama menjabat (Vowles & Curtin, 2020).

Gaya kepemimpinan Ardern terkenal langka dan inklusif yang menggambarkan perhatian dan kebaikan yang kerap diasosiasikan dengan feminism (Curtin & Greaves, 2020). Meskipun demikian, Ardern tetap terkenal dengan kepemimpinan karismatiknya karena dapat menyampaikan pesan dengan karisma dan otentisitasnya yang tampaknya tidak melemahkan kepercayaan orang akan kapasitasnya dalam memimpin dan menyisakan sedikit ruang untuk politik populis (Vowles & Curtin, 2020).

Setidaknya sudah terdapat tiga krisis besar yang dihadapi Selandia Baru dalam masa kepemimpinan Ardern, yakni bencana gunung berapi di white island, kasus serangan bersenjata dua masjid di kota Christchurch, serta kasus COVID-19. Ardern dapat mengelola krisis tersebut dengan kepemimpinannya yang memiliki pendekatan yang manusiawi, tegas, dan konsisten (Wardhani, 2014).

Dalam merespons kasus serangan bersenjata di Christchurch, Ardern memperlihatkan kepemimpinan karismatiknya yang bersifat empati dimana Ardern turut menunjukkan bentuk kesedihannya bahkan menangis pada saat menyampaikan pidato nya di depan parlemen. Air mata Ardern pun menetes ketika mengunjungi keluarga korban serta saat mengunjungi komunitas muslim (Mustaqim, 2019). Tangisan Ardern ini merupakan salah satu bentuk empati yang dapat diisyaratkan sebagai rangkulan bagi semua orang.

Dengan jumlah muslim yang hanya 1% dari populasi di Selandia Baru, Ardern juga turut menunjukkan kepedulian dan perhatiannya kepada minoritas dengan tidak membedakan kelas di masayarakat. Ardern memberikan pelukan sebagai simbol merangkul kepada keluarga korban. Dalam hal ini Ardern mencoba menempatkan dirinya pada posisi keluarga korban (Mustaqim, 2019).

Ardern dapat menunjukkan pada masyarakat Selandia Baru bahwa empati tidak hanya dilakukan kepada satu kelompok tetapi mencakup seluruh bagian masyarakat. Selain itu, setelah kasus penembakan di dua masjid di Christchurch, Ardern kerap melontarkan salam khas umat muslim yakni ‘’Assalamualaikum’’ baik ketika memberikan pidato di depan masyarakat muslim maupun ketika sedang berbicara di depan parlemen atau pemerintah. Dari hal ini, Ardern ingin menjadikan umat islam sebagai bagian dari perhatian pemerintahannya dan ingin menunjukkan bahwa Selandia Baru juga merupakan rumah bagi umat islam meskipun jumlahnya sangat kecil (Mustaqim, 2019).

Krisis lain dihadapi Jacinda ketika dunia dihadapkan dengan pandemi COVID-19. Pada kasus ini, Selandia Baru dinilai menjadi salah satu negara yang berhasil dalam memerangi pandemi COVID-19. Keberhasilan tersebut tak dapat dipisahkan dari kontribusi pemimpinnya yakni Jacinda Ardern.

Dalam merespons COVID-19, Ardern dan pemerintah Selandia Baru dengan sigap menerapkan strategi eliminasi dalam memerangi COVID-19 di negaranya. Strategi eliminasi ini merupakan nama yang diberikan untuk kebijakan politik dan target ambisius yang diambil oleh Perdana Menteri Ardern guna melandaikan curva COVID-19 di Selandia Baru (Wardhani, 2014).

Strategi melawan COVID-19 ini dimulai ketika Perdana Menteri Ardern menutup perbatasan dengan melarang semua perjalanan masuk ke negara tersebut, kecuali bagi yang memiliki izin masuk.

Tentunya terdapat elemen-elemen yang dapat menunjang kesuksesan dari strategi eliminasi ini diantaranya pengawasan yang ketat dan berkualitas tinggi bagi wisatawan yang akan datang, deteksi yang cepat terhadap kasus dengan pengujian luas diikuti isolasi cepat dan pelacakan terhadap kontak individu secara cepat dan karantina, meningkatkan tingkat kebersihan, melakukan pembatasan sosial dengan menutup sekolah-sekolah, tempat kerja, serta pembatasan pergerakan dan perjalanan, serta strategi komunikasi yang bagus dan terkoordinasi (Wardhani, 2014).

