Isu terkait kesetaraan dan keadilan gender dalam dunia kerja baik di sektor swasta maupun publik menjadi pembahasan yang tidak ada habisnya hingga saat ini. Perempuan dianggap sebagai kaum yang lebih rentan dan memiliki potensi lebih tinggi untuk mendapatkan perlakuan diskriminatif.
Dalam dunia pekerjaan, stereotip terhadap gender menjadi permasalahan karena menciptakan sekat-sekat yang memisahkan perbedaan peran, tanggung jawab, hak, maupun ruang aktivitas antara perempuan dengan laki-laki (Meo dan Boro, 2021).
Konsep gender yang lahir dari pola pikir masyarakat tertentu memandang perempuan sebagai ‘pemeran domestik’ yang tidak memiliki kodrat untuk berkuasa dan memiliki pengaruh, karena perempuan diarahkan untuk melakukan berbagai pekerjaan yang identik dengan urusan rumah tangga.
Adanya stereotip tersebut menyebabkan timbulnya ketidaksetaraan gender yang pada akhirnya mengakibatkan terhambatnya kesempatan perempuan untuk meningkatkan karier atau jabatan mereka ke jenjang yang lebih tinggi, di mana fenomena ini dikenal dengan istilah “the glass ceiling”.
Negara-negara di dunia sebenarnya telah lama berupaya mengatasi isu kesetaraan gender, salah satunya melalui sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menyetujui Convention on the Elimination of All Forms of Discriminations Against Women (CEDAW) untuk mendukung negara-negara peserta agar dapat menciptakan undang-undang yang peka terhadap persamaan hak bagi perempuan.
Sebagai salah satu negara yang menyetujui konvensi tersebut, Indonesia berupaya menciptakan regulasi yang sensitif terhadap kesetaraan gender, misalnya melalui Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional (PUG) yang juga diinstruksikan untuk diterapkan dalam lembaga-lembaga pemerintahan.
Selain sebagai perwujudan dari hak asasi manusia, kesetaraan gender dalam pekerjaan di sektor publik dianggap dapat memperkuat terciptanya kebijakan dan program pembangunan yang peka terhadap keadilan gender dan memperhatikan hak-hak perempuan. Oleh karena itu, isu PUG bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) sangat penting untuk diperhatikan, terutama dalam lingkup jabatan struktural yang sampai saat ini masih terdapat ketimpangan.
Berdasarkan laporan dari Badan Kepegawaian Negara, jumlah ASN perempuan terus mengalami peningkatan yang cukup signifikan, di mana sebelumnya mencapai 48,18% di tahun 2013 dan meningkat ke angka 52,52% di tahun 2020. Namun, di sisi lain perbandingan yang tidak sejalan justru terlihat dalam penempatan jabatan struktural, terutama dalam kedudukan jabatan-jabatan tinggi.
Jumlah ASN perempuan yang telah menjadi mayoritas saat ini, ironisnya hanya mengisi sekitar 23,24% total jabatan eselon I-IV pasca ditetapkannya UU ASN (KSI Indonesia, 2019). Selain itu, hingga tahun 2018, jabatan eselon I di 34 Kementerian Indonesia juga hanya terisi oleh sebanyak 23,62% ASN perempuan.
Ketimpangan tersebut bahkan lebih mengkhawatirkan di beberapa pemerintahan daerah, seperti yang terjadi di Pemda Provinsi Nusa Tenggara Timur di mana tidak ada perempuan yang menduduki jabatan eselon I, hanya 14,29% ASN perempuan di jabatan eselon II, dan hanya 25,56% perempuan yang menduduki jabatan eselon III (BKD Provinsi NTT, 2020).
Hal serupa juga terjadi di Pemda Kota Bandar Lampung di mana tidak ada perempuan yang menduduki jabatan eselon I dan hanya sekitar 30% perempuan yang menduduki jabatan eselon II (Maryanah et al., 2019).
