Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Oktavia Ningrum
ilustrasi keluarga (unsplash/@skynesher)

Di balik senyum seorang anak, kadang ada sunyi yang tak banyak dipahami orang dewasa: ketiadaan figur ayah. Fenomena fatherless—atau ketiadaan peran ayah dalam kehidupan anak—bukan lagi sekadar masalah keluarga, tetapi sudah menjadi persoalan sosial yang memengaruhi generasi.

Fatherless tidak selalu berarti seorang anak ditinggal mati. Banyak kasus menunjukkan ayah hadir secara fisik tetapi absen secara emosional. Ada pula yang memilih pergi, meninggalkan anak dan pasangannya tanpa penjelasan yang cukup.

Dalam data BPS 2023, Indonesia mencatat lebih dari 16 juta rumah tangga dengan ibu sebagai kepala keluarga, sebagian besar karena perceraian atau ayah yang tidak menjalankan peran.

Dilema Fatherless: Luka yang Tak Terlihat, Dampak yang Tak Terelakkan

Anak yang tumbuh tanpa peran ayah rentan terhadap dilema emosional dan identitas diri. Dalam laporan UNICEF, anak-anak fatherless berisiko lebih tinggi mengalami depresi, perilaku agresif, bahkan kesulitan membangun relasi sehat di masa dewasa. Ayah bukan hanya pencari nafkah, tetapi juga pilar psikologis dalam menanamkan rasa aman, disiplin, dan konsep diri yang sehat.

Ironisnya, banyak ayah menganggap “cukup hadir secara ekonomi” sudah menyelesaikan tugasnya. Padahal, ketiadaan komunikasi, pelukan, atau validasi dari figur ayah menciptakan kekosongan yang tak tergantikan oleh apapun.

Fakta-fakta itu mengungkap satu hal jelas. Ayah yang hanya jadi mesin ATM dan absen secara emosional bukan “normal”—itu krisis sistem parenting.

1. Bekerja Bukan Alasan—Bagaimana dengan Ibu yang Bekerja

Alibi klasik, “Ayah sibuk kerja untuk keluarga".Tapi kenyataannya: ibu modern kini juga bekerja—banyak yang menjadi pengusaha atau profesional yang demanding—namun tetap aktif menanam bonding dan kehadiran emosional.

Jika ibu bisa membagi waktu kerja & parenting, mengapa ayah tidak? Ini bukan soal waktu, tapi soal kemauan hadir. Jika ibu bisa bekerja & tetap bonding, kerja tidak otomatis menghapus peran emosional ayah. Real issue: pilihan prioritas—uang atau waktu bersama anak.

2. Dampak Nyata di Dunia Nyata

  • Kemiskinan: Anak dari keluarga tanpa ayah hampir 4x lebih mungkin hidup miskin 
  • Bunuh diri: 63% remaja yang bunuh diri tumbuh tanpa ayah
  • Perilaku kriminal: 85% anak di penjara tumbuh tanpa ayah
  • Putus sekolah: 71% drop-out berasal dari keluarga tanpa ayah
  • Obesitas & kesehatan: 52% anak fatherless lebih berisiko obesitas
  • Gangguan mental: 2–3 kali risiko gangguan emosional & perilaku

3. Membantah Alibi-Alibi Ayah dalam Kontruksi Sosial

  • “Ayah gak diajarin cara dekat sama anak”

Itu berarti harus direnungi: jika ya, justru itu alasan untuk belajar—bukan jadi kambing hitam budaya. Jangan teruskan pola ketidakpedulian.

  • “Budaya begini sejak dulu”

Kebiasaan lama tidak sama dengan yang ideal. Era modern menuntut parenting kolaboratif. “Karena sudah biasa” bukan jawaban ketika data menunjukkan kerusakan jangka panjang pada anak.

4. Jalan Keluar: Ayah, Ini Saatnya Memutus Rantai 

  • Ambil momen kecil setiap hari: cerita sebelum tidur, temani main bola, bahkan sederhana seperti ikut mandi masal atau ngobrol di meja makan.
  • Quality > kuantitas: Waktu singkat bisa sangat bermakna jika dirancang dengan perhatian penuh.
  • Belajar terus-menerus: Ikut workshop, baca buku parenting, belajar mindfulness—ini tanggung jawab dewasa, bukan beban.
  • Komunikasi terbuka dengan pasangan: Bagi peran, diskusikan siapa jadi “figure” di setiap situasi.

Fatherlessness bukan sekadar statistik, tapi krisis identitas dan stabilitas generasi.

Namun kita juga tidak bisa memukul rata kesalahan pada para ayah. Tekanan ekonomi, konflik pernikahan, dan luka psikologis yang belum selesai seringkali membuat laki-laki sulit menjadi ayah yang utuh. Di sisi lain, masyarakat jarang memberikan ruang aman bagi pria untuk belajar menjadi orang tua tanpa takut dihakimi.

Dalam dekade terakhir, fenomena fatherlessness—anak tumbuh tanpa keterlibatan emosional ayah—berdampak serius secara psikologis, sosial, dan ekonomi. 

Ketiadaan ayah adalah luka, tapi bukan akhir dari segalanya. Banyak anak fatherless yang tumbuh menjadi pribadi tangguh dengan dukungan ibu, keluarga besar, guru, dan lingkungan yang sehat. Solusinya? Pendidikan pengasuhan untuk calon orang tua, sistem sosial yang mendukung keluarga utuh, dan budaya komunikasi yang lebih terbuka antara ayah-anak.

Karena menjadi ayah bukan sekadar hadir, tapi benar-benar menghadirkan diri. Dan mungkin itulah titik awal agar kita tidak lagi melahirkan generasi fatherless berikutnya.

Oktavia Ningrum