Karantina wilayah Selandia Baru menjadi salah satu yang terkuat dan paling tegas di dunia. Keberhasilan Ardern dalam menangani krisis ini telah banyak mengambil perhatian dunia. Ardern memposisikan diri dengan bergerak bersama rakyatnya dalam memerangi COVID-19. Ardern juga konsisten berkonsultasi dengan ilmuwan terkait dengan kebijakan-kebijakan yang diambilnya.

Ardern juga memiliki gaya visioner dalam kepemimpinannya. Robbins (2003) mendefinisikan kepemimpinan visioner sebagai kemampuan seorang pemimpin dalam menciptakan suatu kondisi dimana terdapat visi yang realistis, dapat dipercaya, serta atraktif terhadap masa depan organisasi.

Apa yang dilakukan Ardern dalam merespons krisis-krisis yang terjadi pada masa nya terutama pada saat krisis COVID-19 telah mengisyaratkan adanya gaya kepemimpinan visioner pada dirinya yakni pemimpin dan perubahan dimana pemimpin harus cepat dan tanggap dalam merespons perubahan yang ada.

Tindakan cepat dan tanggap seorang Jacinda Ardern juga tercermin ketika Ardern dengan segera menyerukan amandemen Undang-Undang tentang senjata sehari setelah serangan teror di dua masjid kota Christchurch . Hal tersebut merupakan respons tercepat di dunia oleh seorang pemimpin negara yang langsung melakukan amandemen Undang Undang (Mustaqim, 2019). Kemudian hanya sekitar tiga minggu, amandemen Undang-Undang tersebut disetujui oleh parlemen.

Pada masa COVID-19, Jacinda Ardern mengambil dua fokus dalam merespons kepemimpinan krisis. Yang pertama fokus pada aspek linguistik dan diskursif dari fungsi kepemimpinan di mana komunikasi harus berjalan dengan cepat, akurat, dan berdampak (Boin 2009 ; Burdett 1999 dalam McGuire et al., 2020).

Pada awalnya, sikap kelembagaan pada masa Ardern berusaha untuk meyakinkan publik dengan ketegasan pemerintah dan pendekatan yang berbasis bukti. Kemudian pada fase 2 dan 3 bergeser menuju pendekatan yang lebih berempati yang mendorong solidaritas antara komunitas dan menekankan pemahaman bersama tentang bagaimana orang harus memahami situasi serta bergerak maju dengan pemerintah (Gilstrap et al. 2016 dalam McGuire et al., 2020).

Aspek visualizing dan futuristic thinking terlihat dari kemampuan Jacinda Ardern dalam memberikan gambaran secara jelas terkait apa yang akan diraih seperti dengan merumuskan dua fokus utama untuk menghadapi pandemi COVID-19. Tak hanya asal merumuskan, Jacinda juga berpikir mengenai masa depan sampai pada tahap mana kah dalam menghadapi krisis pandemi ini.

Jacinda Ardern memberikan beberapa tahap berupa fase-fase dalam melakukan strategi penyelesaian masalah pandemi ini. Strategi yang dilakukan Ardern berkembang menuju salah satu pengalaman bersama tentang krisis, yakni mulai dari penguatan awal ketegasan hingga pemimpin yang pada akhirnya memposisikan diri mereka pada tingkat yang sama dengan publik (Davis dan Gardener 2012 dalam (McGuire et al., 2020).

Komunikasi menjadi salah satu aspek penting yang ditekankan oleh Ardern dalam memerangi pandemi COVID-19. Pendekatan yang dilakukan Ardern melalui pengarahan, pembangunan makna, dan empati (Suze Wilson, 2020). Ardern memposisikan diri dengan bersama sama rakyatnya melawan COVID-19 melalui keselarasan dan kesatuan yang baik.

Ardern memberikan kesempatan agar orang-orang dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan dan meyakinkan rakyat untuk dapat bertindak untuk kepentingan bersama (Suze Wilson, 2020).

Pemerintah selalu menjelaskan sejak dini terkait kebijakan-kebijakan yang akan diambil, dampaknya, serta makna dan tujuan atas kebijakan tersebut. Pemerintah memberikan komunikasi-komunikasi yang jelas kepada rakyatnya terkait dengan perlawanan pada COVID-19. 