Jumlah perempuan yang sangat tidak imbang dalam struktur kekuasaan dan pengambilan keputusan di berbagai lembaga tersebut akan menyebabkan terjadinya silent majority. Terlebih lagi, dengan populasi perempuan di Indonesia yang mencapai 49,42%, seharusnya sudah sangat wajar jika kaum perempuan dapat diberdayakan dengan baik dan berperan aktif dalam proses-proses pengambilan keputusan. Oleh karena itu, dalam upaya perwujudan PUG, pemerintah perlu memperhatikan ruang lingkup pengarustamaan gender terutama dalam pelaksanaannya yang memperhatikan aspek peran, akses, manfaat, maupun kontrol yang mempertimbangkan kesempatan yang setara antara laki-laki dengan perempuan.
Jika dilihat dari kaca mata regulasi ASN melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 2014, penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN perlu dilandasi oleh asas keadilan dan kesetaraan, serta dituntut untuk menciptakan lingkungan kerja yang nondiskriminatif.
Terlebih lagi saat ini sudah diterapkan sistem merit yang didasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja ASN tanpa membedakan latar belakang ras, umur, dan tentunya jenis kelamin. Kemudian, dalam Pasal 68 UU No. 5 Tahun 2014 pun telah diatur bagaimana pengangkatan ASN dalam jabatan tertentu ditentukan berdasarkan perbandingan yang objektif antara kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan yang dibutuhkan.
Selain itu, PP No. 100 Tahun 2000 yang mengatur tentang Pengangkatan ASN dalam Jabatan Struktural juga dapat dikatakan telah menggunakan strategi rules-based merit system karena menetapkan persyaratan yang tidak mengarah pada diskriminasi gender dan justru mengutamakan kompetensi dan kualifikasi dari ASN.
Hal ini juga dikonfirmasi oleh beberapa lembaga pemerintahan yang mengklaim bahwa prosedur perekrutan dan pengangkatan jabatan struktural di instansi mereka telah sesuai dengan aturan tanpa adanya diskriminasi gender. Misalnya, Pemprov NTT, Kabupaten Lamandau, Kota Balikpapan, dan Kota Semarang yang mengaku telah menerapkan perekrutan jabatan struktural melalui sistem karier terbuka dengan mengutamakan prinsip profesionalisme yang mempertimbangkan kompetensi, kinerja, objektivitas, serta mengedepankan sistem merit.
Terlebih lagi, proses tersebut telah diawasi oleh Komisi Aparatur Sipil Negara yang menjaga sistem kepegawaian KASN dari intervensi politik dan bentuk diskriminasi lainnya. Lalu, apa faktor sebenarnya yang melatarbelakangi rendahnya persentase ASN perempuan dalam pengisian jabatan struktural?
Fenomena the glass ceiling nampaknya memang menjadi persoalan utama dalam permasalahan ini. Dalam kasus Pemprov NTT, ASN perempuan memiliki minat yang rendah untuk mengisi jabatan struktural hal ini dilatarbelakangi oleh kurangnya kepercayaan diri atau insecurity untuk bersaing (Meo dan Boro, 2021). Beberapa ASN perempuan merasa bahwa tidak semua rekan kerja atau koleganya rela untuk dipimpin oleh seorang perempuan karena masih terdapat stereotip bahwa perempuan kurang cekatan dan lamban dalam mengambil keputusan karena terlalu mengedepankan perasaan (Astuti, 2013). Selain itu, berdasarkan hasil FGD dengan ASN perempuan di Kota Bandar Lampung, diketahui bahwa beberapa ASN perempuan takut untuk mengajukan diri karena mengalah demi pengembangan karier suami mereka (Maryanah et al., 2019).
Kemudian, untuk kasus di Kabupaten Lamandau dan Kota Semarang, adanya beban ganda yang harus dihadapi oleh ASN perempuan juga menjadi faktor penghambat, misalnya dengan adanya kewajiban reproduktif (hamil dan menyusui) yang belum didukung oleh kemudahan akses bagi kebutuhan tersebut. Terlebih lagi, dalam pelaksanaan Diklatpim untuk meraih jabatan struktural, lama waktu dan jauhnya akses menuju tempat pelatihan menjadi pertimbangan ASN perempuan karena dapat mengganggu perannya sebagai ibu dan istri. Sehingga, untuk dapat mengisi jabatan yang lebih tinggi, ASN perempuan menghadapi tantangan yang dua kali lebih rumit karena perlu menyeimbangkan tuntutan perannya sebagai ibu rumah tangga.
Selain itu, adanya persoalan terkait “siapa yang dekat dengan kekuasaan maka akan lebih mudah untuk menduduki jabatan struktural” juga masih menjadi isu. Selain kinerja yang mumpuni, kemampuan dan kemauan untuk melakukan lobbying dengan pejabat penentu di beberapa instansi masih diperlukan, di mana hal ini merupakan hal-hal yang tidak biasa dan dianggap kurang etis untuk dilakukan oleh perempuan. Sehingga, tidak mudah untuk memperoleh jabatan struktural bagi ASN perempuan.
Alasan-alasan tersebut setidaknya menunjukkan tiga faktor utama yang memicu terjadinya fenomena glass ceiling dalam sektor publik. Pertama, adanya faktor budaya patriarki yang masih kental di Indonesia, di mana masih banyak pihak-pihak yang mendiskreditkan kinerja kaum perempuan hanya karena alasan gender dan akhirnya mereka ragu untuk menempatkan perempuan dalam jabatan-jabatan yang strategis. Kemudian, adanya regulasi netral gender mengenai jabatan struktural yang pada kenyataannya memberikan dampak dan kesempatan yang berbeda terhadap laki-laki dan perempuan. Misalnya, dampak dari program diklat yang mengharuskan meninggalkan keluarga memiliki dampak berbeda terhadap ASN perempuan dan laki-laki, karena perempuan memiliki beban ganda dan tanggung jawab rumah tangga. Selain itu, lingkungan kerja yang belum cukup ramah bagi perempuan juga menjadi alasan karena berbagai instansi belum memiliki inisiatif untuk memberikan fasilitas pendukung bagi perempuan yang menjalankan beban ganda (kewajiban reproduksi). Fasilitas kantor pemerintahan yang saat ada ini belum mendukung ASN perempuan untuk melakukan work-and-life-balance.
Untuk menghadapi permasalahan tersebut, terdapat beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah. Pertama, perlu dilakukan pelatihan dan sosialisasi yang dapat menumbuhkan kesadaran dan motivasi ASN perempuan dalam berkompetisi di jabatan struktural, di mana hal ini dapat dilakukan sebagai bagian dari manajemen talenta ASN. Hal ini karena nilai-nilai patriarki yang masih tertanam dalam pola pikir ASN perempuan masih diterima dan dianggap sebagai kebenaran, sehingga mereka enggan untuk maju dan kurang memiliki kemampuan atas kontrol dirinya sendiri. Kemudian, penyediaan fasilitas bagi ASN perempuan yang menjalankan peran ganda juga perlu dilakukan, misalnya melalui penyediaan fasilitas day care dan ruang menyusui bagi ASN yang memiliki balita. Inovasi tersebut bahkan telah diterapkan di beberapa negara, seperti Kanada yang menyediakan Child Care Services di kantor pemerintahan serta memberikan bantuan keuangan kepada pegawai pemerintah untuk penitipan anak. Terakhir, diperlukan revisi peraturan dalam perekrutan jabatan struktural yang belum sensitif gender, artinya perlu diperhatikan bagaimana peraturan tersebut akan memiliki dampak yang berbeda antara ASN laki-laki dengan ASN perempuan.
Dengan begitu, ASN perempuan dapat memiliki kesempatan dan akses yang lebih adil dalam perekrutan jabatan struktural. Sehingga, hal tersebut dapat meningkatkan minat dan motivasi mereka untuk dapat meningkatkan jabatan mereka ke jenjang yang lebih tinggi.
Referensi
- Astuti, P. A. P. (2013). Peluang PNS Perempuan dalam Memperoleh Jabatan Struktural: Studi Kualitas Kesetaraan Gender di Pemerintah Kota Semarang. POLITIKA: Jurnal Ilmu Politik, 3(2), 68-83.