Slogan ‘’Unity Against COVID-19’’ terpampang dimana-mana mulai dari latar saat Perdana Menteri melakukan konferensi pers, media cetak dan digital, hingga poster-poster yang dicetak oleh pihak swasta untuk sosialisasi (Pardede & Rozali, 2020). Pada penguatan awal ketegasan, aspek keterlibatan dengan media dan saluran media sosial untuk membentuk persepsi menjadi salah satu aspek yang menarik. Ardern melakukan briefing harian di televisi dan sesi live Facebook yang dilakukan secara reguler untuk secara jelas membingkai pertanyaan-pertanyaan inti dan isu-isu yang membutuhkan perhatian (Suze Wilson, 2020).

Pengambilan kebijakan secara antisipatif juga dilakukan dimana Ardern telah mengatur kesulitan-kesulitan yang akan atau sedang dihadapi dengan mengembangkan kerangka kerja yang transparan terkait dengan pengambilan keputusan. Kerangka kerja ini berbentuk kerangka kerja tingkat siaga pemerintah sehingga memungkinkan bagi orang lain untuk memahami apa yang terjadi dan mengapa sesuatu terjadi.

Keberhasilan Selandia Baru dalam menghadapi pandemic ini juga didukung berbagai elemen dalam negaranya mulai dari pejabat senior, para Menteri, pejabat publik, serta staff yang berada di tingkat lebih bawah bekerja menjadi tim solid yang mendukung upaya nasional.

Berkat apa yang telah dilakukan Jacinda Ardern terhadap kepemimpinannya ini, Jacinda telah mampu membangun kepercayaan sebesar 78% masyarakat Selandia Baru yang percaya pada kepemimpinan Ardern dan pemerintah Selandia Baru. Kemampuan Jacinda dalam merespons masalah-masalah krisis pada masa kepemimpinannya juga membuat ia menjadi perhatian dunia dengan kepemimpinan yang karismatik dan visionernya.

Referensi:

  • Baker, M. et al., 2020a. “New Zealand’s elimination strategy for the COVID-19 pandemic and what is required to make it work”, New Zealand Medical Journal (NZMJ), 33 (1512): 10-14.
  • Curtin, J., & Greaves, L. (2020). Gender, Populism and Jacinda Ardern. In J. Vowles & J. Curtin (Eds.), A Populist Exception? The 2017 New Zealand General Election. Australian National University Press.
  • McGuire, D., Cunningham, J. E. A., Reynolds, K., & Matthews-Smith, G. (2020). Beating the virus: an examination of the crisis communication approach taken by New Zealand Prime Minister Jacinda Ardern during the Covid-19 pandemic. Human Resource Development International, 23(4), 361–379. https://doi.org/10.1080/13678868.2020.1779543
  • Mustaqim, A. H. (2019). Empathy Politics Versus Terrorism: the New Zealand Prime Minister Jacinda Ardern’S Political Leadership Communication. INJECT (Interdisciplinary Journal of Communication), 4(1), 61. https://doi.org/10.18326/inject.v4i1.61-92
  • Pardede, J. P. P., & Rozali, R. D. Y. (2020). TATA KELOLA PENANGANAN KASUS COVID-19 DI SELANDIA BARU. DINAMIKA GOVERNANCE: JURNAL ILMU ADMINISTRASI NEGARA, 10(2), 194–201.
  • Robbins, S., & Timothy, J. (2013). Organizational Behaviour. In 15( th ed.). Pearson Education, Inc., publishing as Prentice Hall.
  • Suze Wilson. (2020). Three reasons why Jacinda Ardern’s coronavirus response has been a masterclass in crisis leadership.
    Vowles, J., & Curtin, J. (2020). a Populist Exception? The 2017 New Zealand General Election. Australian National University Press.
  • Wardhani, B. (2014). The Kiwi Way: New Zealand ’ s COVID-19 Elimination Strategy The Kiwi Way: Strategi Eliminasi COVID-19 Selandia Baru Baiq Wardhani. Jurnal Analisis Umum, 297–314. https://e-journal.unair.ac.id/JGS/article/download/20394/12508&ved=2ahUKEwj9qO329ODtAhXKQ30KHZqTCdcQFjACegQIDBAB&usg=AOvVaw3Uh9mLTOocxaH882eT4soP

Andini Melia Fi

Baca Juga