- Badan Kepegawaian Negara. (2020). Statistik Pegawai Negeri Sipil|Keadaan: Desember 2020 1. 1–69.
- Cahyani, V. B. (2019). Glass Ceiling pada Perempuan dalam Menempati Posisi Strategis Struktural di Birokrasi Kementerian Republik Indonesia. Doctoral Dissertation. Universitas Airlangga.
- Connell, R. (2006). Glass Ceilings or Gendered Institutions? Mapping the Gender Regimes of Public Sector Worksites. Public Administration Review, 66(6).
- KSI Indonesia. (2019). Ketimpangan Perempuan dalam Birokrasi. KSI Indonesia. https://www.ksi-indonesia.org/old/in/news/detail/ketimpangan-perempuan-dalam-birokrasi
- Maryanah, T., Rosalia, F., & Handayani, D. W. (2019). Perempuan Dalam Birokrasi Pada Pemerintah Kota Bandar Lampung.
- Meo, E. N., & Boro, V. I. A. (2021). Kesetaraan Gender dalam Perekrutan Aparatur Sipil Negara Menempati Jabatan Struktural di Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Perspektif, 10(1), 204–210. https://doi.org/10.31289/perspektif.v10i1.4274
- Puskapol UI. (2014). Ketimpangan Keterwakilan Perempuan dalam Birokrasi. https://www.puskapol.ui.ac.id/wp-content/uploads/2014/04/factsheet-ketimpangan-keterwakilan-perempuan-dalam-birokrasi.pdf
- Saraswati, D. (2016). Studi Tentang Representasi Gender dalam Jabatan Struktual Pada Pemerintah Kota Balikpapan.
- Silalahi, U., Rachmawati, T., & Bernadus, S. E. U. (2016). Kesetaraan Gender dalam Administrasi Publik: Peluang Pegawai Perempuan dalam Promosi Jabatan di Pemerintah Kota Bandung. LPPM UNPAR Bandung, 1–120. https://repository.unpar.ac.id/bitstream/handle/123456789/808/LPD_Ulber_Kesetaraan Gender dalam-p.pdf?sequence=1&isAllowed=y
Artikel Terkait
-
Kawal Pilkada Serentak 2024, Bima Arya Tegaskan Komitmen Kemendagri Jaga Netralitas ASN
-
Menteri PANRB Ajak Transformasi ASN melalui Teknologi dan Kolaborasi
-
Taspen Bayarkan Manfaat THT ke 147 Ribu Pensiunan ASN
-
Kemendagri Soroti Masalah Netralitas ASN hingga Kades Jateng dan Jatim di Pilkada, Siapkan Sanksi Tegas
-
Komnas Perempuan Soroti Banyak Cakada Lontarkan Ucapan Seksis: Tak Patuhi PKPU
Kolom
-
Matematika Dasar yang Terabaikan: Mengapa Banyak Anak SMA Gagap Menghitung?
-
Media Sosial TikTok: Ancaman atau Hiburan bagi Generasi Muda?
-
Viral Lomba Mirip Nicholas Saputra, Kok Bisa Kita Kembar dengan Orang Lain?
-
Mapel Coding dan AI untuk SD, Kebijakan FOMO atau Kebutuhan Pendidikan?
-
Miris! Ribuan Anggota TNI-Polri Terseret Judi Online, Sinyal Pembenahan?
Terkini
-
Review Film The Zen Diary: Pelajaran Hidup Selaras dengan Alam
-
Wow! PSSI Targetkan Timnas Putri Mampu Raih Peringkat ke-3 di AFF Cup 2024
-
Yance Sayuri Berambisi Kejar Rekor Saudaranya di Timnas Indonesia, Mengapa?
-
Review Film X-Men '97, Pertaruhan Nasib Mutan Usai Kepergian Profesor X
-
3 Film Beragam Genre Dibintangi Austin Butler yang Pantang Buat Dilewatkan!